Menyoal Penyempitan Doktrin Fiksasi Dalam UU Hak Cipta Terbaru


Oleh: Risa Amrikasari, S.S., M.H.
Fiksasi dalam RUU Hak Cipta hanya mencakup dua jenis ciptaan yaitu rekaman suara dan rekaman gambar. Padahal doktrin Fiksasi itu tidak terbatas hanya pada dua jenis ciptaan itu.

Menyoal Penyempitan Doktrin Fiksasi Dalam UU Hak Cipta Terbaru Oleh: Risa Amrikasari, S.S., M.H.
Risa Amrikasari. Foto: ipasinstitute.com
DPR telah mengesahkan RUU Hak Cipta pada tanggal 16 September 2014 yang terkesan lebih “penuh” karena di dalamnya mengatur hal-hal yang memang belum sepenuhnya dipahami secara mudah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini tentunya diharapkan akan dapat memberikan aturan yang lebih jelas mengenai penerapan hukum hak cipta di negara kita.
Saya tertarik untuk membaca lebih dalam dan menemukan bahwa memang pada beberapa bagian, kelihatannya RUU Hak Cipta “berusaha keras” untuk memenuhi harapan para pihak yang berkepentingan mempergunakannya untuk mendapatkan kepastian hukum melalui Undang-undang yang baru. Tapi pada tulisan kali ini saya hanya ingin membahas sedikit saja mengenai hal baru yang dimunculkan oleh RUU Hak Cipta, yaitu Fiksasi.
Pada Pasal 1 butir (13) dinyatakan Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.
Saya mencoba mencari dalam bagian Penjelasan. Tidak ada keterangan tambahan pada Penjelasan. Jadi mari kita coba uraikan pengertian FIKSASI berdasarkan definisi di atas.
-Perekaman suara yang dapat didengar,
-Perekaman gambar atau keduanya (artinya suara + gambar) yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.
Sampai di sini yang dapat saya tangkap dari uraian definisi di atas adalah bahwa Fiksasihanya mencakup dua jenis Ciptaan di atas, yaitu rekaman suara dan rekaman gambar. Ada masalah di sini, padahal doktrin Fiksasi itu tidak terbatas hanya pada apa yang dicantumkan dalam definisi Fiksasi yang diatur dalam RUU Hak Cipta.
Doktrin Fiksasi Sebagai Prinsip Utama Dalam Perlindungan Hak Cipta 
Manusia dikaruniai kemampuan berpikir untuk melahirkan ide-ide kreatif yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. Ide-ide tersebut diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang memungkinkan pemilik ide ataupun orang lain dapat menikmati manfaatnya.
Bicara mengenai ide, Plato dan John Locke adalah dua orang yang sangat terkenal dengan diskusi dan pandangan mereka mengenai IDE. Keduanya memiliki pandangan yang saling bertentangan. Plato beranggapan bahwa dunia nyata adalah ilusi dari akal sehat, oleh karenanya ia beranggapan dunia nyata adalah ranah ide. Sedangkan John Locke berpendapat bahwa ide adalah pikiran seseorang yang dapat dipergunakan oleh orang lain secara berulang-ulang. 
Terkait dengan perwujudan sebuah ide yang disebut sebagai ekspresi inilah The Berne Convention  for the Protection of Literary and Artistic Works menetapkan standar internasional untuk perlindungan hak cipta mengenai Fiksasi. Namun, prinsip fiksasi yang ada pada Berne Convention mengarahkan negara penandatangan konvensi untuk tunduk pada persyaratan fiksasi perlindungan hak cipta pada hukum nasional masing-masing negara.  Pasal 2.2 Berne Convention menyatakan:
“It shall be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general or any specified categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some material form.” 
Fiksasi berasal dari istilah bahasa Inggris Fixation. Kata yang terdapat pada Berne Convention ini yang kemudian popular di kalangan praktisi hukum hak kekayaan intelektual.
Article 2
[Protected Works: 1. “Literary and artistic works”; 2. Possible requirement of fixation; 3. Derivative works; 4. Official texts; 5. Collections; 6. Obligation to protect; beneficiaries of protection; 7. Works of applied art and industrial designs; 8. News] 
Pasal 2 butir (2) Possible requirement of fixation; dari The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works menyatakan :
“It shall be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general or any specified categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some material form.”
Fiksasi yang akarnya dari The Berne Convention  justru SEHARUSNYA mengacu padabentuk nyata suatu ciptaan sebagai syarat untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta,bukan mengacu pada perekaman suara atau gambar.
Menurut saya ini adalah bentuk “kebingungan” dari para pembuat RUU Hak Cipta. Coba saja kita lihat Pasal 1 butir (14) yang berbunyi :
14. Fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.
Pasal 1 butir (14) di atas diterjemahkan dari WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) Pasal 2 butir (b)yang berbunyi sebagai berikut :
(b) “phonogram” means the fixation of the sounds of a performance or of other sounds, or of a representation of sounds, other than in the form of a fixation incorporated in a cinematographic or other audiovisual work;
Lalu dari mana definisi Fiksasi yang dituangkan dalam RUU Hak Cipta diambil? Kuat dugaan saya, pasal itu juga  adalah terjemahan dari Pasal 2 butir (c) WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) yang sedikit dikembangkan dan berbunyi sebagai berikut:
(c) “fixation” means the embodiment of sounds, or of the representations thereof, from which they can be perceived, reproduced or communicated through a device;
Para penyusun RUU Hak Cipta memasukkan definisi Fiksasi yang seharusnya hanya khusus untuk PERFORMANCE dan PHONOGRAMS ke dalam DEFINISI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA yang berlaku untuk keseluruhan hukum hak cipta di negara ini. Seharusnya jika mereka ingin memasukkan definisi Fiksasi ke dalam Undang-Undang, mereka harus memasukkan definisi yang lebih UMUM dan mencakup bagi semua jenis Ciptaan, bukan definisi khusus bagi pertunjukan atau rekaman yang dimasukkan ke dalam definisi di Undang-Undang sehingga berakibat mempersempit definisi FIKSASI secara hukum di Indonesia.
Menilik istilah Fiksasi yang terdapat pada Berne Convention, bisa diartikan bahwa Fiksasiadalah tindakan perwujudan dari sebuah ide menjadi bentuk yang nyata (tangible form). Ini berarti bahwa negara-negara penandatangan Berne Convention  menyepakati bahwa penerapan prinsip FIKSASI atas hukum hak cipta dikembalikan kepada hukum nasional masing-masing negara.
Contoh-contoh Fiksasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ketika seseorang memiliki ide untuk menulis pengalamannya selama menjalani liburan dan mengatakan hal tersebut pada teman yang berlibur bersamanya, ia harus menuangkannya ke dalam bentuk tulisan barulah tulisannya itu mendapatkan perlindungan hukum hak cipta. Jika ia hanya berhenti pada ide tersebut tanpa menuangkannya ke dalam tulisan, ia tak memiliki ciptaan apapun untuk dilindungi. Jika kemudian sang teman menuangkan idenya ke dalam sebuah tulisan tentang liburan, ia tak berhak untuk mengklaim tulisan temannya hanya karena ia adalah pemilik ide yang pertama kali. Perwujudan ide tulisan tentang liburan menjadi bentuk nyata sebuah tulisan, itulah FIKSASI.
2. Dua orang fotografer diundang oleh sebuah perusahaan iklan untuk memotret seorang model. Meski obyek yang difoto sama, tetapi masing-masing fotografer memiliki hak cipta sendiri atas foto yang mereka hasilkan. Perwujudan bentuk nyata dari obyek foto yang sama menjadi dua Ciptaan foto yang berbeda dalam bentuk nyata, itulah FIKSASI.
3. Seseorang memiliki ide untuk membuat sebuah program tayangan televisi. Ia membicarakan idenya dengan seseorang yang dianggapnya dapat mewujudkan ide tersebut. Jika ia sebagai pemilik ide tidak turut serta dalam pembuatan program tayangan televisi tersebut, maka ketika orang yang diajaknya bicara mewujudkan ide tersebut menjadi sebuah program tayangan televisi, ia tak dapat meng-klaim hak cipta dari program tayangan televisi tersebut. Hak cipta tayangan televisi tersebut adalah milik pihak yang mewujudkannya menjadi nyata. Perwujudan ide tayangan program televisi menjadi program televisi dalam bentuk nyata dan bisa dinikmati penonton, itulah FIKSASI.
4. Seseorang memiliki ide untuk membuat website. Ia membicarakan idenya pada seorang teman yang dianggapnya paham mengenai seluk-beluk pembuatan website. Jika sang teman mewujudkan ide tersebut bukan atas perjanjian kerjasama dengan pemilik ide, maka orang yang pertama kali memiliki ide tak bisa meng-klaim bahwa website tersebut adalah miliknya. Hak cipta website tersebut ada pada orang yang mewujudkannya. Perwujudan ide membuat website menjadi sebuah website dalam bentuk nyata, itulah FIKSASI.
Dari contoh-contoh di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah “agar ide dilindungi hak cipta maka ia harus diwujudkan terlebih dahulu dalam suatu bentuk kesatuan yang nyata. Itulah inti dari doktrin Fixation”. (Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H., C.N. - Hak Cipta Dalam Design Grafis, Yellow Dot Publishing, Jakarta, 2008)
Sebenarnya, Pasal 1 butir (3) dari RUU Hak Cipta telah secara tak langsung mengungkapkan mengenai Fiksasi tanpa harus menyebutkan definisi Fiksasi.
3. Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.
Sebagai contoh, mari kita lihat US Copyright Act yang tidak memasukkan definisi Fiksasike dalam hukum hak ciptanya tetapi menuliskannya dengan istilah fixed.
17 U.S. Code § 102 - Subject matter of copyright
(a) Copyright protection subsists, in accordance with this title, in original works of authorship fixed in any tangible medium of expression, now known or later developed, from which they can be perceived, reproduced, or otherwise communicated, either directly or with the aid of a machine or device. Works of authorship include the following categories:
(1) literary works;
(2) musical works, including any accompanying words;
(3) dramatic works, including any accompanying music;
(4) pantomimes and choreographic works;
(5) pictorial, graphic, and sculptural works;
(6) motion pictures and other audiovisual works;
(7) sound recordings; and
(8) architectural works.
Persoalan mengenai penyempitan doktrin Fiksasi dalam hukum hak cipta di Indonesia ini tidak dapat dianggap sepele karena akan berpengaruh kepada perkembangan pengetahuan mengenai ilmu tentang hak kekayaan intelektual khususnya tentang hak cipta.
Menurut saya, definisi Fiksasi harus dikembalikan kepada doktrin aslinya jika ingin tetap dimasukkan ke dalam Undang-Undang Hak Cipta. Definisi Pasal 1 butir (13) harusdirevisi sehingga tidak membatasi doktrin Fiksasi yang sesungguhnya. Misalnya saja dengan bunyi definisi seperti di bawah ini:
FIKSASI adalah perwujudan hasil karya cipta menjadi bentuk nyata termasuk di dalamnya perekaman suara atau gambar atau keduanya yang dapat didengar, dilihat,digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.
Memang dalam RUU Hak Cipta bermunculan istilah-istilah baru yang diambil dari terjemahan Pasal di WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT), seperti:Produser FonogramFonogram, PenyiaranKomunikasi kepada Publik. Hal inilah yang mungkin membuat para penyusun RUU Hak Cipta merasa perlu juga meletakkan definisi Fiksasi karena hampir semua hal terkait istilah-istilah tersebut dalam versi bahasa Inggris di atas di dalam WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) terkait dengan katafixation.
Tapi sekali lagi, jangan hanya karena ada penggunaan kata Fiksasi yang dipergunakan dalam suatu konvensi internasional, lalu diambil dan diterjemahkan, lalu ‘dicemplungkan’ ke dalam Undang-Undang Hak Cipta nasional kita, padahal WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) hanya khusus memperjanjikan mengenai pertunjukan dan perekaman. Kita sedang bicara soal Undang-Undang Hak Cipta, bukan sedang bicara soal Undang-Undang Musik ataupun Undang-Undang Pertunjukan dan Perekaman! (www.hukumonline.com) 
* Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, IPAS Institute.

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian