Banyak Putusan Kasus Korupsi di MA Tanpa Pertimbangan Jelas
Hakim yang
bertugas di Mahkamah Agung (MA) saat ini mengalami kemunduran dibanding
hakim-hakim agung yang lalu. Dahulu, para hakim agung membuat putusan
tak sembarangan. Putusan dibuat lengkap dengan pertimbangan hukum yang
jelas sehingga dapat menjadi acuan para hakim agung yang lain atau hakim
di tingkat bawah.
Sayangnya, saat
ini keadaan seperti itu sulit terlihat. Hakim agung di MA sekarang
dinilai malas membuat pertimbangan hukum yang jelas, sehingga sulit
ditemukan putusan yang berkualitas untuk dijadikan yurisprudensi atau
putusan yang menjadi acuan bagi hakim-hakim yang lain.
Hal ini
diungkapkan oleh Jamin Ginting, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita
Harapan. Jamin tak asal omong. Ia baru saja menelurkan penelitiannya
terhadap sekitar 140 putusan kasus korupsi di tingkat MA dengan
menerbitkan empat buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
“Hakim Agung
sekarang malas membuat pertimbangan hukum yang jelas sehingga bisa
mengikat dan diikuti oleh hakim yang lain. Berbeda dengan ketika zaman
Bismar Siregar yang kerap membuat putusan-putusan berkualitas sehingga
dijadikan yurisprudensi. Malah, hakim sekarang masih ada yang memakai
pertimbangan hakim pada zaman Belanda,” ujar Jamin di Jakarta, Kamis
(26/8).
Berdasarkan
penelitiannya, Jamin mengutarakan banyak putusan-putusan MA terkait
kasus korupsi yang dinilai aneh. “Ada putusan, dimana hakim memasukkan
pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa. Kok ini bisa?,” ujarnya heran.
Ia mengatakan
ada juga hakim di MA yang lebih senang menggunakan dakwaan subsider yang
ancaman hukumannya lebih rendah dibanding dakwaan primer. “Padahal
secara kasat mata tindakan terdakwa sudah pas dikenakan dakwaan primer,”
tambah Jamin.
Ali Imran,
seorang advokat, mengamini penelitian Jamin ini. Ia mengungkapkan
pengalamannya terkait minimnya pertimbangan hukum yang dipaparkan hakim
dalam putusannya. “Kadang-kadang kami merasa sia-sia membuat argumen
hukum yang bagus, toh akhirnya tidak dipertimbangkan juga oleh majelis
hakim,” ujarnya.
Lebih lanjut
Jamin mengungkapkan, kebiasaan di MA yang kerap ‘mengekor’
putusan-putusan pengadilan di bawahnya. Misalnya, sebuah kasus yang
telah putusan di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) yang
bunyinya sama, maka MA tinggal menyamakan saja. “Hakim Agung biasanya
tinggal menguatkan saja tanpa mengkaji lebih dalam,” tuturnya.
Jamin mengatakan
MA selalu beralasan bahwa pekerjaan para hakim agung sangat menumpuk.
Setidaknya setiap hakim agung harus menangani 60-80 perkara setiap
bulannya. Selain itu, masih menurut Jamin, MA juga mengatakan dalam
setiap putusan ada peran polisi, jaksa atau KPK dalam persidangan. Bisa
saja yang bermasalah justru lembaga-lembaga tersebut.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah mengatakan dalam integrated criminal justice system kurang tepat bisa menyalahkan salah satu lembaga bila ada putusan yang dianggap kurang tepat. Ia mengatakan putusan pengadilan adalah produk manusia, bila ingin putusan yang berkualitas maka perbaikan lembaga sangat penting. “Perbaikan lembaga akan berimplikasi pada perbaikan manusia di dalamnya,” tambahnya.
Meski begitu,
Chandra menyambut baik langkah para akademisi atau peneliti seperti
Jamin yang mau meluangkan waktunya untuk mengumpulkan dan mengkaji
putusan-putusan MA terkait kasus korupsi. Ia mengatakan saat ini
Indonesia masih minim budaya untuk mengkaji putusan.
Comments
Post a Comment