Analisis Yuridis Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian Sebagai Bentuk Akuntabilitas Kinerja Polri Di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah
ABSTRAK
Seorang anggota Polri berpotensi
melakukan berbagai tindakan penyimpangan disebabkan kewenangan yang
dimilikinya sangat besar. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya ada
saja berbagai bentuk tindakan/sikap/tingkah laku yang melanggar Kode
Etik Profesi Polri itu sendiri. Guna menyeimbangkan
kewenangan-kewenangan tersebut maka sangat penting bagi Polri untuk
bertanggunggugat kepada hukum, negara dan warganya (publik).
Pertanggunggugatan sendiri sangat erat kaitannya dengan akuntabilitas.
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah penerapan Kode Etik
Profesi Polri sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah
hukum Polda Jawa Tengah, faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Kode
Etik Profesi Polri dan solusi mengatasinya. Metode pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif. Dari segi tujuannya, penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun metode pengumpulan
data yang digunakan meliputi studi pustaka, wawancara dan studi
dokumentasi yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa penerapan Kode Etik
Profesi Polri belum sepenuhnya dijalankan oleh anggota kepolisian di
wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya
tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang terjadi, bahkan
sepanjang tiga tahun terakhir dari tahun 2010 sampai 2012 cenderung
mengalami peningkatan. Bentuk pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang
paling banyak dilakukan adalah perbuatan desersi yang mencapai 38 kasus,
disusul dengan perbuatan pidana sebanyak 21 kasus dan perbuatan tidak
memegang teguh garis komado sebanyak 15 kasus. Polisi golongan Bintara
(polisi berpangkat rendah) merupakan anggota kepolisian yang paling
banyak melakukan pelanggaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
Kode Etik Profesi Polri diantaranya adalah: 1).faktor hukumnya, yaitu
peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang
memadai; 2).faktor penegak hukumnya, yaitu kurangnya kapasitas anggota
personil Bidpropam Polda Jawa Tengah selaku pengembang fungsi pengawasan
internal; 3).faktor sarana atau fasilitas, yaitu belum memadainya
sarana dan prasarana serta terbatasnya dukungan anggaran; 4).faktor
masyarakat dalam hal ini anggota Polri tingkat kesadaran dan kepatuhan
atas peraturan Kode Etik Profesi Polri masih relatif rendah; 5).faktor
budaya, yaitu sulitnya merubah budaya organisasi yang dibentuk oleh
kekuasaan menjadi budaya organisasi pelayanan. Solusi untuk mengatasinya
adalah merubah paradigma pengawasan internal dalam hal: a). fokus
perhatian dari mencari kesalahan menjadi mencegah kesalahan; b). peran
yang dimainkan dari mencari kesalahan menjadi konsultan; c).gaya kerja
dari reaktif (memeriksa) menjadi proaktif mengingatkan; dan d).
paradigma keberhasilan dari semakin banyak menemukan kesalahan semakin
bagus menjadi saya bangga jika unit lain tidak berbuat salah, berarti
saya sukses mencegah. Berangkat dari pemikiran tersebut, Bidpropam Polda
Jawa Tengah saat ini mencanangkan revitalisasi peran yang dirangkum
dalam 4-co, yaitu: a). compliance role/mendorong kesadaran; b).
consultative role/pencegahan; c). coordination role/kemitraan; d).
corrective role/penegakan kode etik.
Kata kunci : penerapan, Kode Etik Profesi Polri, Polda Jawa Tengah
A. Latar Belakang
Pada awal masa reformasi, sejumlah
pembenahan telah dilakukan dalam tubuh Polri. TAP MPR-RI No. VI/MPR/2000
dan TAP MPR-RI No. VII/MPR/2000 telah memisahkan Polri dari TNI dan
meletakkan fungsi Polri secara terpisah dari TNI. DPR juga telah
berhasil menyelesaikan UU No. 2 Tahun 2002 yang mengatur tentang Polri.
Meski demikian, reformasi Polri masih jauh dari harapan masyarakat.
Dalam konteks demokrasi, institusi kepolisian merupakan pelayan
masyarakat. Kepolisian sebagai bagian dari perangkat pemerintahan
haruslah tunduk pada mandat yang diberikan rakyat, yaitu memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri[2],
yang dilakukan dengan cara-cara yang demokratis. Selain dituntut
memberikan pelayanan maksimal, Polri juga dituntut untuk meningkatkan
akuntabilitas kinerjanya sehingga menjadi lembaga yang efektif, efisien,
dan akuntabel.
Secara sederhana akuntabilitas bisa
didefinisikan sebagai pelaporan rutin. Akuntabilitas juga bisa berarti
pertanggungjawaban atas hasil kerja yang dilakukan dalam satu periode.
Akuntabilitas juga meliputi dimensi lain, sebagaimana diungkap oleh Bob
Sugeng Hadiwinata yang mengatakan, bahwa lembaga negara yang akuntabel
juga harus siap untuk diawasi oleh institusi lain, untuk menjamin tidak
adanya penyimpangan. Dalam konteks demokrasi, pihak eksekutif yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik haruslah diawasi oleh
lembaga legislatif yang merupakan representasi dari seluruh rakyat[3].
Dalam implementasinya, pengawasan ini
tidak hanya dilakukan oleh DPR sendiri. Sebuah akuntabilitas politik
meliputi pengawasan berlapis, baik dari internal, eksekutif, parlemen,
dan publik. Pertama, pengawasan internal dilakukan melalui pengawasan melekat dan penerapan standard operating procedure.
Dalam konteks Polri pengawasan internal dilakukan oleh Propam (Divisi
Bidang Profesi dan Pengamanan) dan Irwasum (Inspektorat Pengawasan
Umum). Kedua, pengawasan eksekutif dilakukan melalui mekanisme
penugasan dan pelaporan, dalam hal ini oleh Presiden yang secara
struktural berada di atas Polri. Ketiga, pengawasan parlemen dilakukan melalui mekanisme anggaran dan sub komisi, sementara keempat,
pengawasan publik melalui mekanisme penampungan keluhan warga melalui
lembaga-lembaga negara seperti Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), dan lain-lain[4].
Akuntabilitas mensyaratkan adanya sistem
pengawasan yang baik. Sesuai dengan konsep yang dijelaskan di atas,
secara teoritis kepolisian harus diawasi secara berlapis, baik dari
internal, eksekutif, legislatif, maupun oleh lembaga publik. Terkait
dengan pengawasan internal, kepolisian memang memiliki Inspektorat
Pengawasan Umum (Irwasum) dan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).
Irwasum berfungsi secara langsung melakukan pengawasan dan penerapan
kebijakan polisi, sementara Propam merupakan badan utama yang secara
khusus mengurusi pengaduan eksternal mengenai perilaku salah polisi.
Kenyataannya, kedua institusi ini tidak pernah efektif dalam menjalankan
fungsinya, karena yang ditangani adalah kawan sendiri. Kedua lembaga
tersebut cenderung untuk menutupi dan melindungi, bukan menghukum.
Istilah populernya “tidak ada jeruk makan jeruk”. Indria Fernida
mengungkapkan pendapatnya, bahwa:
”Dalam mekanisme internalnya, Polri
memiliki Tim Propam (Bidang Profesi dan Pengamanan) yang bertugas
menerima pelaporan dan membuat penyelidikan internal terhadap
pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang
akan dilanjutkan dengan sidak etik kepolisian. Namun tentu saja
penyelidikan yang dilakukan tidak bisa dikatakan independen karena
melibatkan anggota kepolisian sendiri. Kekerasan yang dilakukan oleh
polisi seringkali dipandang sebagai kesalahan prosedural operasi kerja
di lapangan semata. Apalagi dalam kenyataannya proses penyelidikan pasca
pengaduan juga tidak bisa diketahui perkembangannya. Sementara
penghukuman terhadap kesalahan prosedural melalui Majelis Etik dengan
menggunakan dasar hukum PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara RI justru menjadi alat impunitas bagi pelaku
kejahatan pidana”[5].
Hal yang kurang lebih sama juga dikatakan oleh Amnesty International,
yang menemukan bahwa masyarakat bahkan tidak mengetahui prosedur
pengaduan polisi melalui perpolisian internal. Para pengacara yang
bertindak mewakili para korban pelanggaran HAM yang mencoba memasukkan
pengaduan ke Propam memberi tahu Amnesty International bahwa
mereka merasa prosesnya tidak jelas. Selain itu kasus yang dibawa ke
tingkat Propam juga tidak mendapat penyelesaian memuaskan, seperti dalam
kasus Hartoyo di kantor Polsek Aceh Banda Raya dimana oknum polisi
pelaku pelanggar HAM atas (korban) Hartoyo hanya dikenakan pasal
pelanggaran kecil dan karenanya masing-masing dikenai hukuman percobaan
enam bulan yang bisa diubah menjadi tiga bulan pemenjaraan jika para
petugas polisi itu ditemukan bersalah melakukan penganiayaan lain selama
masa percobaan dan didenda Rp 1.000,-[6].
Amnesty International bahkan juga
menyatakan lemahnya akuntabilitas internal di kepolisian disebabkan oleh
rendahnya jumlah manajer yang berfungsi melakukan kontrol terhadap
prosedur dan fungsi akuntabilitas yang dijalankan oleh para bintara
(polisi berpangkat rendah). Jumlah bintara mencakup 90% dari Angkatan
Kepolisian Indonesia, sementara jumlah perwira polisi yag ada masih jauh
di bawah jumlah yang diperlukan untuk dapat menerapkan sistem
pengawasan dan pemonitoran yang komprehensif[7].
Masalah besar lainnya adalah sedikitnya
dokumen pasca operasional yang melaporkan kinerja anggota kepolisian.
Catatan yang diarsipkan seringkali tidak lengkap dan jarang sampai ke
atasan. Akuntabilitas internal juga masih terkendala masalah regulasi
internal. Di Indonesia pedoman perilaku internal kepolisian (semacam
peraturan dan regulasi yang mengendalikan perilaku polisi) sangat sulit
diperoleh, dan tidak tersedia untuk umum atau tidak bisa diakses oleh
umum. Selain itu banyak petugas kepolisian, khususnya di tingkat lokal,
yang tidak mengetahui peraturan tersebut. Isi peraturan tersebut juga
ternyata bermasalah. Amnesty International mengungkapkan bahwa
peraturan tersebut tidak secara terbuka melarang penggunaan kekuatan
serta senjata api yang tidak perlu dan berlebihan dan tidak memuat
larangan secara jelas terhadap penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan[8].
Berdasarkan fakta hukum dan fakta
sebenarnya yang terjadi di masyarakat, terkait dengan akuntabilitas yang
mensyaratkan adanya sistem pengawasan yang baik sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka penelitian ini secara lebih spesifik akan
membahas lebih lanjut tentang penerapan kode etik profesi kepolisian
sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri dengan segala hambatan yang
dihadapinya serta solusi yang dapat diberikan agar penerapan kode etik
profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri mampu
meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap kinerja Polri selama lebih
dari satu dekade setelah reformasi dalam konteks demokrasi.
Pembahasan kode etik profesi Polri menjadi penting karena kekhasan yang ada di dalam tubuh kepolisian sendiri. Pertama,
Polri mendapat kewenangan khusus untuk secara sah melanggar hak-hak
asasi warga yang dijamin oleh konstitusi, seperti melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan kejahatan,
selain juga boleh menggunakan kekerasan fisik baik untuk melindungi
dirinya, mengatasi perlawanan dalam suatu penangkapan, atau untuk
mengatasi suatu situasi tertentu.
Kedua, Polri memiliki wewenang
’diskresi’, dimana Polisi di lapangan seringkali harus menentukan
sendiri tentang saat dan cara yang tepat dalam melakukan tugasnya. Di
samping itu, anggota polisi biasanya sendirian dalam pelaksanaan
tugasnya di lapangan, atau jarang sekali didampingi oleh seorang atasan.
Ketiga, kepolisian merupakan organisasi yang independen dalam
pelaksanaan tugasnya. Polisi tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun
termasuk politisi, pejabat pemerintah dan termasuk atasannya. Dalam
sistem demokratis, hak-hak khusus Polri ini bukan hanya harus tunduk
pada hukum yang berlaku sebagai aspek luar namun juga harus tunduk pada
kode etik profesi sebagai aspek dalam kepolisian. Kode etik profesi
kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman
dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakan hukum,
ketertiban umum, dan keamanan masyarakat[9].
Polisi yang tidak beretika dan tidak berintegritas dalam tugas telah
menjadi parasit-parasit keadilan yang menciptakan Sistem Peradilan
Pidana (SPP).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka
penelitian ini bermaksud melakukan kajian kritis analitis yuridis
mengenai penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk
akuntabilitas kinerja Polri dengan menjadikan Polda Jawa Tengah sebagai
objek dan wilayah kajiannya.
B. Permasalahan
Berpijak dari latar belakang penelitian
sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini pokok
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut :
- Bagaimanakah penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah?
- Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah?
- Bagaimanakah solusi dalam mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah?
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian Sebagai Bentuk Akuntabilitas Kinerja Polri Di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah
Sebagaimana diketahui, di wilayah hukum
Polda Jawa Tengah terdapat berbagai aspek yang berpotensi menimbulkan
kerawanan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri, antara lain:
- Maraknya tempat-tempat hiburan malam di kota-kota yang ada di jajaran Polda Jawa Tengah yang berpotensi dikunjungi oleh anggota Polri dengan alasan melakukan penyelidikan dengan tidak dilengkapi Surat Perintah Tugas;
- Posisi strategis sebagai daerah jalur pantura dan cenderung menimbulkan kerawan terhadap pungli yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah jalur pantura;
- Pungli yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap pelayanan masyarakat dalam pembuatan SIM, perpanjangan STNK atau mutasi kendaraan/pendaftaran baru di kantor Samsat maupun terhadap mobil angkutan barang dan angkutan penumpang di jalan raya;
- Perilaku oknum anggota Polri yang memanfaatkan penanganan penyidikan dengan melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan berlindung di bawah institusi Polri/kesatuan kewilayahan;
- Adanya kolusi antara panitia pengadaan barang dan jasa dengan penyedia barang dan jasa dalam proses lelang/ tender pengadaan barang dan jasa di lingkungan Polda Jawa Tengah dan jajaran yang sarat akan pelanggaran;
- Adanya kolusi dalam proses penerimaan anggota Polri di lingkungan Polda Jateng;
- Perilaku arogan yang dilakukan anggota Polri dalam upaya paksa tindakan kepolisian maupun tugas-tugas pengamanan kamtibmas;
- Rekayasa pembuatan laporan pertanggunggjawaban penggunaan DIPA yang dilakukan oleh satuan kerja organisasi Polri jajaran Polda Jawa Tengah.
Mendasarkan pada berbagai aspek yang
berpotensi menimbulkan kerawanan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota
Polri sebagaimana disebutkan di atas, dari data-data berikut dapat
diketahui bentuk-bentuk pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang
dilakukan oleh para anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2012.
Tabel 1
Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012
NO
|
Bentuk Pelanggaran Kode Etik
|
2010
|
2011
|
2012
|
Jumlah
|
1. | Tidak menghormati harkat dan martabat manusia dan HAM |
0
|
0
|
0
|
nihil
|
2. | Melakukan perbuatan tercela |
6
|
1
|
2
|
8
|
3. | Tidak memegang teguh garis komado |
0
|
12
|
3
|
15
|
4. | Bertindak tidak berdasarkan norma dan nilai kemanusiaan |
0
|
4
|
0
|
4
|
5. | Tidak menjaga citra dan kehormatan Polri |
1
|
0
|
2
|
3
|
6. | Bunuh diri |
0
|
0
|
0
|
nihil
|
7. | Tidak menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri |
0
|
1
|
4
|
5
|
8. | Melakukan tindak pidana |
7
|
12
|
2
|
21
|
9. | Desersi |
14
|
8
|
16
|
38
|
10. | Sakit jiwa / depresi |
0
|
0
|
6
|
6
|
11. | Memihak dan tidak profesional |
0
|
0
|
0
|
nihil
|
Jumlah
|
28
|
38
|
35
|
101
|
Sumber: Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat
diketahui bahwa sepanjang tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2010
sampai dengan tahun 2012, ada sejumlah 101 kasus pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah.
Jika diamati secara mendalam bentuk pelanggaran kode etik Polri yang
paling sering dilakukan adalah perbuatan desersi yang mencapai 38 kasus,
disusul dengan perbuatan pidana sebanyak 21 kasus dan perbuatan tidak
memegang teguh garis komado sebanyak 15 kasus. Untuk lebih jelasnya
terkait dengan persentase bentuk perbuatan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh anggota Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah dapat
dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Persentase Bentuk Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012
NO
|
Jenis Pelanggaran Kode Etik
|
Jumlah
|
%
|
1. | Desersi |
38 kasus
|
37,62 %
|
2. | Melakukan tindak pidana |
21 kasus
|
20,79 %
|
3. | Tidak memegang teguh garis komado |
15 kasus
|
14,85 %
|
4. | Melakukan perbuatan tercela |
9 kasus
|
8,92 %
|
5. | Sakit jiwa / depresi |
6 kasus
|
5,94 %
|
6. | Tidak menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri |
5 kasus
|
4,95 %
|
7. | Bertindak tidak berdasarkan norma dan nilai kemanusiaan |
4 kasus
|
3,96 %
|
8. | Tidak menjaga citra dan kehormatan Polri |
3 kasus
|
2,97 %
|
Jumlah
|
101 kasus
|
100 %
|
Sumber: Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan,
ada beberapa golongan dari pelanggar Kode Etik Profesi Polri di wilayah
hukum Polda Jawa Tengah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3
di bawah ini.
Tabel 3
Golongan Pelanggar Kode Etik Profesi Polri
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012
NO
|
Golongan Pelanggar Kode Etik Profesi Polri
|
2010
|
2011
|
2012
|
Jumlah
|
1. | Pamen |
0
|
4
|
2
|
6
|
2. | Pama |
2
|
4
|
10
|
16
|
3. | Bintara |
26
|
30
|
23
|
79
|
4. | Tamtama |
0
|
0
|
0
|
-
|
5. | PNS |
0
|
0
|
0
|
-
|
Jumlah
|
28
|
38
|
35
|
101
|
Sumber: Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat
diketahui bahwa yang paling banyak melakukan pelanggaran Kode Etik
Profesi Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah adalah polisi golongan
Bintara (polisi berpangkat rendah) yang jumlahnya mencapai 79 orang,
disusul dengan polisi golongan Pama (perwira pertama) sebanyak 16 orang
dan polisi golongan Pamen (perwira menengah) sebanyak 6 orang. Bagi
mereka para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran ketentuan Kode
Etik Profesi Polri tersebut telah dilakukan upaya penegakan hukumnya
melalui Sidang Komisi Kode Etik Polri. Dari tabel 4 berikut di bawah ini
dapat diketahui berbagai putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri yang
dijatuhkan terhadap mereka para anggota kepolisian yang melakukan
pelanggaran ketentuan Kode Etik Profesi Polri.
Tabel 4
Hasil Putusan Sidang Komisi Kode Etik
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012
NO
|
Hasil Putusan
Sidang Komisi Kode Etik
|
2010
|
2011
|
2012
|
Jumlah
|
1. | PTDH |
18
|
17
|
14
|
49
|
2. | PDH |
2
|
1
|
0
|
3
|
3. | Pindah Tugas |
1
|
0
|
0
|
1
|
4. | Pindah Wilayah |
1
|
2
|
1
|
4
|
5. | Bin Ulang Profesi |
0
|
1
|
1
|
2
|
6. | Minta Maaf |
0
|
12
|
11
|
23
|
7. | Tercela |
4
|
7
|
7
|
18
|
8. | Pindah Jabatan |
0
|
10
|
6
|
16
|
9. | Tidak Terbukti |
0
|
0
|
1
|
1
|
10. | Sidang Banding |
1
|
0
|
0
|
1
|
11. | Sidang Ditunda |
1
|
0
|
0
|
1
|
12 | Bersedia membayar |
0
|
0
|
1
|
1
|
Jumlah
|
28
|
50
|
42
|
120
|
Sumber: Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat
diketahui bahwa ternyata penjatuhan hukuman kepada para anggota
kepolisian yang melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dari tahun
2010 sampai 2012 di wilayah hukum Polda Jawa Tengah mengalami
peningkatan. Peningkatan kasus tersebut terbilang cukup signifikan,
khususnya dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2011, karena hampir
mencapai 100% atau naik hampir dua kali lipat. Terhadap anggota
kepolisian yang melanggar Kode Etik Profesi Polri tersebut, dari data
yang tersaji dapat diketahui bahwa hukuman yang paling banyak dijatuhkan
adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atau PTDH yaitu sebanyak 49
orang. PTDH adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang
berwenang terhadap seorang anggota Polri karena telah terbukti melakukan
pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, disiplin, dan/atau tindak pidana.
Mendasarkan pada data tersebut, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penerapan standar profesi Polri yang
diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia belum sepenuhnya dijalankan oleh anggota kepolisian di wilayah
hukum Polda Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya
tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota
kepolisian di jajaran Polda Jawa Tengah, bahkan sepanjang tiga tahun
terakhir ini, dari tahun 2010 sampai 2012 cenderung mengalami
peningkatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan, dan Etika
Kepribadian yang di atur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia ternyata masih jauh panggang dari
api. Hal ini jelas sangat berlawanan dari harapan tegaknya disiplin Kode
Etik Profesi Polri dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan perannya.
Berbagai tindakan penyimpangan di jajaran Polda Polda Jawa Tengah
sebagaimana dijelaskan di atas, menjadi preseden buruk bagi terwujudnya
akuntabilitas kinerja Polri. Kondisi ini secara tidak langsung
memberikan signal, bahwa masih belum optimalnya fungsi pengawasan
internal Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam melaksanakan tugas pokok,
fungsi dan perannya.
2. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian sebagai Bentuk
Akuntabilitas Kinerja Polri di Wilayah Hukum Polda Jateng
Masalah pokok penegakan hukum terletak
pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi. Soerjono Soekanto
menjelaskan beberapa unsur atau faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
- Faktor hukumnya sendiri.
- Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
- Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup[10].
Sebagaimana proses penegakan hukum
pada umumnya dalam penerapan Kode Etik Profesi Polri juga tidak terlepas
dari lima faktor yang saling terkait dengan eratnya karena merupakan
esensi dari penegakan hukum itu sendiri. Mulai dari faktor hukumnya,
faktor penegak hukumnya, faktor masyarakat dalam hal ini anggota Polri
sebagai objek dari penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri dan faktor
kebudayaan dalam organisasi Polri maupun dalam masyarakat pada umumnya,
dan untuk mengetahui sejauh mana kelima faktor tersebut sebagai tolak
ukur bagi efektivitas penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri. Berangkat
dari teori inilah faktor-faktor yang menjadi mempengaruhi penerapan
Kode Etik Profesi Kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri
di wilayah hukum Polda Jawa Tengah akan diuraikan dalam penelitian ini.
1. Faktor Hukum
Masalah penyimpangan polisi di Indonesia
pada dasarnya telah diantisipasi oleh Polri melalui berbagai instrumen
pengawasan terhadap personil polisi. Pertama, melalui keberadaan
instrumen legal berupa peraturan. Selain pelanggaran pidana yang secara
umum diatur dalam KUHP, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
personilnya, Polri memiliki dua landasan utama yaitu melalui keberadaan
peraturan disiplin dan kode etik profesi. Peraturan disiplin anggota
Polri diatur melalui PP No. 2 Tahun 2003. Landasan kedua adalah kode
etik profesi yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011.
Permasalahannya adalah sulit untuk memisahkan secara tegas antara
berbagai aturan intern tersebut, selalu ada warna abu-abu, selalu ada
sisi terang dan sisi gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara
berbagai aturan tersebut. Permasalahan lain selain masalah di atas
adalah seringnya peraturan yang mengatur tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian ini dilakukan perubahan. Sebagaimana diketahui sebelum
ditetapkannya Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian, sebelumnya sudah ada dua Peraturan Kapolri yang
mengatur tentang hal yang sama, yaitu Keputusan Kapolri No.Pol:
KEP/32/VII/2003 dan Peraturan Kapolri Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun
2006. Artinya, peraturan tentang Kode Etik Profesi Kepolisian ini sudah
dua kali mengalami perubahan. Di samping itu, Peraturan tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian yang baru ini tidak tersedia penjelasan yang
memadai bahkan tidak ada penjelasan sama sekali. Akibat peraturan yang
multitafsir tersebut masing-masing pihak akan memiliki penafsiran yang
berbeda-beda, sehingga dapat membuka peluang terjadinya manipulasi dalam
penegakan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
2. Faktor Penegak Hukum
Aparat penegak hukum yang dimaksud disini
adalah fungsi kepolisian yang akan menegakkan Kode Etik Profesi
Kepolisian dalam hal ini Bidpropam Polda Jawa Tengah. Sebagaimana
diketahui jumlah personil Bidpropam Polda Jawa Tengah tidak seimbang
dengan jumlah dan kompleksitas permasalahan personil Polda Jawa Tengah.
Jumlah personil Bidpropam Polda Jawa Tengah adalah hanya 126 personil
apabila dibandingkan dengan jumlah personil Polda Jawa Tengah dan
jajaranya yang berjumlah 37.311 personil dan luasnya wilayah hukum Polda
Jawa Tengah merupakan kendala tersendiri bagi Bidpropam Polda Jawa
Tengah dalam menerapkan kode etik profesi kepolisian. Untuk itu
kendala nyata yang dihadapi adalah kurangnya kapasitas anggota personil
Bidpropam Polda Jawa Tengah untuk dapat mencakup seluruh wilayah yang
menjadi tanggung jawab Polda Jawa Tengah. Permasalahan lain selain
masalah di atas adalah Kepala Satuan Organisasi Polri selaku Ankum di
seluruh tingkatan belum mampu memberikan sanksi kepada anggota polri
yang melakukan pelanggaran melalui sidang Komisi Kode Etik Polri,
sehingga harapan pelanggaran sekecil apapun ditindak lanjuti dengan
tindakan korektif atau sanksi tidak tercapai. Penyebabnya adalah masih
adanya di antara pimpinan satuan selaku Ankum yang belum sepenuhnya
memberikan atensi atas pelaksanaan tugas penegakan hukum Kode Etik
Profesi Polri termasuk kepada petugas Subbidang Wabprof.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Aspek yang tidak kalah pentingnya dalam
penegakan Kode Etik Profesi Polri adalah aspek sarana atau fasilitas
baik peralatan yang memadai maupun dukungan anggaran keuangan yang
cukup. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya,
baik Subbidpaminal, Subbidprovos, dan Subbidwabprof selaku unsur
pelaksana utama Bidpropam Polda Jawa Tengah sering menghadapi hambatan
terkait dengan masalah sarana dan prasarana yang belum memadai dan
keterbatasan dukungan anggaran, sehingga bagi mereka hal tersebut sangat
mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari.
4. Faktor Masyarakat/Anggota Polri
Anggota Polri sebagai objek dalam
penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri cukup mempengaruhi keberhasilan
dari penerapan kode etik profesi kepolisian. Beragam latar belakang dan
karakteristik pribadi yang dimiliki para anggota polisi, turut
mempengaruhi tingkat kualitas kinerja masing-masing, ada yang tinggi dan
ada yang rendah, yang pada akhirnya sebagai akumulasi akan mempengaruhi
tingkat kualitas kinerja, baik latar belakang pendidikan, adat istiadat
yang dianut, termasuk beragamnya karakter kualitas emosional dan
intelejensia setiap anggota polisi, kualitas mental dan keimanan setiap
orang yang juga sangat beragam, belum meratanya tingkat profesionalisme
anggota polisi dalam segala tingkatan. Berikut adalah beberapa faktor
dari anggota Polri yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi
kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah
- Tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah sehingga pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tetap terjadi.
- Tingkat pemahaman dan penerapan aturan hukum oleh Subbidang Wabprof dalam penyidikan perkara pelanggaran Kode Etik Profesi Polri masih rendah.
- Masih banyak campur tangan, intervensi dari para pejabat Polri di lingkungan Polda Jawa Tengah dalam pelaksanaan penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri, sehingga hasil dari penegakan hukum yang dicapai masih relatif subyektif dan kurang transparan. Intervensi oleh atasan yang berupa perintah tertentu seringkali memiliki legitimasi yang lebih kuat daripada prosedur yang ada dalam hal penanganan suatu perkara pelanggaran kode etik. Hal tersebut seringkali terjadi manakala seorang atasan memiliki kepentingan tertentu terhadap penanganan suatu perkara perkara pelanggaran kode etik yang sedang ditangani oleh Subbidang Wabprof yang menjadi bawahannya.
- Masih ada tenggang rasa yang tinggi dari Ankum untuk melakukan sidang Komisi Kode Etik Polri terhadap anggota. Hal ini dikarenakan masih tingginya pertimbangan keputusan yang bersifat subyektif sehingga unsur-unsur obyektif yang seharusnya lebih diutamakan menjadi kurang diperhatikan.
- Sosialisasi dan pelatihan semua aturan bidang kepropaman belum dilaksanakan oleh semua Satker.
5. Faktor Budaya
Dalam konteks ini, yang agak sulit diubah
adalah budaya organisasi yang dibentuk oleh kekuasaan menjadi budaya
organisasi pelayanan. Selain itu masih adanya budaya “ewuh pakewuh”,
yaitu adanya keengganan pemeriksa dari Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam
memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik.
Hal ini dikarenakan rasa solidaritas (spirit de corps)
yang dianggap berlebihan diantara sesama anggota Polri, terutama yang
masa pendidikan pemeriksa satu angkatan dengan terduga pelanggar atau
terduga pelanggar lebih senior daripada pemeriksa. Masalah lain adalah
masih terdapatnya kekeliruan dalam hal penempatan anggota, sehingga
apabila terjadi penempatan anggota yang tidak tepat/bermasalah dapat
mengancam kerahasiaan suatu tugas yang diembannya. Artinya, masih
ditemukan penempatan anggota polisi yang tidak sesuai dengan bidang
keahliannya, dalam hal ini kemampuan di bidang kepropaman.
3. Solusi Mengatasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian di Wilayah Hukum Polda Jateng
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan
dalam mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik
profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja polri di wilayah
hukum Polda Jawa Tengah. Beberapa solusi tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan
faktor hukumnya dimana permasalahan yang timbul seperti sulitnya untuk
memisahkan secara tegas antara berbagai aturan intern Polri seperti
antara peraturan disiplin dan kode etik profesi, maka dalam konteks
penelitian ini perlu adanya penggabungan aturan tentang etika dan
disiplin menjadi satu. Selanjutnya terkait dengan peraturan tentang Kode
Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai, sehingga
mengakibatkan peraturan yang multitafsir dalam hal ini membuka peluang
terjadinya manipulasi dalam penerapan hukum yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dalam konteks penelitian ini
perlu adanya penjabaran lebih lanjut tentang Peraturan Kapolri Nomor 14
Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.
Kedua, terkait dengan
faktor penegak hukumnya dimana permasalahan yang timbul seperti Kepala
Satuan Organisasi Polri selaku Ankum di seluruh tingkatan belum mampu
memberikan sanksi kepada anggota polri yang melakukan pelanggaran
melalui sidang Komisi Kode Etik Polri, sehingga harapan pelanggaran
sekecil apapun ditindak lanjuti dengan tindakan korektif atau sanksi
tidak tercapai, maka dalam konteks penelitian ini Bidpropam Polda Jawa
Tengah harus mampu mewujudkan peran sebagai ujung tombak perubahan,
transformasi profesionalisme dan kinerja Polri dan benteng terakhir
fungsi pengawasan serta pengendalian mutu kinerja Jajaran. Bidpropam
Polda Jawa Tengah harus mampu mengawal pengendalian mutu kinerja jajaran
dan mengamankan pelaksanaan tugas pada umumnya agar dapat berjalan
sesuai rencana strategis Polri, serta dapat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya
juga diharapkan melalui implementasi tugas pokok, fungsi dan peran
Bidpropam Polda Jawa Tengah dapat ditumbuhkembangkan kualitas pelayanan
Polri dari waktu ke waktu secara sinergis, optimal dan efektif baik di
bidang pre-emptive, preventif dan represif. Bidpropam Polda Jawa Tengah
dalam hal ini perlu menetapkan perubahan paradigma dan revitalisasi
peran Bidpropam yang dirangkum dalam 4-CO, yaitu:
- Compliance Role
Konsep ini berbicara tentang peran untuk
mendorong kesadaran, dengan kata lain dengan memberikan pemahaman,
mendorong kesadaran, dan meningkatkan tindak tanduk polisi akan prinsip
kepatuhan, akuntabilitas dan etika profesi.
- Consultative Role
Dalam konteks ini, Bidpropam berperan
untuk pencegahan yaitu dengan meningkatkan kerjasama internal dengan
seluruh satuan kerja dan satuan kewilayahan polri untuk memberikan
pelayanan peningkatan kualitas (quality improvement) dan peningkatan sistem kerja yang dapat mencegah terjadinya kesalahan (risk management) pelanggaran, memberikan pembinaan bagi peningkatan kualitas personel polri, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
- Coordination Role
Peran yang akan dibangun dalam konsep ini
adalah peran kemitraan dimana disusun sebuah bentuk koordinasi untuk
meningkatkan kerjasama eksternal dengan seluruh pihak terkait
(Kompolnas, LSM, media, dll) dalam rangka peningkatan pemahaman
masyarakat terhadap standar profesi polisi, peningkatan kontribusi
masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran oleh polisi,
peningkatan akses masyarakat untuk menyampaikan pengaduan pelanggaran
polisi, dan peningkatan tindak lanjut penyelesaian pelanggaran polisi.
- Corrective Role
Peran yang akan dibangun dalam hal ini
adalah peran untuk penegakan Kode Etik Profesi Polri. Peran ini
bertujuan untuk meningkatkan efektifitas (ketepatan dan kecepatan)
penyelesaian kasus pelanggaran personel polri dan penegakan Kode Etik
Profesi Polri untuk menimbulkan efek jera sehingga tidak terjadi lagi
pelanggaran, memberikan pembinaan bagi peningkatan kualitas personel
polri, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Selain prinsip-prinsip pengembangan
pengawasan dan akuntabilitas yang akan digunakan di atas, terdapat
sejumlah kerangka-kerangka yang menurut peneliti perlu dikembangkan
secara lebih spesifik tentang bagaimana harapan masa depan akan
pengawasan dan pelaksanaan prinsip akuntabilitas yang dilakukan oleh
Bidpropam. Kerangka-kerangka tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
- Pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri harus berbasis pada orientasi masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat sangat memperhatikan aspek-aspek seperti kemudahan dalam mengakses, mudah dipahami dalam penggunaan, memakan waktu yang relatif sedikit, dan kerahasiaan yang terjamin. Apapun kebijakan atau program yang akan dikembangkan oleh Bidpropam diharapkan memperhatikan aspek-aspek tersebut dalam implementasinya.
- Pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri diharapkan tersusun secara sistematik dan jelas sehingga masyarakat dapat memahami secara mudah tentang proses-proses dan waktu yang akan mereka jalani dan habiskan.Selain itu, pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri selayaknya menjangkau sejauh mungkin hingga tingkatan wilayah terbawah atau terpencil. Tujuannya adalah untuk menekan tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri atau kebijakan yang tidak sesuai.
- Pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri juga harus memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini karena sudah menjadi dasar bagi semua kebijakan Polri sebagai penegak hukum untuk patuh dan menegakkan hukum, termasuk pada dirinya sendiri,
- Terakhir, pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri akan memberi nilai lebih ketika pengembangan tersebut berbasis teknologi yang efektif (tepat guna) dan efisien. Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi mampu menjembatani ketidakmampuan menjadi mampu dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia akan lebih mudah, tepat dan efisien ketika teknologi dilibatkan dalam menghadapi permasalahan manusia.
Ketiga, terkait dengan
faktor sarana atau fasilitas dimana permasalahan yang timbul seperti
dalam pelaksanaan tugasnya, baik Subbidpaminal, Subbidprovos, dan
Subbidwabprof selaku unsur pelaksana utama Bidpropam Polda Jawa Tengah
sering menghadapi hambatan terkait dengan masalah sarana dan prasarana
yang belum memadai dan keterbatasan dukungan anggaran, sehingga bagi
mereka hal tersebut sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas
sehari-hari, maka dalam konteks penelitian ini sarana dan fasilitas yang
perlu diadakan untuk mendukung penegakan Kode Etik Profesi Polri
diantaranya seperti: a). alat transportasi dan alat komunikasi; b). alat
deteksi; c). ruang kerja yang kondusif; d). peralatan administrasi yang
memadai; e). komputer dan internet yang memiliki program dan jaringan
luas; f). sarana pustaka hukum sebagai bahan referensi bagi
Subbidpaminal, Subbidprovos, dan Subbidwabprof selaku unsur pelaksana
utama Bidpropam Polda Jawa Tengah; dan g). dana yang cukup seperti
terpenuhinya hak-hak anggota mulai dari gaji sampai dengan tunjangan
jabatan dan tersedianya anggaran yang cukup atau memadai dalam menunjang
pelaksanaan tugas seperti dalam hal pemeriksaan pendahuluan, sidang
Komisi Kode Etik Polri sampai pada kegiatan penjatuhan hukuman kode
etik.
Keempat, terkait dengan
faktor masyarakat/anggota Polri yang dalam hal ini sebagai objek dalam
penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri, dimana permasalahan yang timbul
seperti tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan
Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif
rendah sehingga pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tetap terjadi, maka
dalam konteks penelitian ini sebagai upaya pemuliaan dan penegakan
peraturan Kode Etik Profesi Polri, pimpinan dalam hal ini dituntut mampu
memberikan sanksi kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran
melalui sidang kode etik. Diharapkan penegakan peraturan Kode Etik
Profesi Polri dilaksanakan oleh setiap Kepala Satuan Organisasi Polri
selaku Ankum diseluruh tingkatan sehingga pelanggaran sekecil apapun
ditindaklanjuti dengan tindakan korektif atau sanksi. Apabila kondisi
ini selalu terpelihara, maka pelanggaran-pelanggaran peraturan Kode Etik
Profesi Polri yang akan dilakukan oleh anggota Polri dapat
diminimalisasi. Mendasarkan pada hal tersebut di atas, dalam rangka
mewujudkan tegaknya hukum peraturan Kode Etik Profesi Polri, maka
meningkatkan komitmen seluruh anggota kepolisian di jajaran Pola Jawa
Tengah merupakan hal mutlak untuk dilakukan. Caranya dapat dengan
melakukan usaha atau kegiatan seperti: a).peningkatan pemahaman anggota
Polri terhadap peraturan Kode Etik Profesi Polri; b). pemberian teladan
ketaatan terhadap hukum c).pembinaan kesadaran hukum; d).pembinaan
tanggung jawab sosial sebagai warga negara; dan e).tradisi penegakan
hukum peraturan Kode Etik Profesi Polri yang benar dan konsekuen untuk
menghindari kekecewaan masyarakat; f).komitmen seluruh anggota Polri
untuk melaksanakan peraturan Kode Etik Profesi Polri dengan titik berat
pada keberhasilan pelaksanaan tugas sesuai amanat dan harapan warga
masyarakat.
Kelima, terkait dengan
faktor budaya dimana permasalahan yang timbul seperti masih adanya
budaya “ewuh pakewuh”, yaitu adanya keengganan pemeriksa dari Bidpropam
Polda Jawa Tengah dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan
pelanggaran kode etik, maka dalam konteks penelitian ini untuk
menghasilkan fungsi Kepolisian yang menjunjung tinggi supremasi hukum
tentu perlu didahului dengan pembangunan kultur individu anggota
kepolisian, diantarnya seperti: a).membangun mentalitas dasar bahwa
masyarakat dengan polisi adalah mitra, namun tetap tegas dalam
menegakkan hukum; b).sistem keyakinan dasar yang mengatur perilaku
hubungan dengan masyarakat, baik dengan orang yang melakukan kejahatan
maupun orang yang bukan pelaku kejahatan; c). mempelajari ethos kerja
atau semangat polisi dalam lingkungan kerjanya sehingga menjadi motivasi
sebagai polisi yang baik; dan d). memiliki pedoman pola berpikir dan
berperilaku yang membentuk profil polisi dalam tugas di lapangan[11].
Setelah membangun kultur individu anggota kepolisian, maka langkah
selanjutnya adalah membangun kultur organisasi kepolisian.
Keanekaragaman latar belakang kultur setiap individu anggota kepolisian
mencerminkan adanya berbagai perbedaan kultur individu tersebut, hal ini
berdampak pada warna kultur pluralistik namun harmonisasi harus
dikembangkan sehingga akan bermuara dalam pelaksanaan tugas yang
efektif. Demikian juga dalam pengambilan keputusan yang berakar dari
masing-masing anggota polisi perlu diarahkan kepada kultur organisasi
polisi yang mengacu pada visi, dan misinya. Polisi dan masyarakat yang
demokratis, pemolisiannya mengacu pada prinsip-prinsip demokratis, yaitu
antara lain berdasarkan supremasi hukum, memberikan jaminan dan
perlindungan hak asasi manusia, transparan, bertanggung jawab kepada
publik, berorientasi kepada masyarakat, serta adanya pembatasan dan
pengawasan kewenangan polisi.
D. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat diperoleh beberapa simpulan.
- Penerapan Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 belum sepenuhnya dijalankan oleh anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota kepolisian, bahkan sepanjang tiga tahun terakhir dari tahun 2010 sampai 2012 cenderung mengalami peningkatan. Bentuk pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang paling sering dilakukan adalah perbuatan desersi yang mencapai 38 kasus, disusul dengan perbuatan pidana sebanyak 21 kasus dan perbuatan tidak memegang teguh garis komado sebanyak 15 kasus. Polisi golongan Bintara (polisi berpangkat rendah) merupakan anggota kepolisian yang paling banyak melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yaitu sebanyak 79 orang. Berbagai tindakan penyimpangan tersebut jelas menjadi preseden buruk bagi terwujudnya akuntabilitas kinerja Polri. Hal ini menunjukkan bahwa etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan, dan etika kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh setiap anggota Polri ternyata masih jauh panggang dari api. Kondisi ini secara tidak langsung memberikan signal, bahwa masih belum optimalnya fungsi pengawasan internal Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya.
- Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah adalah sebagai berikut: 1). Faktor hukumnya, yaitu peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai bahkan tidak ada penjelasan sama sekali. Akibat peraturan yang multitafsir, maka masing-masing pihak akan memiliki penafsiran yang berbeda-beda, sehingga dapat membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penerapan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum; 2). Faktor penegak hukumnya, yaitu kurangnya kapasitas anggota personil Bidpropam Polda Jawa Tengah selaku pengembang fungsi pengawasan internal untuk dapat mencakup seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawab Polda Jawa Tengah; 3). Faktor sarana atau fasilitas, yaitu belum memadainya sarana dan prasarana serta terbatasnya dukungan anggaran, dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri; 4). Faktor masyarakat dalam hal ini anggota Polri tingkat kesadaran dan kepatuhan atas peraturan Kode Etik Profesi Polri masih relatif rendah sehingga pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tetap terjadi; dan 5). Faktor budaya, yaitu dalam konteks ini yang agak sulit diubah adalah budaya organisasi yang dibentuk oleh kekuasaan menjadi budaya organisasi pelayanan. Selain itu masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, dalam memeriksa anggota Polri yang melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri. Hal ini dikarenakan rasa solidaritas (spirit de corps) yang dianggap berlebihan diantara sesama anggota Polri, terutama yang masa pendidikan pemeriksa satu angkatan dengan terduga pelanggar atau terduga pelanggar lebih senior daripada pemeriksa.
- Solusi dalam mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah adalah sebagai berikut: 1). Terkait dengan faktor hukumnya, maka perlu adanya penggabungan aturan tentang etika dan disiplin menjadi satu serta perlu adanya penjabaran lebih lanjut tentang Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian; 2). Terkait dengan faktor penegak hukumnya, maka perlu memantapkan kiprah Bidpropam sebagai garda terdepan penegakan hukum peraturan kode etik profesi kepolisian. Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam hal ini perlu menetapkan perubahan paradigma dan revitalisasi peran Bidpropam yang dirangkum dalam 4-CO yaitu: compliance role; consultative role; coordination role; dan corrective role; 3). Terkait dengan faktor sarana dan prasarana yang belum memadai, maka sarana dan fasilitas yang perlu diadakan untuk mendukung penegakan Kode Etik Profesi Polri diantaranya seperti: 1). alat transportasi dan alat komunikasi; 2). alat deteksi; 3). ruang kerja yang kondusif; 4). peralatan administrasi yang memadai; dan 5). dana yang cukup seperti terpenuhinya hak-hak anggota mulai dari gaji sampai dengan tunjangan jabatan; 4). Terkait dengan tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah, maka meningkatkan komitmen seluruh anggota kepolisian di jajaran Pola Jawa Tengah merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan; dan 5). Terkait dengan masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka untuk menghasilkan fungsi Kepolisian yang menjunjung tinggi supremasi hukum tentu perlu didahului dengan pembangunan kultur individu anggota kepolisian, diantarnya seperti membangun mentalitas, perilaku, ethos kerja dan pola pikir setiap anggota kepolisian. Setelah membangun kultur individu anggota kepolisian, maka langkah selanjutnya adalah membangun kultur organisasi kepolisian yaitu sebagai organisasi yang demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjunjung tinggi HAM.
2. Saran
Setelah menetapkan beberapa simpulan sebagaimana dijelaskan di atas, maka saran yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut:
- Sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri serta agar memberikan efek jera maupun efek deterrence bagi personel Polda Jawa Tengah yang melakukan pelanggaran kode etik profesi Polri, maka penindakannya harus diproses secara transparan, tegas dan bertanggungjawab. Untuk mewujudkan kondisi demikian perlunya ditempatkan personel-personel yang memiliki integritas tinggi dan berkomitmen memberantas polisi nakal (yang tidak professional) namun tetap didukung dengan anggaran dan prasarana yang memadai. Selain itu, sosialisasi terhadap peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri yang masih baru ini harus dilaksanakan secara terus menerus.
- Perlu Meningkatkan jumlah personil Bidpropam Polda Jawa Tengah agar seimbang dengan cakupan tugas dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Selain itu perlu juga meningkatkan dukungan alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan operasional Bidpropam Polda Jawa Tengah. Secara khusus perlu menyusun program peningkatan profesionalitas personil (peningkatan kualitas SDM Personel Bidpropam) dan bersikap proaktif dalam menyikapi, mengatasi dan mengantisipasi masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota. (https://ferli1982.wordpress.com/)
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Amnesty International. 2009. Urusan Yang Belum Selesai: Akuntabilitas Polisi di Indonesia. Amnesty International Publications, London.
Born, Hans dan Ian Leigh. 2007. Mendorong Akuntabilitas Intgelijen: Dasar Hukum dan Praktik Terbaik dari Pengawasan Intelijen. DCAF, FES, dan Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman, Jakarta.
Fernida, Indria. Akuntabilitas Polisi dalam Penegakan HAM, dalam Beni Sukardis dan Eric Hendra, 2008, Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. Lesperssi dan DCAF, Jakarta.
Kadarmanta, A. 2007. Membangun Kultur Kepolisian. PT. Forum Media Utama, Jakarta.
Kunarto. 1997. Etika Kepolisian, Cipta Manunggal, Jakarta, hlm 97. Lihat juga Sadjijono, 2008, Etika Profesi Hukum Suatu Telaah Filosofis terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi Polri. Laksbang Mediatama, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers, Jakarta.
Wibisono, Ali Abdullah dan Faisal Idris. 2006, Menguak Tabir Intelijen ‘Hitam’ Indonesia. Pacivis, Jakarta.
Comments
Post a Comment