Mencabut Hak-hak Koruptor
Indonesia akan memiliki pemimpin baru saat pasangan presiden dan wakil presiden dilantik pada 20 Oktober mendatang. Banyak harapan tertuju kepada pemimpin baru nanti, termasuk asa akan terbebasnya negeri ini dari belenggu korupsi.
Bagi sebagian orang bisa saja ada pesimistis bila Indonesia bisa bersih dari kejahatan yang menggerogoti keuangan negara itu. Namun, mereka yang optimistis meyakini dengan kesungguhan kolektif, bangsa ini akan mampu untuk terbebas dari korupsi.
Sejak bergulirnya era reformasi, berbagai peraturan perundang-undangan dan kelembagaan dibentuk yang mempunyai satu tujuan, yakni memberantas korupsi. Nyatanya, sejak kejatuhan rezim otoriter Orde Baru yang sarat dengan praktik kolutif dan koruptif, justru korupsi tak juga lekang bahkan tampak kian mengganas.
Tidak ada satu pun lembaga publik yang bisa menyatakan bebas dari korupsi. Entah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak ada yang kebal terhadap serangan virus korupsi. Para penyelenggara negara yang gemar korupsi bukan hanya pejabat eksekutif maupun wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD, penegak hukum pun melakoni perilaku serupa. Ada jaksa, hakim dan polisi yang dijebloskan ke penjara karena terbukti melakukan korupsi dan menerima uang suap.
Korupsi tidak lagi melulu hanya mengutak-atik anggaran negara yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Korupsi yang dibungkus dengan kebijakan yang diracik pejabat eksekutif bersama para wakil rakyat justru tidak mudah untuk terkuak sebagai persekongkolan jahat di antara penyelenggara negara. Jumlah kerugian negara akibat korupsi juga bisa membuat banyak orang terperangah. Bilangan ratusan juta rupiah nyaris jarang terdengar lagi dalam kasus-kasus korupsi, baik yang diusut oleh Kejaksaan, Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Miliaran bahkan sampai triliunan rupiah sudah lazim dalam kasus-kasus megakorupsi yang dibongkar oleh KPK, badan khusus untuk memerangi korupsi.
Semua kalangan sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan yang tergolong luar biasa. Kriteria itu menjadi alasan sahih untuk memakai cara-cara luar biasa memburu para penjahat kerah putih itu. Membongkar sebuah kasus korupsi tidak lagi bisa mengandalkan cara-cara konvensional, tapi sudah memakai teknik-teknik pelacakan dengan teknologi terkini, termasuk menyadap percakapan telepon seluler di antara mereka yang dicurigai. Pemberantasan korupsi yang didukung dengan pranata hukum yang khusus dibentuk untuk itu, seperti undang-undang pemberantasan korupsi yang sudah beberapa kali direvisi, undang-undang anti-pencucian uang, badan antikorupsi dan pengadilan khusus untuk memeriksa perkara korupsi, bukan juga jurus jitu membersihkan negara hukum ini dari korupsi.
Lalu sejumlah kalangan, termasuk lembaga peradilan mulai menunjukkan kegeramannya terhadap para koruptor. Pidana berat, kewajiban membayar uang pengganti sebesar jumlah kerugian negara, dan hukuman tambahan dijatuhkan kepada terdakwa perkara korupsi yang perbuatannya terbukti.
Dalam beberapa perkara korupsi, di antaranya terpidana Lutfi Hasan Ishaaq yang terlibat suap dalam impor daging sapi, Mahkamah Agung juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk tidak dipilih dalam jabatan publik. Kendati Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memuat pidana tambahan, termasuk pencabutan hak-hak tertentu, selama ini vonis hakim yang mengadili terdakwa perkara korupsi hanya menerapkan pidana penjara, kurungan dan denda yang termasuk pidana pokok. Padahal Pasal 10 KUHP juga memuat pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu.
Selain menjatuhkan pidana penjara, hakim kasasi sudah mulai melirik kepada hukuman tambahan yang berakibat seorang koruptor tidak bisa dipilih dalam jabatan publik, seperti wali kota, bupati, gubernur dan anggota DPR, DPRD atau DPD. Pencabutan hak terpidana untuk dipilih dalam jabatan publik menjadi wajar karena mereka yang dipercaya oleh rakyat sudah berbuat kejahatan yang justru telah mencederai kepercayaan yang dia dapat dari rakyat.
Sebagai sebuah putusan yang dibuat oleh badan peradilan tertinggi itu, penerapan pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu patut untuk diikuti oleh lembaga peradilan di bawahnya. Indonesia memang tidak mengikuti secara mutlak sistem hukum yang memegang teguh yurisprudensi, seperti di negara-negara Anglo Saxon, namun hakim-hakim di tingkat pertama, banding, sampai ke kasasi, perlu mempunyai kepekaan yang sama untuk menangkap rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Menangkap rasa keadilan itu, di antaranya dengan menjatuhkan pidana berat dan mencabut hak koruptor untuk dipilih sebagai pejabat publik. (http://www.beritasatu.com/)
Comments
Post a Comment