Analisis Yuridis Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian Sebagai Bentuk Akuntabilitas Kinerja Polri Di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah

 
ABSTRAK

Seorang anggota Polri berpotensi melakukan berbagai tindakan penyimpangan disebabkan kewenangan yang dimilikinya sangat besar. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya ada saja berbagai bentuk tindakan/sikap/tingkah laku yang melanggar Kode Etik Profesi Polri itu sendiri. Guna menyeimbangkan kewenangan-kewenangan tersebut maka sangat penting bagi Polri untuk bertanggunggugat kepada hukum, negara dan warganya (publik). Pertanggunggugatan sendiri sangat erat kaitannya dengan akuntabilitas. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah penerapan Kode Etik Profesi Polri sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah, faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Kode Etik Profesi Polri dan solusi mengatasinya. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian  deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan meliputi studi pustaka, wawancara dan studi dokumentasi yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa penerapan Kode Etik Profesi Polri belum sepenuhnya dijalankan oleh anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang terjadi, bahkan sepanjang tiga tahun terakhir dari tahun 2010 sampai 2012 cenderung mengalami peningkatan. Bentuk pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang paling banyak dilakukan adalah perbuatan desersi yang mencapai 38 kasus, disusul dengan perbuatan pidana sebanyak 21 kasus dan perbuatan tidak memegang teguh garis komado sebanyak 15 kasus. Polisi golongan Bintara (polisi berpangkat rendah) merupakan anggota kepolisian yang paling banyak melakukan pelanggaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Kode Etik Profesi Polri diantaranya adalah: 1).faktor hukumnya, yaitu peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai; 2).faktor penegak hukumnya, yaitu kurangnya kapasitas anggota personil Bidpropam Polda Jawa Tengah selaku pengembang fungsi pengawasan internal; 3).faktor sarana atau fasilitas, yaitu belum memadainya sarana dan prasarana serta terbatasnya dukungan anggaran; 4).faktor masyarakat dalam hal ini anggota Polri tingkat kesadaran dan kepatuhan atas peraturan Kode Etik Profesi Polri masih relatif rendah; 5).faktor budaya, yaitu sulitnya merubah budaya organisasi yang dibentuk oleh kekuasaan menjadi budaya organisasi pelayanan. Solusi untuk mengatasinya adalah merubah paradigma pengawasan internal dalam hal: a). fokus perhatian dari mencari kesalahan menjadi mencegah kesalahan; b). peran yang dimainkan dari mencari kesalahan menjadi konsultan; c).gaya kerja dari reaktif (memeriksa) menjadi proaktif mengingatkan; dan d). paradigma keberhasilan dari semakin banyak menemukan kesalahan semakin bagus menjadi saya bangga jika unit lain tidak berbuat salah, berarti saya sukses mencegah. Berangkat dari pemikiran tersebut, Bidpropam Polda Jawa Tengah saat ini mencanangkan revitalisasi peran yang dirangkum dalam 4-co, yaitu: a). compliance role/mendorong kesadaran; b). consultative role/pencegahan; c). coordination role/kemitraan; d). corrective role/penegakan kode etik.

Kata kunci : penerapan, Kode Etik Profesi Polri, Polda Jawa Tengah


A.   Latar Belakang
Pada awal masa reformasi, sejumlah pembenahan telah dilakukan dalam tubuh Polri. TAP MPR-RI No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR-RI No. VII/MPR/2000 telah memisahkan Polri dari TNI dan meletakkan fungsi Polri secara terpisah dari TNI. DPR juga telah berhasil menyelesaikan UU No. 2 Tahun 2002 yang mengatur tentang Polri. Meski demikian, reformasi Polri masih jauh dari harapan masyarakat. Dalam konteks demokrasi, institusi kepolisian merupakan pelayan masyarakat. Kepolisian sebagai bagian dari perangkat pemerintahan haruslah tunduk pada mandat yang diberikan rakyat, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri[2], yang dilakukan dengan cara-cara yang demokratis. Selain dituntut memberikan pelayanan maksimal, Polri juga dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas kinerjanya sehingga menjadi lembaga yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Secara sederhana akuntabilitas bisa didefinisikan sebagai pelaporan rutin. Akuntabilitas juga bisa berarti pertanggungjawaban atas hasil kerja yang dilakukan dalam satu periode. Akuntabilitas juga meliputi dimensi lain, sebagaimana diungkap oleh Bob Sugeng Hadiwinata yang mengatakan, bahwa lembaga negara yang akuntabel juga harus siap untuk diawasi oleh institusi lain, untuk menjamin tidak adanya penyimpangan. Dalam konteks demokrasi, pihak eksekutif yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik haruslah diawasi oleh lembaga legislatif yang merupakan representasi dari seluruh rakyat[3].
Dalam implementasinya, pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh DPR sendiri. Sebuah akuntabilitas politik meliputi pengawasan berlapis, baik dari internal, eksekutif, parlemen, dan publik. Pertama, pengawasan internal dilakukan melalui pengawasan melekat dan penerapan standard operating procedure. Dalam konteks Polri pengawasan internal dilakukan oleh Propam (Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan) dan Irwasum (Inspektorat Pengawasan Umum). Kedua, pengawasan eksekutif dilakukan melalui mekanisme penugasan dan pelaporan, dalam hal ini oleh Presiden yang secara struktural berada di atas Polri. Ketiga, pengawasan parlemen dilakukan melalui mekanisme anggaran dan sub komisi, sementara keempat, pengawasan publik melalui mekanisme penampungan keluhan warga melalui lembaga-lembaga negara seperti Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan lain-lain[4].
Akuntabilitas mensyaratkan adanya sistem pengawasan yang baik. Sesuai dengan konsep yang dijelaskan di atas, secara teoritis kepolisian harus diawasi secara berlapis, baik dari internal, eksekutif, legislatif, maupun oleh lembaga publik. Terkait dengan pengawasan internal, kepolisian memang memiliki Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) dan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Irwasum berfungsi secara langsung melakukan pengawasan dan penerapan kebijakan polisi, sementara Propam merupakan badan utama yang secara khusus mengurusi pengaduan eksternal mengenai perilaku salah polisi. Kenyataannya, kedua institusi ini tidak pernah efektif dalam menjalankan fungsinya, karena yang ditangani adalah kawan sendiri. Kedua lembaga tersebut cenderung untuk menutupi dan melindungi, bukan menghukum. Istilah populernya “tidak ada jeruk makan jeruk”. Indria Fernida mengungkapkan pendapatnya, bahwa:
”Dalam mekanisme internalnya, Polri memiliki Tim Propam (Bidang Profesi dan Pengamanan) yang bertugas menerima pelaporan dan membuat penyelidikan internal terhadap pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang akan dilanjutkan dengan sidak etik kepolisian. Namun tentu saja penyelidikan yang dilakukan tidak bisa dikatakan independen karena melibatkan anggota kepolisian sendiri. Kekerasan yang dilakukan oleh polisi seringkali dipandang sebagai kesalahan prosedural operasi kerja di lapangan semata. Apalagi dalam kenyataannya proses penyelidikan pasca pengaduan juga tidak bisa diketahui perkembangannya. Sementara penghukuman terhadap kesalahan prosedural melalui Majelis Etik dengan menggunakan dasar hukum PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI justru menjadi alat impunitas bagi pelaku kejahatan pidana”[5].
Hal yang kurang lebih sama juga dikatakan oleh Amnesty International, yang menemukan bahwa masyarakat bahkan tidak mengetahui prosedur pengaduan polisi melalui perpolisian internal. Para pengacara yang bertindak mewakili para korban pelanggaran HAM yang mencoba memasukkan pengaduan ke Propam memberi tahu Amnesty International bahwa mereka merasa prosesnya tidak jelas. Selain itu kasus yang dibawa ke tingkat Propam juga tidak mendapat penyelesaian memuaskan, seperti dalam kasus Hartoyo di kantor Polsek Aceh Banda Raya dimana oknum polisi pelaku pelanggar HAM atas (korban) Hartoyo hanya dikenakan pasal pelanggaran kecil dan karenanya masing-masing dikenai hukuman percobaan enam bulan yang bisa diubah menjadi tiga bulan pemenjaraan jika para petugas polisi itu ditemukan bersalah melakukan penganiayaan lain selama masa percobaan dan didenda Rp 1.000,-[6].
Amnesty International bahkan juga menyatakan lemahnya akuntabilitas internal di kepolisian disebabkan oleh rendahnya jumlah manajer yang berfungsi melakukan kontrol terhadap prosedur dan fungsi akuntabilitas yang dijalankan oleh para bintara (polisi berpangkat rendah). Jumlah bintara mencakup 90% dari Angkatan Kepolisian Indonesia, sementara jumlah perwira polisi yag ada masih jauh di bawah jumlah yang diperlukan untuk dapat menerapkan sistem pengawasan dan pemonitoran yang komprehensif[7].
Masalah besar lainnya adalah sedikitnya dokumen pasca operasional yang melaporkan kinerja anggota kepolisian. Catatan yang diarsipkan seringkali tidak lengkap dan jarang sampai ke atasan. Akuntabilitas internal juga masih terkendala masalah regulasi internal. Di Indonesia pedoman perilaku internal kepolisian (semacam peraturan dan regulasi yang mengendalikan perilaku polisi) sangat sulit diperoleh, dan tidak tersedia untuk umum atau tidak bisa diakses oleh umum. Selain itu banyak petugas kepolisian, khususnya di tingkat lokal, yang tidak mengetahui peraturan tersebut. Isi peraturan tersebut juga ternyata bermasalah. Amnesty International mengungkapkan bahwa peraturan tersebut tidak secara terbuka melarang penggunaan kekuatan serta senjata api yang tidak perlu dan berlebihan dan tidak memuat larangan secara jelas terhadap penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan[8].
Berdasarkan fakta hukum dan fakta sebenarnya yang terjadi di masyarakat, terkait dengan akuntabilitas yang mensyaratkan adanya sistem pengawasan yang baik sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penelitian ini secara lebih spesifik akan membahas lebih lanjut tentang penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri dengan segala hambatan yang dihadapinya serta solusi yang dapat diberikan agar penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri mampu meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap kinerja Polri selama lebih dari satu dekade setelah reformasi dalam konteks demokrasi.
Pembahasan kode etik profesi Polri menjadi penting karena kekhasan yang ada di dalam tubuh kepolisian sendiri. Pertama, Polri mendapat kewenangan khusus untuk secara sah melanggar hak-hak asasi warga yang dijamin oleh konstitusi, seperti melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan kejahatan, selain juga boleh menggunakan kekerasan fisik baik untuk melindungi dirinya, mengatasi perlawanan dalam suatu penangkapan, atau untuk mengatasi suatu situasi tertentu.
Kedua, Polri memiliki wewenang ’diskresi’, dimana Polisi di lapangan seringkali harus menentukan sendiri tentang saat dan cara yang tepat dalam melakukan tugasnya. Di samping itu, anggota polisi biasanya sendirian dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, atau jarang sekali didampingi oleh seorang atasan. Ketiga, kepolisian merupakan organisasi yang independen dalam pelaksanaan tugasnya. Polisi tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun termasuk politisi, pejabat pemerintah dan termasuk atasannya. Dalam sistem demokratis, hak-hak khusus Polri ini bukan hanya harus tunduk pada hukum yang berlaku sebagai aspek luar namun juga harus tunduk pada kode etik profesi sebagai aspek dalam kepolisian. Kode etik profesi kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakan hukum, ketertiban umum, dan keamanan masyarakat[9]. Polisi yang tidak beretika dan tidak berintegritas dalam tugas telah menjadi parasit-parasit keadilan yang menciptakan Sistem Peradilan Pidana (SPP).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penelitian ini bermaksud melakukan kajian kritis analitis yuridis mengenai penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri dengan menjadikan Polda Jawa Tengah sebagai objek dan wilayah kajiannya.
 B.   Permasalahan
Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah?
  2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah?
  3. Bagaimanakah solusi dalam mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah?
 C.   Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.    Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian Sebagai Bentuk Akuntabilitas Kinerja Polri Di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah
Sebagaimana diketahui, di wilayah hukum Polda Jawa Tengah terdapat berbagai aspek yang berpotensi menimbulkan kerawanan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri, antara lain:
  1. Maraknya tempat-tempat hiburan malam di kota-kota yang ada di jajaran Polda Jawa Tengah yang berpotensi dikunjungi oleh anggota Polri dengan alasan melakukan penyelidikan dengan tidak dilengkapi Surat Perintah Tugas;
  2. Posisi strategis sebagai daerah jalur pantura dan cenderung menimbulkan kerawan terhadap pungli yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah jalur pantura;
  3. Pungli yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap pelayanan masyarakat dalam pembuatan SIM, perpanjangan STNK atau mutasi kendaraan/pendaftaran baru di kantor Samsat maupun terhadap mobil angkutan barang dan angkutan penumpang di jalan raya;
  4. Perilaku oknum anggota Polri yang memanfaatkan penanganan penyidikan dengan melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan berlindung di bawah institusi Polri/kesatuan kewilayahan;
  5. Adanya kolusi antara panitia pengadaan barang dan jasa dengan penyedia barang dan jasa dalam proses lelang/ tender pengadaan barang dan jasa di lingkungan Polda Jawa Tengah dan jajaran yang sarat akan pelanggaran;
  6. Adanya kolusi dalam proses penerimaan anggota Polri di lingkungan Polda Jateng;
  7. Perilaku arogan yang dilakukan anggota Polri dalam upaya paksa tindakan kepolisian maupun tugas-tugas pengamanan kamtibmas;
  8. Rekayasa pembuatan laporan pertanggunggjawaban penggunaan DIPA yang dilakukan oleh satuan kerja organisasi Polri jajaran Polda Jawa Tengah.
Mendasarkan pada berbagai aspek yang berpotensi menimbulkan kerawanan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri sebagaimana disebutkan di atas, dari data-data berikut dapat diketahui bentuk-bentuk pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh para anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2012.
Tabel 1
Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012

NO
Bentuk Pelanggaran Kode Etik
2010
2011
2012
Jumlah
1. Tidak menghormati harkat dan martabat  manusia dan HAM
0
0
0
nihil
2. Melakukan perbuatan tercela
6
1
2
8
3. Tidak memegang teguh garis komado
0
12
3
15
4. Bertindak tidak berdasarkan norma dan nilai kemanusiaan
0
4
0
4
5. Tidak menjaga citra dan kehormatan Polri
1
0
2
3
6. Bunuh diri
0
0
0
nihil
7. Tidak menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri
0
1
4
5
8. Melakukan tindak pidana
7
12
2
21
9. Desersi
14
8
16
38
10. Sakit jiwa / depresi
0
0
6
6
11. Memihak dan tidak profesional
0
0
0
nihil
 
Jumlah
28
38
35
101
Sumber:  Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa sepanjang tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, ada sejumlah 101 kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Jika diamati secara mendalam bentuk pelanggaran kode etik Polri yang paling sering dilakukan adalah perbuatan desersi yang mencapai 38 kasus, disusul dengan perbuatan pidana sebanyak 21 kasus dan perbuatan tidak memegang teguh garis komado sebanyak 15 kasus. Untuk lebih jelasnya terkait dengan persentase bentuk perbuatan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Persentase Bentuk Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012

NO
Jenis Pelanggaran Kode Etik
Jumlah
%
1. Desersi
38 kasus
37,62 %
2. Melakukan tindak pidana
21 kasus
20,79 %
3. Tidak memegang teguh garis komado
15 kasus
14,85 %
4. Melakukan perbuatan tercela
9 kasus
8,92 %
5. Sakit jiwa / depresi
6 kasus
5,94 %
6. Tidak menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri
5 kasus
4,95 %
7. Bertindak tidak berdasarkan norma dan nilai kemanusiaan
4 kasus
3,96 %
8. Tidak menjaga citra dan kehormatan Polri
3 kasus
2,97 %
 
Jumlah
101 kasus
100 %
Sumber:  Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ada beberapa golongan dari pelanggar Kode Etik Profesi Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3
Golongan Pelanggar Kode Etik Profesi Polri
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012

NO
Golongan Pelanggar Kode Etik Profesi Polri
2010
2011
2012
Jumlah
1. Pamen
0
4
2
6
2. Pama
2
4
10
16
3. Bintara
26
30
23
79
4. Tamtama
0
0
0
-
5. PNS
0
0
0
-
 
Jumlah
28
38
35
101
Sumber:  Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa yang paling banyak melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah adalah polisi golongan Bintara (polisi berpangkat rendah) yang jumlahnya mencapai 79 orang, disusul dengan polisi golongan Pama (perwira pertama) sebanyak 16 orang dan polisi golongan Pamen (perwira menengah) sebanyak 6 orang. Bagi mereka para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran ketentuan Kode Etik Profesi Polri tersebut telah dilakukan upaya penegakan hukumnya melalui Sidang Komisi Kode Etik Polri. Dari tabel 4 berikut di bawah ini dapat diketahui berbagai putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri yang dijatuhkan terhadap mereka para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran ketentuan Kode Etik Profesi Polri.
Tabel 4
Hasil Putusan Sidang Komisi Kode Etik
Polda Jateng Tahun 2010 – 2012

NO
Hasil Putusan
Sidang Komisi Kode Etik
2010
2011
2012
Jumlah
1. PTDH
18
17
14
49
2. PDH
2
1
0
3
3. Pindah Tugas
1
0
0
1
4. Pindah Wilayah
1
2
1
4
5. Bin Ulang Profesi
0
1
1
2
6. Minta Maaf
0
12
11
23
7. Tercela
4
7
7
18
8. Pindah Jabatan
0
10
6
16
9. Tidak Terbukti
0
0
1
1
10. Sidang Banding
1
0
0
1
11. Sidang Ditunda
1
0
0
1
12 Bersedia membayar
0
0
1
1
 
Jumlah
28
50
42
120
Sumber:  Subbid Wabprof Bidpropam Polda Jawa Tengah, tahun 2013
Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa ternyata penjatuhan hukuman kepada para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dari tahun 2010 sampai 2012 di wilayah hukum Polda Jawa Tengah mengalami peningkatan. Peningkatan kasus tersebut terbilang cukup signifikan, khususnya dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2011, karena hampir mencapai 100% atau naik hampir dua kali lipat. Terhadap anggota kepolisian yang melanggar Kode Etik Profesi Polri tersebut, dari data yang tersaji dapat diketahui bahwa hukuman yang paling banyak dijatuhkan adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atau PTDH yaitu sebanyak 49 orang. PTDH adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap seorang anggota Polri karena telah terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, disiplin, dan/atau tindak pidana.
Mendasarkan pada data tersebut, dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan standar profesi Polri yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya dijalankan oleh anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota kepolisian di jajaran Polda Jawa Tengah, bahkan sepanjang tiga tahun terakhir ini, dari tahun 2010 sampai 2012 cenderung mengalami peningkatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan, dan Etika Kepribadian yang di atur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia ternyata masih jauh panggang dari api. Hal ini jelas sangat berlawanan dari harapan tegaknya disiplin Kode Etik Profesi Polri dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan perannya. Berbagai tindakan penyimpangan di jajaran Polda Polda Jawa Tengah sebagaimana dijelaskan di atas, menjadi preseden buruk bagi terwujudnya akuntabilitas kinerja Polri. Kondisi ini secara tidak langsung memberikan signal, bahwa masih belum optimalnya fungsi pengawasan internal Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya.
 2.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian sebagai Bentuk Akuntabilitas Kinerja Polri di Wilayah Hukum Polda Jateng
Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi. Soerjono Soekanto menjelaskan beberapa unsur atau faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Faktor hukumnya sendiri.
  2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
  3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
  4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
  5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup[10].
Sebagaimana proses penegakan hukum pada umumnya dalam penerapan Kode Etik Profesi Polri juga tidak terlepas dari lima faktor yang saling terkait dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu sendiri. Mulai dari faktor hukumnya, faktor penegak hukumnya, faktor masyarakat dalam hal ini anggota Polri sebagai objek dari penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri dan faktor kebudayaan dalam organisasi Polri maupun dalam masyarakat pada umumnya, dan untuk mengetahui sejauh mana kelima faktor tersebut sebagai tolak ukur bagi efektivitas penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri. Berangkat dari teori inilah faktor-faktor yang menjadi mempengaruhi penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah akan diuraikan dalam penelitian ini.

1.    Faktor Hukum

Masalah penyimpangan polisi di Indonesia pada dasarnya telah diantisipasi oleh Polri melalui berbagai instrumen pengawasan terhadap personil polisi. Pertama, melalui keberadaan instrumen legal berupa peraturan. Selain pelanggaran pidana yang secara umum diatur dalam KUHP, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap personilnya, Polri memiliki dua landasan utama yaitu melalui keberadaan peraturan disiplin dan kode etik profesi. Peraturan disiplin anggota Polri diatur melalui PP No. 2 Tahun 2003. Landasan kedua adalah kode etik profesi yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011. Permasalahannya adalah sulit untuk memisahkan secara tegas antara berbagai aturan intern tersebut, selalu ada warna abu-abu, selalu ada sisi terang dan sisi gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara berbagai aturan tersebut. Permasalahan lain selain masalah di atas adalah seringnya  peraturan yang mengatur tentang Kode Etik Profesi Kepolisian ini dilakukan perubahan. Sebagaimana diketahui sebelum ditetapkannya Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian, sebelumnya sudah ada dua Peraturan Kapolri yang mengatur tentang hal yang sama, yaitu Keputusan Kapolri No.Pol: KEP/32/VII/2003 dan Peraturan Kapolri Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006. Artinya, peraturan tentang Kode Etik Profesi Kepolisian ini sudah dua kali mengalami perubahan. Di samping itu, Peraturan tentang Kode Etik Profesi Kepolisian yang baru ini tidak tersedia penjelasan yang memadai bahkan tidak ada penjelasan sama sekali. Akibat peraturan yang multitafsir tersebut masing-masing pihak akan memiliki penafsiran yang berbeda-beda, sehingga dapat membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penegakan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.

2.    Faktor Penegak Hukum

Aparat penegak hukum yang dimaksud disini adalah fungsi kepolisian yang akan menegakkan Kode Etik Profesi Kepolisian dalam hal ini Bidpropam Polda Jawa Tengah. Sebagaimana diketahui jumlah personil Bidpropam Polda Jawa Tengah tidak seimbang dengan jumlah dan kompleksitas permasalahan personil Polda Jawa Tengah. Jumlah personil Bidpropam Polda Jawa Tengah adalah hanya 126 personil apabila dibandingkan dengan jumlah personil Polda Jawa Tengah dan jajaranya yang berjumlah 37.311 personil dan luasnya wilayah hukum Polda Jawa Tengah merupakan kendala tersendiri bagi Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam menerapkan kode etik profesi kepolisian. Untuk itu kendala nyata yang dihadapi adalah kurangnya kapasitas anggota personil Bidpropam Polda Jawa Tengah untuk dapat mencakup seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawab Polda Jawa Tengah. Permasalahan lain selain masalah di atas adalah Kepala Satuan Organisasi Polri selaku Ankum di seluruh tingkatan belum mampu memberikan sanksi kepada anggota polri yang melakukan pelanggaran melalui sidang Komisi Kode Etik Polri, sehingga harapan pelanggaran sekecil apapun ditindak lanjuti dengan tindakan korektif atau sanksi tidak tercapai. Penyebabnya adalah masih adanya di antara pimpinan satuan selaku Ankum yang belum sepenuhnya memberikan atensi atas pelaksanaan tugas penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri termasuk kepada petugas Subbidang Wabprof.

3.    Faktor Sarana atau Fasilitas

Aspek yang tidak kalah pentingnya dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri adalah aspek sarana atau fasilitas baik peralatan yang memadai maupun dukungan anggaran keuangan yang cukup. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, baik Subbidpaminal, Subbidprovos, dan Subbidwabprof selaku unsur pelaksana utama Bidpropam Polda Jawa Tengah sering menghadapi hambatan terkait dengan masalah sarana dan prasarana yang belum memadai dan keterbatasan dukungan anggaran, sehingga bagi mereka hal tersebut sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari.

4.    Faktor Masyarakat/Anggota Polri

Anggota Polri sebagai objek dalam penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri cukup mempengaruhi keberhasilan dari penerapan kode etik profesi kepolisian. Beragam latar belakang dan karakteristik pribadi yang dimiliki para anggota polisi, turut mempengaruhi tingkat kualitas kinerja masing-masing, ada yang tinggi dan ada yang rendah, yang pada akhirnya sebagai akumulasi akan mempengaruhi tingkat kualitas kinerja, baik latar belakang pendidikan, adat istiadat yang dianut, termasuk beragamnya karakter kualitas emosional dan intelejensia setiap anggota polisi, kualitas mental dan keimanan setiap orang yang juga sangat beragam, belum meratanya tingkat profesionalisme anggota polisi dalam segala tingkatan. Berikut adalah beberapa faktor dari anggota Polri yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah
  1. Tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah sehingga pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tetap terjadi.
  2. Tingkat pemahaman dan penerapan aturan hukum oleh Subbidang Wabprof dalam penyidikan perkara pelanggaran Kode Etik Profesi Polri masih rendah.
  3. Masih banyak campur tangan, intervensi dari para pejabat Polri di lingkungan Polda Jawa Tengah dalam pelaksanaan penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri, sehingga hasil dari penegakan hukum yang dicapai masih relatif subyektif dan kurang transparan. Intervensi oleh atasan yang berupa perintah tertentu seringkali memiliki legitimasi yang  lebih  kuat  daripada  prosedur  yang  ada  dalam  hal penanganan  suatu  perkara  pelanggaran kode etik.  Hal  tersebut seringkali terjadi manakala seorang atasan memiliki kepentingan  tertentu  terhadap  penanganan  suatu  perkara perkara  pelanggaran kode etik yang  sedang  ditangani  oleh  Subbidang Wabprof  yang menjadi bawahannya.
  4. Masih ada tenggang rasa yang tinggi dari Ankum untuk melakukan sidang Komisi Kode Etik Polri terhadap anggota. Hal ini dikarenakan masih tingginya pertimbangan keputusan yang bersifat subyektif sehingga unsur-unsur obyektif yang seharusnya lebih diutamakan menjadi kurang diperhatikan.
  5. Sosialisasi dan pelatihan semua aturan bidang kepropaman belum dilaksanakan oleh semua Satker.

5.    Faktor Budaya

Dalam konteks ini, yang agak sulit diubah adalah budaya organisasi yang dibentuk oleh kekuasaan menjadi budaya organisasi pelayanan. Selain itu masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, yaitu adanya keengganan pemeriksa dari Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. Hal ini dikarenakan rasa solidaritas (spirit de corps) yang dianggap berlebihan diantara sesama anggota Polri, terutama yang masa pendidikan pemeriksa satu angkatan dengan terduga pelanggar atau terduga pelanggar lebih senior daripada pemeriksa. Masalah lain adalah masih terdapatnya kekeliruan dalam hal penempatan anggota, sehingga apabila terjadi penempatan anggota yang tidak tepat/bermasalah dapat mengancam kerahasiaan suatu tugas yang diembannya. Artinya, masih ditemukan penempatan anggota polisi yang tidak sesuai  dengan  bidang  keahliannya,  dalam  hal  ini  kemampuan  di  bidang kepropaman.
3.    Solusi Mengatasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Kode Etik Profesi Kepolisian di Wilayah Hukum Polda Jateng
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Beberapa solusi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan faktor hukumnya dimana permasalahan yang timbul seperti sulitnya untuk memisahkan secara tegas antara berbagai aturan intern Polri seperti antara peraturan disiplin dan kode etik profesi, maka dalam konteks penelitian ini perlu adanya penggabungan aturan tentang etika dan disiplin menjadi satu. Selanjutnya terkait dengan peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai, sehingga mengakibatkan peraturan yang multitafsir dalam hal ini membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penerapan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dalam konteks penelitian ini perlu adanya penjabaran lebih lanjut tentang Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.
Kedua, terkait dengan faktor penegak hukumnya dimana permasalahan yang timbul seperti Kepala Satuan Organisasi Polri selaku Ankum di seluruh tingkatan belum mampu memberikan sanksi kepada anggota polri yang melakukan pelanggaran melalui sidang Komisi Kode Etik Polri, sehingga harapan pelanggaran sekecil apapun ditindak lanjuti dengan tindakan korektif atau sanksi tidak tercapai, maka dalam konteks penelitian ini Bidpropam Polda Jawa Tengah harus mampu mewujudkan peran sebagai ujung tombak perubahan, transformasi profesionalisme dan kinerja Polri dan benteng terakhir fungsi pengawasan serta pengendalian mutu kinerja Jajaran. Bidpropam Polda Jawa Tengah harus mampu mengawal pengendalian mutu kinerja jajaran dan mengamankan pelaksanaan tugas pada umumnya agar dapat berjalan sesuai rencana strategis Polri, serta dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya juga diharapkan melalui implementasi tugas pokok, fungsi dan peran Bidpropam Polda Jawa Tengah dapat ditumbuhkembangkan kualitas pelayanan Polri dari waktu ke waktu secara sinergis, optimal dan efektif baik di bidang pre-emptive, preventif dan represif. Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam hal ini perlu menetapkan perubahan paradigma dan revitalisasi peran Bidpropam yang dirangkum dalam 4-CO, yaitu:
  1. Compliance Role
Konsep ini berbicara tentang peran untuk mendorong kesadaran, dengan kata lain dengan memberikan pemahaman, mendorong kesadaran, dan meningkatkan tindak tanduk polisi akan prinsip kepatuhan, akuntabilitas dan etika profesi.
  1. Consultative Role
Dalam konteks ini, Bidpropam berperan untuk pencegahan yaitu dengan meningkatkan kerjasama internal dengan seluruh satuan kerja dan satuan kewilayahan polri untuk memberikan pelayanan peningkatan kualitas (quality improvement) dan peningkatan sistem kerja yang dapat mencegah terjadinya kesalahan (risk management) pelanggaran, memberikan pembinaan bagi peningkatan kualitas personel polri, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
  1. Coordination Role
Peran yang akan dibangun dalam konsep ini adalah peran kemitraan dimana disusun sebuah bentuk koordinasi untuk meningkatkan kerjasama eksternal dengan seluruh pihak terkait (Kompolnas, LSM, media, dll) dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat terhadap standar profesi polisi, peningkatan kontribusi masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran oleh polisi, peningkatan akses masyarakat untuk menyampaikan pengaduan pelanggaran polisi, dan peningkatan tindak lanjut penyelesaian pelanggaran polisi.
  1. Corrective Role
Peran yang akan dibangun dalam hal ini adalah peran untuk penegakan Kode Etik Profesi Polri. Peran ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas (ketepatan dan kecepatan) penyelesaian kasus pelanggaran personel polri dan penegakan Kode Etik Profesi Polri untuk menimbulkan efek jera sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran, memberikan pembinaan bagi peningkatan kualitas personel polri, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Selain prinsip-prinsip pengembangan pengawasan dan akuntabilitas yang akan digunakan di atas, terdapat sejumlah kerangka-kerangka yang menurut peneliti perlu dikembangkan secara lebih spesifik tentang bagaimana harapan masa depan akan pengawasan dan pelaksanaan prinsip akuntabilitas yang dilakukan oleh Bidpropam. Kerangka-kerangka tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri harus berbasis pada orientasi masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat sangat memperhatikan aspek-aspek seperti kemudahan dalam mengakses, mudah dipahami dalam penggunaan, memakan waktu yang relatif sedikit, dan kerahasiaan yang terjamin. Apapun kebijakan atau program yang akan dikembangkan oleh Bidpropam diharapkan memperhatikan aspek-aspek tersebut dalam implementasinya.
  2. Pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri diharapkan tersusun secara sistematik dan jelas sehingga masyarakat dapat memahami secara mudah tentang proses-proses dan waktu yang akan mereka jalani dan habiskan.Selain itu, pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri selayaknya menjangkau sejauh mungkin hingga tingkatan wilayah terbawah atau terpencil. Tujuannya adalah untuk menekan tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri atau kebijakan yang tidak sesuai.
  3. Pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri juga harus memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini karena sudah menjadi dasar bagi semua kebijakan Polri sebagai penegak hukum untuk patuh dan menegakkan hukum, termasuk pada dirinya sendiri,
  4. Terakhir, pengembangan fungsi pengawasan dan implementasi prinsip akuntabilitas aparat Polri akan memberi nilai lebih ketika pengembangan tersebut berbasis teknologi yang efektif (tepat guna) dan efisien. Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi mampu menjembatani ketidakmampuan menjadi mampu dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia akan lebih mudah, tepat dan efisien ketika teknologi dilibatkan dalam menghadapi permasalahan manusia.
Ketiga, terkait dengan faktor sarana atau fasilitas dimana permasalahan yang timbul seperti dalam pelaksanaan tugasnya, baik Subbidpaminal, Subbidprovos, dan Subbidwabprof selaku unsur pelaksana utama Bidpropam Polda Jawa Tengah sering menghadapi hambatan terkait dengan masalah sarana dan prasarana yang belum memadai dan keterbatasan dukungan anggaran, sehingga bagi mereka hal tersebut sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari, maka dalam konteks penelitian ini sarana dan fasilitas yang perlu diadakan untuk mendukung penegakan Kode Etik Profesi Polri diantaranya seperti: a). alat transportasi dan alat komunikasi; b). alat deteksi; c). ruang kerja yang kondusif; d). peralatan administrasi yang memadai; e). komputer dan internet yang memiliki program dan jaringan luas; f). sarana pustaka hukum sebagai bahan referensi bagi Subbidpaminal, Subbidprovos, dan Subbidwabprof selaku unsur pelaksana utama Bidpropam Polda Jawa Tengah; dan g). dana yang cukup seperti terpenuhinya hak-hak anggota mulai dari gaji sampai dengan tunjangan jabatan dan tersedianya anggaran yang cukup atau memadai dalam menunjang pelaksanaan tugas seperti dalam hal pemeriksaan pendahuluan, sidang Komisi Kode Etik Polri sampai pada kegiatan penjatuhan hukuman kode etik.
Keempat, terkait dengan faktor masyarakat/anggota Polri yang dalam hal ini sebagai objek dalam penegakan hukum Kode Etik Profesi Polri, dimana permasalahan yang timbul seperti tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah sehingga pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tetap terjadi, maka dalam konteks penelitian ini sebagai upaya pemuliaan dan penegakan peraturan Kode Etik Profesi Polri, pimpinan dalam hal ini dituntut mampu memberikan sanksi kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran melalui sidang kode etik. Diharapkan penegakan peraturan Kode Etik Profesi Polri dilaksanakan oleh setiap Kepala Satuan Organisasi Polri selaku Ankum diseluruh tingkatan sehingga pelanggaran sekecil apapun ditindaklanjuti dengan tindakan korektif atau sanksi. Apabila kondisi ini selalu terpelihara, maka pelanggaran-pelanggaran peraturan Kode Etik Profesi Polri yang akan dilakukan oleh anggota Polri dapat diminimalisasi. Mendasarkan pada hal tersebut di atas, dalam rangka mewujudkan tegaknya hukum peraturan Kode Etik Profesi Polri, maka meningkatkan komitmen seluruh anggota kepolisian di jajaran Pola Jawa Tengah merupakan hal mutlak untuk dilakukan. Caranya dapat dengan melakukan usaha atau kegiatan seperti: a).peningkatan pemahaman anggota Polri terhadap peraturan Kode Etik Profesi Polri; b). pemberian teladan ketaatan terhadap hukum c).pembinaan kesadaran hukum; d).pembinaan tanggung jawab sosial sebagai warga negara; dan e).tradisi penegakan hukum peraturan Kode Etik Profesi Polri yang benar dan konsekuen untuk menghindari kekecewaan masyarakat; f).komitmen seluruh anggota Polri untuk melaksanakan peraturan Kode Etik Profesi Polri dengan titik berat pada keberhasilan pelaksanaan tugas sesuai amanat dan harapan warga masyarakat.
Kelima, terkait dengan faktor budaya dimana permasalahan yang timbul seperti masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, yaitu adanya keengganan pemeriksa dari Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam konteks penelitian ini untuk menghasilkan fungsi Kepolisian yang menjunjung tinggi supremasi hukum tentu perlu didahului dengan pembangunan kultur individu anggota kepolisian, diantarnya seperti: a).membangun mentalitas dasar bahwa masyarakat dengan polisi adalah mitra, namun tetap tegas dalam menegakkan hukum; b).sistem keyakinan dasar yang mengatur perilaku hubungan dengan masyarakat, baik dengan orang yang melakukan kejahatan maupun orang yang bukan pelaku kejahatan; c). mempelajari ethos kerja atau semangat polisi dalam lingkungan kerjanya sehingga menjadi motivasi sebagai polisi yang baik; dan d). memiliki pedoman pola berpikir dan berperilaku yang membentuk profil polisi dalam tugas di lapangan[11]. Setelah membangun kultur individu anggota kepolisian, maka langkah selanjutnya adalah membangun kultur organisasi kepolisian. Keanekaragaman latar belakang kultur setiap individu anggota kepolisian mencerminkan adanya berbagai perbedaan kultur individu tersebut, hal ini berdampak pada warna kultur pluralistik namun harmonisasi harus dikembangkan sehingga akan bermuara dalam pelaksanaan tugas yang efektif. Demikian juga dalam pengambilan keputusan yang berakar dari masing-masing anggota polisi perlu diarahkan kepada kultur organisasi polisi yang mengacu pada visi, dan misinya. Polisi dan masyarakat yang demokratis, pemolisiannya mengacu pada prinsip-prinsip demokratis, yaitu antara lain berdasarkan supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, transparan, bertanggung jawab kepada publik, berorientasi kepada masyarakat, serta adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan polisi.
 D.   Penutup
1.    Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat diperoleh beberapa simpulan.
  1. Penerapan Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 belum sepenuhnya dijalankan oleh anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya tingkat pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota kepolisian, bahkan sepanjang tiga tahun terakhir dari tahun 2010 sampai 2012 cenderung mengalami peningkatan. Bentuk pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang paling sering dilakukan adalah perbuatan desersi yang mencapai 38 kasus, disusul dengan perbuatan pidana sebanyak 21 kasus dan perbuatan tidak memegang teguh garis komado sebanyak 15 kasus. Polisi golongan Bintara (polisi berpangkat rendah) merupakan anggota kepolisian yang paling banyak melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yaitu sebanyak 79 orang. Berbagai tindakan penyimpangan tersebut jelas menjadi preseden buruk bagi terwujudnya akuntabilitas kinerja Polri. Hal ini menunjukkan bahwa etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan, dan etika kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh setiap anggota Polri ternyata masih jauh panggang dari api. Kondisi ini secara tidak langsung memberikan signal, bahwa masih belum optimalnya fungsi pengawasan internal Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya.
  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah adalah sebagai berikut: 1). Faktor hukumnya, yaitu peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai bahkan tidak ada penjelasan sama sekali. Akibat peraturan yang multitafsir, maka masing-masing pihak akan memiliki penafsiran yang berbeda-beda, sehingga dapat membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penerapan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum; 2). Faktor penegak hukumnya, yaitu kurangnya kapasitas anggota personil Bidpropam Polda Jawa Tengah selaku pengembang fungsi pengawasan internal untuk dapat mencakup seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawab Polda Jawa Tengah; 3). Faktor sarana atau fasilitas, yaitu belum memadainya sarana dan prasarana serta terbatasnya dukungan anggaran, dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri; 4). Faktor masyarakat dalam hal ini anggota Polri tingkat kesadaran dan kepatuhan atas peraturan Kode Etik Profesi Polri masih relatif rendah sehingga pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tetap terjadi; dan 5). Faktor budaya, yaitu dalam konteks ini yang agak sulit diubah adalah budaya organisasi yang dibentuk oleh kekuasaan menjadi budaya organisasi pelayanan. Selain itu masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, dalam memeriksa anggota Polri yang melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri. Hal ini dikarenakan rasa solidaritas (spirit de corps) yang dianggap berlebihan diantara sesama anggota Polri, terutama yang masa pendidikan pemeriksa satu angkatan dengan terduga pelanggar atau terduga pelanggar lebih senior daripada pemeriksa.
  3. Solusi dalam mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kode etik profesi kepolisian sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri di wilayah hukum Polda Jawa Tengah adalah sebagai berikut: 1). Terkait dengan faktor hukumnya, maka perlu adanya penggabungan aturan tentang etika dan disiplin menjadi satu serta perlu adanya penjabaran lebih lanjut tentang Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian; 2). Terkait dengan faktor penegak hukumnya, maka perlu memantapkan kiprah Bidpropam sebagai garda terdepan penegakan hukum peraturan kode etik profesi kepolisian. Bidpropam Polda Jawa Tengah dalam hal ini perlu menetapkan perubahan paradigma dan revitalisasi peran Bidpropam yang dirangkum dalam 4-CO yaitu: compliance role; consultative role; coordination role; dan corrective role; 3). Terkait dengan faktor sarana dan prasarana yang belum memadai, maka sarana dan fasilitas yang perlu diadakan untuk mendukung penegakan Kode Etik Profesi Polri diantaranya seperti: 1). alat transportasi dan alat komunikasi; 2). alat deteksi; 3). ruang kerja yang kondusif; 4). peralatan administrasi yang memadai; dan 5). dana yang cukup seperti terpenuhinya hak-hak anggota mulai dari gaji sampai dengan tunjangan jabatan; 4). Terkait dengan tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah, maka meningkatkan komitmen seluruh anggota kepolisian di jajaran Pola Jawa Tengah merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan; dan 5). Terkait dengan masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka untuk menghasilkan fungsi Kepolisian yang menjunjung tinggi supremasi hukum tentu perlu didahului dengan pembangunan kultur individu anggota kepolisian, diantarnya seperti membangun mentalitas, perilaku, ethos kerja dan pola pikir setiap anggota kepolisian. Setelah membangun kultur individu anggota kepolisian, maka langkah selanjutnya adalah membangun kultur organisasi kepolisian yaitu sebagai organisasi yang demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjunjung tinggi HAM.
 2.    Saran
Setelah menetapkan beberapa simpulan sebagaimana dijelaskan di atas, maka saran yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut:
  1. Sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri serta agar memberikan efek jera maupun efek deterrence bagi personel Polda Jawa Tengah yang melakukan pelanggaran kode etik profesi Polri, maka penindakannya harus diproses secara transparan, tegas dan bertanggungjawab. Untuk mewujudkan kondisi demikian perlunya ditempatkan personel-personel yang memiliki integritas tinggi dan berkomitmen memberantas polisi nakal (yang tidak professional) namun tetap didukung dengan anggaran dan prasarana yang memadai. Selain itu, sosialisasi terhadap peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri yang masih baru ini harus dilaksanakan secara terus menerus.
  2. Perlu Meningkatkan jumlah personil Bidpropam Polda Jawa Tengah agar seimbang dengan cakupan tugas dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Selain itu perlu juga meningkatkan dukungan alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan operasional Bidpropam Polda Jawa Tengah. Secara khusus perlu menyusun program peningkatan profesionalitas personil (peningkatan kualitas SDM Personel Bidpropam) dan bersikap proaktif dalam menyikapi, mengatasi dan mengantisipasi masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota. (https://ferli1982.wordpress.com/)
DAFTAR PUSTAKA

 1.    Buku
Amnesty International. 2009. Urusan Yang Belum Selesai: Akuntabilitas Polisi di Indonesia. Amnesty International Publications, London.
 Born, Hans dan Ian Leigh. 2007. Mendorong Akuntabilitas Intgelijen: Dasar Hukum dan Praktik Terbaik dari Pengawasan Intelijen. DCAF, FES, dan Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman, Jakarta.
 Fernida, Indria. Akuntabilitas Polisi dalam Penegakan HAM, dalam Beni Sukardis dan Eric Hendra, 2008, Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. Lesperssi dan DCAF, Jakarta.
 Kadarmanta, A. 2007. Membangun Kultur Kepolisian. PT. Forum Media Utama, Jakarta.
 Kunarto. 1997. Etika Kepolisian, Cipta Manunggal, Jakarta, hlm 97. Lihat juga Sadjijono, 2008, Etika Profesi Hukum Suatu Telaah Filosofis terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi Polri. Laksbang Mediatama, Jakarta.
 Soekanto, Soerjono. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers, Jakarta.
 Wibisono, Ali Abdullah dan Faisal Idris. 2006, Menguak Tabir Intelijen ‘Hitam’ Indonesia. Pacivis, Jakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian