PENCEGAHAN KEJAHATAN DI BIDANG PERPAJAKAN


(Kaitannya dalam pengamanan dan pengoptimalasasian penerimaan negara di bidang perpajakan)
Disusun Oleh:
Heri Pahwasono, SE. Ak. MM.
(Pengurus LCKI - Bidang Pencegahan Kejahatan Perpajakan).




I. Pendahuluan
Jika kita berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak akan terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang yang berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti: penggelapan, penipuan, pemalsuan dan pencurian dsb.
Kejahatan Perpajakan ini dapat disebut pula kejahatan luar bisa (Extra Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime), yang mana kejahatan/pidana perpajakan ini agak sulit diditeksi karena dilakukan oleh orang-orang yang sangat piawai (skill person), kadang kala kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang di luar Institusi Perpajakan itu sendiri, atau juga dapat dilakukan bersama-sama (berkolusi) dengan orang-orang yang terkait dengan Intitusi Perpajakan dengan berselimut Yuridis Formil baik bersama-sama dengan pemufakatan jahat dengan Wajib Pajak, baik sebagai pelaku utama, pelaku pembantu, pelaku penyuruh maupun pelaku intelektualnya. Di samping itu hasil dari kejahatan perpajakan ini, nilainya sangat material, yang diperkirakan kerugian negara akibat kejahatan/pidana perpajakan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah, suatu nilai yang sangat material bagi pembiayaan suatu negara seperti Indonesia ini yang sangat memerlukan dana untuk pembangunan, dengan kondisi APBN 2006 yang sedang deficit puluhan trilyunan rupiah.
Oleh karena Perpajakan di Indonesia tersebut merupakan sesuatu yang terkait dengan unsur tulang punggung penerimaan negara (80% penerimaan APBN 2005), jika hal ini tidak ditangani dengan serius, maka kejahatan di bidang perpajakan ini jelas-jelas akan mengurangi potensi penerimaan negara di APBN bahkan bisa mengganggu kestabilitasan negara nantinya. Banyak kalangan yang sampai dengan saat sekarang masih mempunyai pemikiran bahwa kejahatan (khususnya KKN) bisa terjadi karena adanya penyelewengan/penggelapan dari sisi pengeluaran keuangannya saja, padahal banyak hal dari Kejahatan/KKN tersebut terjadi/bersumber dari penyelewengan dari sisi penerimaanya yakni dari hilangnya suatu potensi penerimaan negara atau potensi penerimaan negara tersebut belum tergali dan diselewengkan/dikorupsi oleh oknum-oknum yang bermain dalam aspek perpajakan ini, sehingga potensi penerimaan Negara khususnya dari aspek pajak ini akhirnya tidak masuk ke kas negara sebagai mana mestinya. Namun apapun bentuknya kejahatan di bidang perpajakan ini, harus dapat dijerat dengan Undang-undang Khusus (UU Perpajakan yang bersifat Lex Specialis) maupun Undang-undang umum/KUHP & KUHAP (Lex Generalis), akan tetapi permasalahannya sekarang adalah apakah Sistem Perpajakan yang ada di Indonesia serta Law Enforcement atas Undans-undans tersebut terhadap keiahatan perpajakan itu sendiri sudah cukup efektif sehingga bisa berdaya guna dalam pencesahan keiahatan perpajakan itu nantinya.
Sangat menarik mencermati tentang kejahatan (korupsi) di bidang ekonomi khususnya bidang perpajakan baik yang menyangkut dari sisi Fiskus di Ditjen Pajak maupun dari sisi Wajib Pajak itu sendiri yang menjadi sumber pembayar pajak. Bahkan beberapa tokoh sangat lantang berbicara tentang hal ini, seperti Kwik Kian Gie (yang akhirnya minta maaf atas somasi Ditjen Pajak), dan Faisal Basri (yang menyatakan adanya potensi pajak Rp. 40 triliun yang hilang, yang disebabkan oleh korupsi) serta beberapa LSM seperti Til, ICW yang begitu sangat intens berbicara dan melakukan penelitian tentang kejahatan/pidana korupsi di bidang perpajakan ini. Memang terdapat kontradiksi yang besar jika kita melihat kinerja Ditjen Pajak kita. Di satu sisi, pendapatan pajak terus naik. Penerimaan perpajakan selama 1969-1993 sebesar Rpl49,46 triliun, 1994- 2000 sebesar Rp520,65 triliun, sementara 2001-2004 mencapai Rp778,112 triliun (Abimanyu, 2004), sehingga perlu kita acungkan jempol kepada aparat pajak kita, akan tetapi apakah penerimaan negara yang ditargetkan oleh Pemerintah disetujui oleh DPR memang menggambarkan kondisi perokonomian kita yang sebenarnya?.
Di sisi lain, beberapa studi menyatakan bahwa masyarakat dan kalangan bisnis secara konsisten mempersepsikan Fiskus di Ditjen Pajak sebagai salah satu lembaga terkorup, diantaranya penelitian ICW tentang pola korupsi perpajakan (ICW, 2001), survei korupsi nasional Partnership for Governance Reform in Indonesia (Partnership, 2001), terakhir indeks persepsi korupsi Transparency International Indonesia (Til, 2005) dan Business Environment Report Political Economy Risk Consultancy (PERC, 2005).
Atas hal tersebut, Ditjen Pajak bukannya tidak menyadari persepsi diatas. Beberapa langkah maju sudah diambil. Dari sisi reformasi administratif misalnya diperkenalkan online payment, e-filing, large taxpayer office, dan inovasi sistem informasi lainnya untuk mengurangi kontak langsung wajib pajak dengan petugas pajak serta reorganisasi internal. Sementara pada penegakan hukum, diperkenalkan ombudsman pajak yang diawasi oleh Komisi Ombudsman Nasional, nota kesepahaman (MOU) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun pemecatan 30 aparat pajak pada 2004 dikarenakan oknum tersebut telah menyalahgunakan wewenang (lihat di http://kompas.com/utama/news/0503/22/045542.htm).
Akan tetapi, sebagian besar penanganannya hanya mengarah ke mal-administrasi dan efisiensi administrasi, dan belum menyentuh akar permasalahan perpajakan di Indonesia, yakni adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum fiskus yang mempunyai "bargaining position" lebih, dikarenakan tidak "comply"nya pihak wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sehingga terjadilah tindakan yang mengarah kepada "pemerasan/negosiasi" pajak. Pada umumnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, faktor tersebut di atas merupakan faktor utama terjadinya kejahatan/pidana korupsi di bidang perpajakan, dimana dengan kewenangannya pihak oknum fiskus/aparat pajak "memeras/negosiasi" untuk mendapatkan rente ekonomi, dan bukannya penyuapan pajak, dimana wajib pajak (oleh Til, 2003, diusulkan disebut sebagai pembayar pajak dengan alasan filosofis) yang menyuap aparat pajak (Nielsen dan Ballas, 2000). Pola "Pemerasan" Pajak tersebut dapat dilihat dalam hasil penelitian dalam studinya ICW (2001) dan Partnership (2001).
Studi eksploratif ICW 2001 ini, pada dasarnya ingin melihat bagaimana pola kejahatan/pidana korupsi dalam bidang perpajakan dengan melihat rutinitas, dan momen-momen, serta makna yang bersifat problematik dari kehidupan individu atau sekelompok individu dalam lingkungan perpajakan. Studi ini menggunakan kerangka korupsi internal dan eksternal dari Robert Klitgaard (1998) yang dipadukan dengan tipologi korupsi Syed Hussein Alatas (1987) dan menemukan terjadinya 4 (empat) pola korupsi internal dan eksternal, yang secara garis besar diuraikai sebagai berukut:
Korupsi internal, dilakukan oleh oknum aparat pajak dalam lingkup Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri.
Pola pertama, Personalia, berhubungan dengan masalah kepegawaian, dalam hal ini ditengarai adanyajual beli jabatan, rekrutmen dan penempatan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang melalui penyuapan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan. Pola ini lazim terjadi pada posisi "basah", misalnya oknum pejabat pajak pada kantor pemeriksa pajak tertentu, yang bisa "dijual" oleh oknum pejabat yang menguasai personalia, dan "dibeli untuk investasi" bagi yang memerlukan posisi tersebut. Yang mana pola ini juga ditengarai banyak terjadi di kepolisian (lihat hasil penelitian mahasiswa PTIK http://kompas. com/kompascetak/0403/04/metro/891554.htm).
Pola Kedua* Pencarian data, yaitu adanya "bagi hasil imbalan" dari oknum pemeriksa pajak kepada petugas yang mengurus data wajib pajak (tentang "imbalan" ini, bisa dilihat pada Tri Wibowo, 2004, www.fiskal.depkeu.go.id/referensi/kajian/TriWibowo-StudiPelaksanaanRestitusiPPN.doc).
Korupsi eksternal, dilakukan aparat pajak dalam berhubungan dengan wajib pajak. Pola Pertama, pembayaran untuk jasa-jasa wajib, yaitu uang pelicin atau tambahan uang untuk melancarkan jasa yang seharusnya dilakukan tanpa biaya atau dengan biaya resmi yang kecil. Hal ini dilakukan oleh oknum aparat pajak terhadap orang yang memerlukan jasa-jasa tertentu di Ditjen Pajak.
Pola Kedua, adalah negosiasi pajak yang berkaitan dengan proses kontak langsung antara wajib pajak dengan petugas pajak dan melahirkan negosiasi dengan imbalan tertentu. Hal ini bisa berupa: Pertama, oknum petugas pajak "menggertak" wajib pajak dengan mengenakan jumlah pajak yang lebih besar dari yang sebenarnya agar wajib pajak mau melakukan negosiasi. Cara ini disebut juga komisi. Oknum petugas pajak kemudian mengutip sejumlah tertentu dengan mengurangi jumlah setoran pajak kepada negara. Kedua, Oknum wajib pajak yang aktif bernegosiasi dengan oknum petugas pajak dengan menawarkan suap agar mengurangi beban pajak sebenarnya dengan merugikan keuangan negara. Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan pajak dalam melakukan negosiasi ini (lihatdi www.sec.gov/litigation/litreleases/lrl7127.htm)
Di samping pola-pola (dalam hasil penelitian ICW 2001) tersebut di atas, penulis juga menambahkan bahwa kejahatan/pidana perpajakan tidak hanya dilakukan oleh sisi oknum fiskus semata, akan tetapi banyak pula pelanggaran-pelanggaran pajak (adanya unsur tidak sengaja) maupun kejahatan-kejahatan perpajakan (adanya unsur kesengajaan), yang banyak dilakukan juga dari sisi Wajib Pajaknya sendiri, yang diawali dengan tidak memenuhi (no-comply) aspek kewajiban-kewajiban perpajakannya yang diatur oleh Undang-undang, seperti: tidak sengaja/sengaja melakukan pembukuan yang tidak benar atau pembukuan ganda untuk kepentingan internal Wajib Pajak, Perbankan atau Perpajakan yang berbeda-beda, sehingga pelaporan perpajakan dalam SPTnya yang belum/tidak benar pula, akibatnya negara dalam hal ini jelas dirugikan dari sisi penerimaan pajak. Bahkan ada pula para oknum wajib pajak yang jelas-jelas berinisiatif melakukan penyuapan/negosiasi dengan oknum aparat pajaknya, melakukan ekspor fiktif, menggunakan faktur fiktif untuk membesarkan harga pokoknya untuk mendapatkan restitusi dari negara, mengecilkan pajak dengan mengurangi omzet, meninggikan biaya, adanya transfer pricing dan lain sebagainya yang penulis tidak sebutkan satu persatu. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa semua kejahatan/pidana perpajakan tersebut di atas dapat dicegah atau tidak akan terjadi, jika salah satu pihak entah Fiskus Pajaknya ataukah Wajib Pajaknya itu sendiri tidak berkenan/tidak man diajak berkolusi untuk melakukan pemufakatan jahat untuk bernegosiasi dalam melakukan kejahatan/pidana perpajakan, yang tentunya hal tersebut harus didukung dengan adanya suatu Sistem Perpajakan yang kondusif sehingga Azas Keadilan/Ekualitas dalam hal pemenuhan Hak dan Kewajiban kedua belah pihak (Wajib Pajak dan Fiskus) dapat berjalan dengan baik. Agas kondisi tersebut di atas dapat diterapkan, maka mutlak diperlukan adanya suatu Law Enforcement dengan hukum yang berkaitan dengan kejahatan/pidana perpajakan tersebut, baik Undang-Undang Perpajakan sendiri yang bersifat Lex Specialis maupun Undang-Undang KUHP maupun Undang-undang lainnya.
PRIVATISASI DAN PRAKTISI PERPAJAKAN.
Pola-pola di atas sebenarnya sudah merupakan rahasia umum. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Kesra Aburizal Bakrie pasti sudah mahfum dengan pola-pola diatas. Tetapi sayangnya para pengambil kebijakan dan political will dinegara kita ini belum menyadari pentingnya APBN yang disangga oleh penerimaan pajak yang sehat dan berkelanjutan. Sejak reformasi perpajakan sejak 1983 (Harvard Institute for International Development punya andil dalam hal ini) belum terlihat adanya reformasi lanjutan yang mampu untuk mengendalikan kejahatan/pidana korupsi di perpajakan. Dalam hal ini, Harvard Institute for International Development pernah menawarkan suatu konsep yang radikal, yaitu privatisasi pemeriksaan pajak (Byrne, 1995). Mungkin aneh mendengar hal ini, akan tetapi filosofi sistem pemungutan perpajakan di negara kita ini, yang bersifat self-assessment dan withholding adalah suatu contoh bagaimana negara menyerahkan urusan publik dalam pemungutan pajak kepada sektor privat. Privatisasi pemeriksaan pajak adalah suatu cara drastis untuk memotong kontak langsung pembayar pajak dan pemeriksa pajak karena hal ini terbukti menyuburkan peluang adanya "pemerasan dan penyuapan" pajak oleh para oknum. Untuk itu, bagi daerah dimana reputasi aparat pajak sudah sangat rendah, misalnya di kawasan industri, pemerintah dapat membuat kesepakatan dengan asosiasi perusahaan setempat untuk menunjuk kantor akuntan publik (KAP) untuk membantu/menggantikan Ditjen Pajak dalam pemeriksaan pajak. Ditjen Pajak berhak melakukan peer review, yaitu telaah atas prosedur yang dipakai KAP tersebut apakah telah sesuai dengan standar pemeriksaan pajak yang disepakati, dan jika diperlukan dapat memeriksa ulang perhitungan pajak tersebut dengan meminjam dokumen pembayar pajak yang dipegang KAP.
Preseden sebelumnya adalah ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjuk PriceWaterhouseCoopers dalam audit skandal Bank Bali ketika independensi BPK diragukan, serta penggunaan SGS (Societe Generale de Surveillance, yang dilanjutkan oleh Sucofindo dan Surveyor Indonesia) menggantikan Bea Cukai dalam ekspor dan impor. Pencegahan kontak langsung juga dapat dilakukan pemerintah dengan mengatur praktek return certification, yaitu mendorong praktisi pajak (KAP, lawfirm, konsultan pajak) untuk mewakili secara resmi pembayar pajak dengan mengharuskan mereka menandatangani surat pajak kliennya. Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa praktisi pajak berperan sebagai "penegak hukum" dalam peraturan pajak yang jelas dan "pengeksploitasi" dalam peraturan yang ambigu. Akan tetapi, ketaatan akan tinggi jika terdapat sanksi berat atas praktisi pajak tersebut (Klepper et.al, 1991). Berkaca pada studi di atas, penggimaan konsultan profesional dengan sanksi yang tinggi akan mengurangi kesalahan penghitungan, dan mengharuskan konsultan untuk lebih cermat sementara pembayar pajak terlindungi kontak langsung dengan aparat pajak.
KPK dan BPK.
Berikutnya adalah penegakan hukum atas "pemerasan" pajak dengan memberikan kesempatan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan BPK. KPK perlu memusatkan perhatian pembuktian "pemerasan dan penyuapan" pajak yang disertai pengusutan asal usul kekayaan petugas pajak yang dilaporkan menggunakan asas pembuktian terbalik. BPK juga berperan penting karena lembaga tersebut mempunyai kewenangan peradilan komptabel (perbendaharaan), yaitu Tuntutan Perbendaharaan untuk menuntut pengembalian uang negara atas kelalaian bendahawawan negara, dan merekomendasikan Tuntutan Ganti Rugi kepada Menteri Keuangan terhadap perbuatan pegawai negeri yang merugikan keuangan negara. Kemudian dalam jangka menengah jika memungkinkan perlu diterapkan korporatisasi Ditjen Pajak, yaitu modernisasi dan manajemen profesional dalam Ditjen Pajak untuk menjadikan mereka sebagai corporate people (Khasali, 2005). Hal ini dapat dilakukan dengan melepas Ditjen Pajak sebagai badan independen sehingga manajemen, anggaran dan remunerasi dapat setara dengan swasta yang disertai tindakan pemecatan jika terbukti menyimpang.
Di samping itu juga perlu dilakukan gerakan secara nasional yang dimulai dari pemimpin negara, pejabat-pejabat menteri, pejabat-pejabat di daerah serta dukungan dari semua departemen, institusi negara yang terkait untuk dapat memberikan teladan yang baik dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan. Dan yang tidak kalah pentingnga dari hal tersebut di atas adalah kesadaran dari PIHAK WAJIB PAJAK itu sendiri yang merupakan sumber pembayar pajak (berdasarkan Undang-undang pajak yang mengaturnya) untuk lebih sadar, peduli dan terbuka dalam hal pemenuhan hak-hak dan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu jika Ditjen Pajak ingin menghilangkan persepsi/citra masyarakat bahwa pajak merupakan momok masyarakat tersebut, caranya bukan dengan mensomasi tokoh-tokoh seperti Kwik Kian Gie, Faisal Basri atau pihak-pihak yang mempunyai keperdulian terhadap perpajakan di Indonesia, tetapi dengan membuat studi bahwa persepsi masyarakat adalah sebaliknya dan lebih baik lagi, dan menunjukkan bahwa Ditjen Pajak adalah lembaga negara terbersih.
II. DASAR HUKUM (UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN) DAN TERJADINYA KEJAHATAN/PIDANA PERPAJAKAN.
Di dalam Undang-undang Perpajakan No. 16 tahun 2000 (perubahan kedua atas UU No 6 tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), diatur bebarapa pasal yang menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan terjadinya dan sangsi-sangsi atas Kejahatan/Pidana Perpajakan yakni dalam pasal 38 s/d 42, yang intinya dapat penulis ikhtisarkan sebagai berikut: Kejahatan/Tindak Pidana Perpajakan dapat terjadi dikarenakan:
  1. Adanya unsur KEALPAAN (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, ketidakhati-hatian, kurang mengindahkan kewajibannya dalam perpajakan), ini sifatnya masih PELANGGARAN PERPAJAKAN.
  2. Adanya Unsur KESENGAJAAN (dengan sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan perpajakan), Hal ini sifatnya sudah KEJAHATAN/PIDANA PERPAJAKAN.
Unsur Kealpaan (pada point no. 1) dalam perpajakan terjadi dalam hal:
  1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Direktorat Jenderal Pajak.
  2. Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
Atas kealpaan yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan / atau denda paling tinggi 2 kali jumlah pajak terutang.
Unsur Kesengajaan dalam perpajakan terjadi dalam hal:
  1. Tidak mendaftarkan diri sebagai WP/PKP, atau menyalahgunakan/menggunakan tanpa hak NPWP/Pengukuhan PKP.
  2. Tidak menyampaikan SPT.
  3. Menyampaikan SPT / keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
  4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
  5. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu / dipalsukan seolah-olah benar.
  6. Tidak menyelenggarakan pembukuan / pencatatan, tidak memperlihatkan / tidak meminjamkan buku, catatan, dokumen lainnya.
  7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong / dipungut.
Atas unsur kesengajaan di atas yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 tahun, dan / atau denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak terutang.
Jika dilihat uraian yang menjadi dasar hukum atas kejahatan/pidana perpajakan sangatlah jelas sekali penyebab terjadinya dan konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu jika Sistem Perpajakan ini sudah bisa memberikan iklim yang kondusif bagi "insan perpajakan" dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam berusahan, sehingga tidak ada alasan lagi bagi wajib pajak untuk tidak memenuhi segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, begitu juga dengan Aparat Pajak/Fiscusnya dalam melaksanakan kewajibannya dalam fungsi pelayanan publik serta dalam penegakan hukum pajak itu sendiri (Law Enforcement).
III. PERLUNYA PROGRAM PENCEGAHAN KEJAHATAN PERPAJAKAN (PREVENTION TAXES CRIME PROGRAM).
Berdasarkan uraian pada Bab I dan II tersebut di atas , maka kami dari Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI), merasa terpanggil dan ingin membantu pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak serta Masyarakat/publik, dalam memberikan masukan-masukan atau kajian-kajian/penelitian bahkan mungkin bisa menjadi fasilitator terhadap pihak-pihak/institusi yang terkait dengan masalah-masalah pencegahan kejahatan/pidana perpajakan, seperti terhadap Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman serta Departemen/Institusi negara lainnya bahkan pihak LSM-LSM seperti Transparansi Internasional, Indonesian Corruption Watch dll.
Oleh karena banyaknya pertanyaan dari kalangan masyarakat kepada kami sebagai Lembaga Masyarakat yang concern terhadap aspek pencegahan kejahatan khususnya di bidang perpajakan serta keperdulian kami terhadap kesinambungan pembiayaan APBN dari sektor pajak ini, untuk itu kami perlu mengundang Institusi-institusi negara yang terkait langsung dengan masalah ini, Yakni Direktorat Jenderal Pajak Depkeu (sebagai pihak regulator), dan pihak Kejaksaan Agung & Kepolisian RI (sebagai pihak penegak hukum), untuk dapat duduk bersama dalam suatu "round-table discussion" membahas upaya-upaya pencegahan kejahatan dalam bidang perpajakan ini, adapun point-point penting yang akan kami usulkan untuk bahan diskusi sekaligus dapat merumuskan secara bersama-sama, tentang format "PENCEGAHAN KEJAHATAN/PIDANA BIDANG PERPAJAKAN (KAITANNYA DALAM PENGAMANAN SERTA PENGOPTIMALISASIAN PENERIMAAN NEGARA DI BIDANG PERPAJAKAN) ".
Setelah formatnya ini dirumuskan, mungkin hasilnya nanti dapat disosialisasikan melalui suatu seminar nasional yang dihadiri oleh masyarakat dan para pengambil keputusan di negara ini sehingga political will atas gerakan nasional sadar dan peduli pajak ini dapat lebih berhasil/berdaya guna, adalah sebagai berikut:
I. SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA, SERTA LAW ENFORCEMENT UU PERPAJAKAN & UU YANG TERKAIT DENGAN PIDANA PERPAJAKAN.
II. OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DI BIDANG PERPAJAKAN.
III. FASILITASI DALAM PENCEGAHAN KEJAHATAN/PIDANA PERPAJAKAN ANTARA DITJEN PAJAK DENGAN POLRI/KEJAKSAAN AGUNG/DEPARTEMEN KEHAKIMAN SERTA INSTANSI-INSTANSI YANG TERKAIT DENGAN MASALAH MASALAH PERPAJAKAN.
Mungkin untuk sementara 3 (tiga) point tersebut yang kami ajukan untuk dibahas/didiskusikan terlebih dahulu sehingga FORMAT DALAM PENCEGAHAN KEJAHATAN PERPAJAKAN tersebut mempunyai Visi, Misi, Program serta Rencana Kerja yang sama dan sinergi sehingga dalam implementasinya dapat lebih berdaya guna, baik dari sisi kacamata LCKI sebagai LSM, Ditjen Pajak sebagai Regulator di bidang Perpajakan serta POLRI sebagai aparat penegak Hukum.
Wassalam.
(http://lcki.org/)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian