“FRAUD” DALAM INDUSTRI ASURANSI: SUATU TINJAUAN HUKUM

A. Pendahuluan.
Dalam suatu riset yang dilakukan oleh beberapa dokter di Jerman terhadap negara-negara maju mengungkapkan bahwa kecurangan dalam perawatan kesehatan merupakan sumber yang paling potensial yang dapat merugikan perusahaan asuransi khususnya asuransi kesehatan. Kecurangan dilakukan dengan kesengajaan yang bermaksud untuk mendapatkan keuntungan atas perbuatan tersebut. Di Amerika Serikat industri asuransi kesehatan mengalami kerugian mencapai ratusan juta dolar dalam setahun yang ditimbulkan oleh perbuatan curang tersebut, yang apabila diestimasikan kalangan industri asuransi di Amerika mengalami kerugian antara 3 –7% dalam satu tahun akibat perbuatan ini.

Berdasarkan data dari Coalition Againts Insurance Fraud pada tahun 2006 Amerika Serikat, kerugian terbesar industri asuransi di Amerika menimpa asuransi kesehatan, dimana kerugian mencapai US$54 miliar kemudian asuransi kendaraan menduduki posisi kedua dengan tingkat kerugian sebesar US$13,5 miliar, lalu disusul asuransi bisnis/komersial sebesar US$10 miliar, dan kerugian asuransi rumah sekitar US$2,5 miliar. Sedangkan Global Head of Insurance Practice Financial Insights Barry Rabkin dalam kajian risetnya mengungkapkan kecurangan telah menyebabkan industri asuransi di Amerika serikat mengalami kerugian sekitar US$80 miliar per tahun. Insurance fraud merupakan suatu tindak pidana yang melanggar hukum terhadap perusahaan asuransi dengan tujuan mendapatkan keuntungan finansial secara tidak sah dari penutupan suatu resiko.

Ada beberapa faktor penyebab yang memungkinkan terjadinya fraud antara lain:
1. Kebutuhan (need) dimana situasi pemegang polis dan/atau tertanggung sebelum terjadinya kerugian sedang mengalami kesulitan keuangan;
2. Kesempatan (opportunity) misalnya sebab kerugian yang tidak dapat ditelusuri atau ada celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang polis dan/atau tertanggung untuk mengajukan kaim fiktif;
3. Keserakahan (greed).

B. Definisi
Dalam prakteknya pertanggungan asuransi merupakan perjanjian dengan unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung. Penanggung percaya bahwa tertanggung akan memberikan segala keterangan dengan baik dan benar. Dilain pihak tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan membayar ganti rugi. Saling percaya tersebut merupakan dasar dari asas kejujuran, yang merupakan asas yang sangat penting dalam setiap perjanjian pertanggungan, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menghindari terjadinya kecurangan asuransi.

Dewasa ini asas kejujuran sempurna lebih dikenal dengan sebutan principle of utmost good faith atau uberrimae fidei. Good faith secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai itikad baik. Dengan demikian utmost good faith dapat diterjemahkan sebagai itikad baik yang sebaik baiknya/sempurna.

Sebenarnya secara umum asas itikad baik dan kejujuran sempurna dapat diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati demi hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi yang selengkap-lengkapnya, yang akan dapat mempengaruhi keputusan pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau tidak. Istilah fraud (Inggris) atau fraude (Belanda) sering diterjemahkan sebagai bentuk perbuatan curang terhadap asuransi (insurance fraud) sebenarnya sudah diantisipasi dalam Pasal 251 KUH Dagang, yang menyatakan:
“Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifat demikian rupa, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”.

Dalam tatanan hukum Indonesia tindak pidana curang (fraud) terhadap perusahaan asuransi yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dipersamakan dengan tindak pidana penipuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 381 dan Pasal 382 KUHP.
Pasal 381:
“Barangsiapa dengan akal dan tipu muslihat menyesatkan orang menanggung asuransi tentang hal ikhwal yang berhubungan dengan tanggungan itu, sehingga ia menanggung asuransi itu membuat perjanjian yang tentu tidak akan dibuatnya atau tidak dibuatnya dengan syarat serupa itu, jika sekiranya diketahuinya keadaan hal ikhwal yang sebenarbenarnya, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan”.
Pasal 382
“Barangsiapa dengan maksud akan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, sedang hal itu merugikan yang menanggung asuransi atau orang yang dengan syah memegang surat penanggungan barang di kapal, membakar atau menyebabkan letusan dalam sesuatu barang yang masuk asuransi bahaya api, atau mengaramkan atau mendamparkan, membinasakan, atau merusakkan sehingga tanpa dapat dipakai lagi kapal (perahu) yang dipertanggungkan atas atau yang muatannya atau upah muatannya yang akan diterima telah dipertanggungkan atau yang untuk melengkapkan kapal (perahu) itu, orang sudah meminjamkan uang dengan tanggungan kapal (perahu) itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”.

Agar tetap fokus pada tema seminar ini, penulis mencoba memberikan batasan-batasan pengertian fraud dalam kaitannya dengan industri asuransi saja, yang secara sitematis dirangkum dari beberapa sumber, sebagai berikut:

Black’s Law memberikan definisi fraud sebagai berikut:
“An intentional perversion of truth for the purpose of inducing another in reliance upon it to part with some valuable thing belonging to him or to surrender a legal right. A false representation of a matter of fact, whether by word or by conduct, by false or misleading allegations, or by concealment of that which should have been disclosed, which deceives and is intended to deceive another so that he shall act upon it to his legal injury. Anything calculated to deceive, whether by a single act or combination, or by suppression of truth, or suggestion of what is false, whether it be by direct falsehood or innuendo, by speech or silent, word of mouth, or look or gesture”.

Bandingkan dengan Nasional Care Anti-Fraud Association (NHCAA) sebuah lembaga yangkhusus menangani permasalahan fraud dibidang perawatan kesehatan di Amerika memberikan definisi fraud sebagai berikut:
“An intentional deception or misrepresentation that the individual or entity makes, knowing that the misrepresentation could result in some unauthorized benefit to theindividual, or the entity, or to another party”. Hukum Negara Bagian New Hampshire memberi definisi Insurance fraud sebagai berikut:
“Commits with a purpose to injure, defraud or deceive any insurer, knowingly submits orhelps someone else to submit any oral or written statements knowing that thesestatements contain false, incomplete, or misleading information conserning anyapplication claims for payment or benefits pursuant to an insurance policy”.
Kamus asuransi yang menjadi panduan bagi praktisi asuransi di Indonesia menyamakan pengertian fraud dengan tindak pidana penipuan, dan memberi pengertian fraud sebagai:
“Tindakan penipuan, misrepresentatisi fakta penting yang dibuat secara sengaja, dengan maksud orang lain mempercayai fakta itu dan akibatnya orang itu menderita kesukaran keuangan”.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa fraud atau kecuranganmemiliki empat Kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
1. tindakan tersebut dilakukan oleh pelaku secara sengaja;
2. adanya korban;
3. korban menuruti kemauan pelaku;
4. adanya kerugian yang dialami oleh korban
Bentuk Kecurangan Dan Penyalagunaan Dalam Industri Asuransi
Berdasarkan sifatnya, penulis membagi bentuk kecurangan asuransi kedalam dua kategori yaitu:
a. Menyembunyikan fakta material (misrepresentation material fact)
b. Klaim palsu (false claim)
Menyembunyikan Fakta Material (misrepresentation material fact)
Pengungkapan fakta-fakta yang material dengan sejujur-jujurnya merupakan suatu kewajiban yang mutlak yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak dalam suatu perjanjian pertanggungan.

Keterangan atau fakta-fakta dan informasi yang harus diungkapkan sebelum melakukan perjanjian pertanggungan, dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. fakta yang berdasarkan faktor internal yang menunjukkan risikonya lebih besar dari yang diperkirakan dari sifat atau kelompoknya;
b. fakta dari faktor eksternal menjadi risikonya lebih besar dari yang normal;
c. fakta yang membuat kemungkinan jumlah kerugian lebih besar dari yang
diperkirakan;
d. data kerugian dan klaim dari polis terdahulu (kalau ada);
e. penolakan yang pernah dilakukan atau persyaratan yang dikenakan oleh
penanggung lainnya (kalau ada);
f. fakta yang membatasi hak subrogasi;
g. adanya polis non indemnity;
h. fakta yang berkaitan dengan subject matter of insurance.

Pentingnya fakta-fakta atau informasi-informasi yang bersifat material diungkapkan karena setiap fakta material tersebut dapat mempengaruhi penanggung dalam penerimaan atau penolakan risiko, atau dalam penetapan premi atau kondisi dan persyaratan kontrak adalah material dan harus diungkapkan. Tidak diungkapkannya fakta-fakta material merupakan awal dari kecurangan dalam suatu pertanggungan asuransi.

Contoh kasus:
Klaim meninggal dunia yang terjadi di Medan dan Jambi. Tertanggung dan atau pemegang polis pada saat penutupan polis (usia polis 6 bulan) oleh salah-satu perusahaan asuransi di Indonesia tidak mengungkapkan fakta dengan sebenarnya. Tertanggung dan atau pemegang polis menyatakan bahwa tidak pernah memiliki suatu penyakit, dan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun tidak pernah melakukan tindakan operasi.

Setelah kami melakukan investigasi, diketahui ternyata tertanggung dan atau pemegang polis telah lama mengidap penyakit CA Gaster Residif dan Hepatoma (kanker lambung), menurut ketarangan dokter yang merawat, tertanggung dan atau pemegang polis pertama sekali terdeteksi mengidap kanker lambung sejak 1 (satu) tahun sebelum tertanggung dan atau pemegang polis melakukan penutupan polis. Dan celakanya lagi tertanggung dan atau pemegang polis telah menjalani tindakan operasi atas penyakitnya tersebut.

Dalam kasus tersebut kami menarik suatu kesimpulan bahwa pada saat penutupan
asuransi si tertanggung dan atau pemegang polis tidak mengungkapkan fakta material yang sebenarnya dengan jujur bahwa dirinya mengidap suatu penyakit yang berbahaya, yang apabila penyakit tersebut diungkapkan maka akan mempengaruhi pertanggungan, oleh karenanya sesuai dengan pasal 521 KUH Dagang pertanggungan menjadi batal. Pelaku kecurangan dalam dalam penyembunyian fakta material (misrepresentation material fact) ini adalah agen, pemegang polis, ahli waris dan dokter.

C. Klaim Palsu (false claim)
Klaim palsu adalah suatu upaya untuk melakukan penagihan atau permintaan pembayaran kepada seseorang atau perusahaan berdasarkan data yang diketahuinya adalah palsu atau data yang telah direkayasa. Klaim palsu selalu diikuti dengan tindak pidana lain misalnya memalsukan dokumen-dokumen penting sehubungan dengan klaim, melakukan rekayasa kejadian, perbuatan yang direncanakan dengan standar untuk mengelabuhi pihak-pihak tertentu dengan maksud-maksud mengambil keuntungan, membuat hasil pengujian laboratorium palsu, membuat surat keterangan dokter palsu, dan lain-lain yang merupakan dasar untuk dapat mengajukan klaim. Klaim palsu biasanya dilakukan dengan unsur kesengajaan dari orang-orang yang berkepentingan terhadap asuransi, misalnya pemegang polis yang bukan menjadi tertanggung dan atau ahli waris. Klaim palsu atau klaim yang tidak benar atau yang menyesatkan selalu melibatkan adanya konspirasi dari orang lain yang turut membantu untuk memuluskan jalannya klaim palsu misalnya dokter atau agent. Klaim palsu merupakan bentuk umum kecurangan yang paling sering terjadi dalam industri asuransi, tujuannya adalah untuk mendapatkan pembayaran yang tidak semestinya dia terima.

Contoh kasus:
1. Klaim meninggal dunia “karena kecelakaan” yang terjadi di Sidikalang, Sumatera Utara atas polis dengan pertanggungan tambahan santunan meninggal dan cacat 7 tetap karena kecelakaan (Accidental Death And Disablement Rider). Pemegang polis mengajukan klaim atas meninggalnya tertanggung, klaim di ajukan dengan beberapa bukti antara lain: (i) kronogis kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya tertanggung; dan (ii) surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa tertanggung meninggal karena pendarahan otak akibat benturan di kepala. Setelah melakukan investigasi, kami dapat membuktikan bahwa penyebab meninggalnya tertanggung bukan karena kecelakaan sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan dokter dan/atau kronogis penyebab kematian yang dibuat oleh pemegang polis, akan tetapi meninggal karena suatu penyakit dan penyakit tersebut telah ada sebelum melakukan penutupan asuransi. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa dalam mengajukan klaim palsu tersebut tertanggung tidak hanya sendiri, dia dibantu oleh agent dan dokter untuk memuluskan klaim palsu tersebut. Dan perbuatan klaim palsu ini juga selalu diikuti dengan tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana pemalsuan.
2. Tagihan jasa layanan atau penyediaan jasa yang sebenarnya tidak ada;
3. Dokter memberikan layanan yang tidak perlu atau melakukan tes yang tidak perlu;
4. Dokter dan/atau rumah sakit membebankan biaya layanan yang sebenarnya tidak pernah dilakukan.
Pelaku kecurangan dalam klaim palsu (false claim) adalah tertanggung dan/atau pemegang polis, Ahli waris, dokter, rumah sakit, ahli farmasi (apoteker) dan laboratorium. Berkaitan dengan judul tulisan ini, definisi fraud dan bentuk-bentuk fraud yang telah penulis jabarkan diawal tulisan ini, berikut penulis akan mencoba membahas perbuatanperbuatan fraud (kecurangan) dalam industri asuransi ditinjau dari sisi hukum pidana Indonesia. Penulis berusaha untuk membuat tulisan ini sesederhana mungkin agar peserta yang bukan dari kalangan hukum dapat mengerti dan menelaah dengan baik.

D. Fraud Sebagai Tindak Pidana Kejahatan

Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan pertanggung jawaban pidana. Hukum pidana Indonesia, sebagaimana hukum pidana negara-negara civil law system lainnya merupakan hukum pidana yang berpangkal tolak dari peraturan perundang-undangan. Ada tidaknya suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang yang melakukan tindak
pidana tersebut, akan tetapi tergantung pada apakah ada larangan peraturan perundangundangan yang disertai ancaman pidana terhadap suatu perbuatan tersebut sebagaimana asas legalitas yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Salah satu unsur esensial dari suatu perbuatan (delik) pidana adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena setiap perbuatan baru dapat dihukum apabila perbuatan tersebut mempunyai sifat melawan hukum (nullum delictum nulla poena siene lege poenali).

Berkaitan dengan bentuk-bentuk fraud dalam industri asuransi khususnya asuransi kesehatan sebagaimana telah penulis jabarkan di atas. Kini penulis akan menguraikan perbuatan fraud tersebut berdasarkan perbuatan yang dapat dihukum menurut hukum pidana, sebagai berikut:
Dalam pembahasan ini, penulis tidak menggunakan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), oleh karena hampir tidak ada satu pasal pun dalam UU Asuransi yang secara tegas mengatur permasalahan tentang fraud, padahal UU Asuransi seharusnya dapat menjadi aturan yang berifat khusus (lex specialis) bagi aturan yang bersifat umum (lex generalis) yang selama ini diatur dalam KUHP. Akan tetapi untuk tidak menyurutkan niat kita dalam membahas tentang fraud dalam asuransi kesehatan ini, penulis akan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP sebagai pisau analisa.

E. Pidana Penipuan
Tindak pidana yang paling sering terjadi terhadap perusahaan asuransi adalah tindak pidana penipuan, dimana si calon tertanggung/pemegang polis tidak dengan jujur mengungkapkan faktafakta penting sehubungan dengan kesehatannya.
Pasal 381 KUHP telah melansir suatu perbuatan pidana penipuan yang dilakukan terhadap industri perasuransian. KUHP berusaha memberikan perlindungan bagi industri asuransi dengan mengkriminalisasikan persetujuan pertanggungan yang dibuat antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan konsumen sebagai tertanggung/pemegang polis. Perlindungan yang diberikan oleh KUHP adalah perlindungan terhadap setiap pengungkapan fakta-fakta yang tidak benar.

Secara umum unsur-unsur perbuatan pidana penipuan yang harus dipenuhi dalam hal tidak diungkapkannya fakta-fakta penting dalam suatu penutupan asuransi (Surat Permintaan Asuransi) adalah sebagai berikut:
a. Adanya karangan perkataan bohong;
Dalam melakukan penutupan asuransi, si calon tertanggung/pemegang polis biasanya tidak mengungkapkan keadaan yang sebenarnya yang telah diketahuinya, dengan maksud agar permintaan asuransi yang diajukannya disetujui oleh perusahaan asuransi. Si calon tertanggung/pemegang polis biasanya akan berbohongan tentang keadaan dirinya dengan mengarang suatu cerita yang tidak sebenarnya. Biasanya tindakan ini diikuti oleh kebohongan lainnya untuk menutupi suatu keadaan yang sebenarnya.
b. Dengan akal cerdik dan tipu muslihat;
Biasanya untuk memuluskan niatnya dalam berbuat curang si calon tertanggung/pemegang polis akan berbuat licik agar perusahaan asuransi tidak
mengetahui kebohongannya.
c. Keadaan palsu;
Keadaan palsu dimaksud adalah si calon tertanggung-pemegang polis akan mengaku seolah-olah dia mampu melakukan pembayaran premi dalam jumlah yang besar dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh perusahaan asuransi. Padahal tujuannya adalah untuk mengelabui perusahaan asuransi dengan melakukan klaim-klaim dini. Misalnya dia seorang pengusaha yang sukses atau punya perusahaan.
d. Menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hak.
Atas perbuatannya, si calon tertanggung/pemegang polis akan memperoleh keuntungan. unsur inilah yang paling pokok dalam tindak pidana penipuan yang harus dipenuhi. Bandingkan dengan unsur-unsur perbuatan pidana penipuan yang harus dipenuhi sesuai dengan isi dari Pasal 381 KUHP, sebagai berikut:
a. dengan akal dan tipu muslihat;
b. menyesatkan orang yang menanggung asuransi tentang hal ikhwal yang berhubungan dengan tanggungan itu;
c. sehingga ia menanggung asuransi itu membuat perjanjian yang tidak akan dibuatnya atau kalaupun dibuat tidak dengan syarat-syarat serupa;
d. jika diketahui keadaan sebenarnya

Pidana Pemalsuan
Tindak pidana pemalsuan yang penulis maksud dalam tulisan ini bukan sebagai tindak pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 (5) UU Asuransi. Pembahasan perbuatan pidana pemalsuan dalam tulisan ini adalah mencakup rumusan pemalsuan surat sebagaimana termaktub dalam Pasal 263 KUHP.
Dalam beberapa kasus kejahatan asuransi, biasanya perbuatan pidana pemalsuan adalah perbuatan ikutan yang didahului oleh perbuatan pidana penipuan. Perbuatan pidana pemalsuan hanya sebagai pelengkap dari perbuatan pidana penipuannya sebagaimana contoh kasus yang telah penulis bahas sebelumnya.
Ada 2 (dua) unsur penting yang harus dipenuhi oleh pelaku perbuatan pidana pemalsuan adalah sebagai berikut:
a. membuat surat palsu;
yang dimaksud membuat surat palsu adalah membuat “surat” yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar.
b. memalsukan surat.
Tindakan memalsukan surat adalah mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari pada yang asli. Memalsukan tandatangan dan penempelan photo orang lain dalam suatu surat ijin, ijasah termasuk perbuatan pidana memalsukan surat.

Yang diartikan sebagai surat dalam pasal ini adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya. Pemalsuan surat tersebut dapat menimbulkan keuntungan di satu pihak sekaligus kerugian bagi pihak lain. Surat-surat yang dipalsukan itu harus suatu surat yang:
• dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: daftar tagihan rumah sakit (invoice) mengenai suatu jenis perawatan medis yang sebenarnya tidak pernah dilakukan)
• dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian asuransi)
• dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (misalnya: kwitansi)
• suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat keterangan dokter)

F. Kesimpulan
Fraud terhadap perusahaan asuransi merupakan suatu tindak pidana kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tidak terbatas hanya pada tertanggung dan pemegang polis, agen penutup asuransi, pihak rumah sakit dan dokter juga dapat melakukan fraud terhadap perusahaan asuransi, dan lebih parah lagi perusahaan asuransi juga dapat melakukan fraud terhadap perusahaan asuransi lainnya.

Sampai saat ini permasalahan fraud oleh perusahaan asuransi di Indonesia masih terbatas sebagai bahan pembicaraan saja, namun sepanjang pengetahuan kami sebenarnya fraud sudah banyak terjadi di beberapa perusahaan asuransi di Indonesia, akan tetapi belum pernah dilakukan tindakan apapun terhadap pelaku.
Penulis berharap melalui seminar ini industri asuransi akan lebih peka dan lebih dini dalam mendeteksi gejala-gejala terjadinya fraud.


DAFTAR PUSTAKA

A. Hasymi Ali, Kamus Asuransi, cetakan II, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2002

AAG. Peter (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial: Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, (Jakarta, Sinar Agape Press, 1990).

A.A.Taar, Consumer Protection Legislation And The Market Place, (Otago Law Review, Vol. 5, No. 3, 1983).

Abby Kadar, Ken Hoyle & Geoffrey Whitehead, Business Law, (Made Simple Books, An Imprint of Butterworth-Heinemann Ltd, Linacre House, Jordan Hill, Oxford OX2 8DP. 1996).

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung, Citra aditya Bakti, 2002).

_______, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung, Citra Aditya, 1992).

_______, Pokok-pokok Hukum Pertanggungan, (Alumni, bandung, 1983).

Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta, Sinar Harapan, 1993).

A.Hasymi Ali dkk, Kamus Asuransi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2002).

Agnes M. Toar, Cacat-cacad Kehendak, (Makalah, Ujung Pandang, 1990).

Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum Dan Pendidikan Hukum, Kumpulan Pidato- Pidato Pengukuhan, (Bandung, Alumni, 1981.

Bisma Murti, Dasar-dasar Asuransi Kesehatan, Kanisius, 2000.

Calole Smith, I’m Covered – Aren’t it, A Look At Insurance For Trustees, Employers, And In- House Advisers And Administrators, (Article, Pensions Week On 16 April 2001).

Charles Fried, Contract As Promise, A Theory Of Contractual Obligation, (Harvard University Press, 1981).

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungan Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Pradana Media, 2006.

Economics Business & Accounting Review, Fraud: Tinjauan dari Berbagai Perspektif, Departemen Akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007.

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan perkembangan, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1980).

_______, Asuransi Kebakaran Di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2003).

Buku Kedua. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, alih bahasa oleh Somardi, (Rimdi Press, 1995).

Hendry P. Panggabean, Penyalah Gunaan Keadaan (Misbruik van Omstandgheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda), (Yogyakarta, Liberty, 1992).

H.K. Lucke, Exclusion Clause And Freedom Of Contract: Judicial and Legislative Reactions, (51 The Australian Law Journal 8, 1977).

H. Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, (Bandung, Alumni, 2003).

H. Whincup. Contract Law and Practice. (Deventer, The Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1990).

Jeff Woodward, Insurance Principle, (The Merrit Company, 1986).

Johaness Gunawan, Tanggungjawab Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hukum Bisnis.

_______, Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, No. 6, 2003).

J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992).

J. Trebilcock, The Limit Of Freedom Contract, (Harvard University Press. 1993).

Louis W. Stern and Thomas L. Eovaldi, Legal Aspects of Marketing Strategy: Antitrust and Consumer Protection Issues, (Prenties-Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. 1984).

Life Assurance Act (LAA) 1774.

______, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung, Alumni, 1994).

______, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan denganPenjelasan, (bandung, Alumni, 1983).

Magee, John H. & David L. Bickelhaupt, General Insurance, (Richard D. Irwin Inc, Homewood, Illinois. 1964).

Malcolm Leader and Peter Shears, Frame Work Consumer Law, (Pitman Publishing, 1996).

Martyn Frost, Exoneration Clause, (Barclays Bank Trust Company Limited, 1998).

M. Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994).

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung, Citra Aditya Bakti,
2003).

________, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, (Bandung, Citra Aditya Bakti,
2002).

Marine Insurance Act (MIA) 1745.

Marine Insurance Act (MIA) 1708.

Marine Insurance Act (MIA) 1906.

Natalie O’Connor, Consumers Protection Under The Trade Pratices Act: A Time For Change, (University of Tasmania Law Review, Vol. 17 No. 1, 1998).

Norbet Reich, Protection of Consumers Economic Interest by the EC, (Sydney Law Review, March 1992).

Polis Asuransi PT Asuransi Allianz Life Indonesia.

Polis Asuransi PT Asuransi Jiwa Darmala Manulife.

Polis Asuransi PT Asuransi Astra CMG Life.

Polis Asuransi PT ING AEtna Life Indonesia.

P.L. Wery, Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik Di Nederland, (Jakarta, Percetakan Negara R.I, 1990).

Principles And Practice Of Insurance, (Jakarta Insurance Institute), Buku Kedua.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, 1990).

Roos Cranston, Consumer And The Law, (Weidenfeld and Nicholson, London).
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta, Universitas Indonesia,2003).

Santoso Poedjosoebroto sebagaimana dikutip oleh abdul kadir Muhammad, Pokok-pokok Hukum
Pertanggungan, (Alumni, bandung, 1983).

Santosa Sembiring, Pencantuman Asas Kewajaran Dalam Kontrak standard (Perjanjian Baku) Sebagai Salah Satu Upaya Melindungi Konsumen. (Jurnal Hukum, Volume 6 No. 12, 1999).

Sekretariat Jenderal Dewan Asuransi Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 dan Peraturan Pelaksanaan tentang Usaha Perasuransian (dilengkapi dengan PP No. 63 tahun 1999 tentang Perubahan atas PP No. 73 Tahun 1992.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Grasindo, 2000).

Sinai Deutch, Unfair Contracts, The Doctrine Of Unconscionability, (Toronto, Lexington Books, D.C. Heath And Company Lexington, Massachusetts, 1977).

Smyth, The Law And Business Administrasion In Canada, Faculty Of Manageman Studies University Of Toronto, Prentice-Hall Canada Inc., Scarborough, Ontario, 1983.

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Sinar Grafika, Jakarta, 1992).

_______, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia (Tinjauan Makro), (Yokyakarta, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM Edisi Khusus No. 39/XI/2001).

Stuart S. Nagel, Law And Social Change, Sage Publications, (Baverly Hills, London, 1970).

Subekti, Hukum Perjanjian, cet ke 17 (Jakarta, Intermasa, 1998).

______, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Intermasa, Jakarta, 1984).

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Grafiti Pers, 2006.

Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia, (Jakarta, Intermasa, 1996).

_______, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Mandar Maju, 2000.

Web site: http://www.nh.gov/insurance

Web Site: www.nchc.org

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian