Penyidik KPK yang Independen?




Pendahuluan
Akhir-akhir ini KPK sering menjadi pemberitaan di media massa. Ada berita pertentangan DPR dengan KPK. Berita anggaran gedung baru KPK. KPK kurang berani dalamm menangani kasus Bank Century dan kasus Hambalang, dan lain-lain. Hal menarik lainnya adalah gagasan agar KPK memiliki penyidik independen tersendiri, tidak lagi seperti yang diatur undang-undang bahwa penyidik KPK adalah penyidik Polri yang diperbantukan kepada KPK. Seperti halnya penuntut setuju dengan gagasan ini. Bahkan ada yang mengusulkan agar UU KPK direvisi. Tetapi ada pula yang tidak setuju.
Namun di balik itu semua, yang terpenting adalah korupsi yang sudah “membudaya” di Indonesia yang sudah merambat ke semua bidang dan semua tingkatan harus diberantas, bila kita tidak ingin negara ini hancur karena korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu cara yang akan mengarah kepada aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Karangan singkat ini tidak akan membahas apakah KPK merupakan lembaga ad-hoc, walaupun tidak ada batas waktunya, atau akan menjadi lembaga permanen.

Penyidikan dan Penyidik
Penyidikan adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada pejabat suatu instansi agar dapat melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Penulis sering mengatakan bahwa wewenang penyidikan adalah “wewenang untuk melanggar hak asasi manusia secara sah”, karena itu harus diatur dengan undang-undang sebab undang-undang dibuat oleh DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, yang menyetujui untuk dibatasi sebagian hak asasinya untuk melindungi hak asasi yang lebih luas.
Wewenang penyidikan, mencakup wewenang memanggil seseorang, menangkap, menahan, mengambil sidik jarinya, menggeledah rumah, dan sebagainya dalam kasus pidana untuk mendapatkan bukti-bukti dari pelaku tindak pidana. Penyidikan dimulai apabila terdapat bukti permulaan yang cukup, umumnya sebagai hasil dari penyelidikan.
Penyelidikan dan penyidikan merupakan salah satu bidang tugas Polri yang memerlukan “kemampuan teknis profesional yang khas kepolisian”, seperti yang dinyatakan Menhankam/Pangan Jenderal M. Jusuf pada tahun 1978 dalam Perintah Harian upacara serah terima jabatan Kapolri. Beliau menyatakan bahwa citra dan wibawa Polri merosot, antara lain karena merosotnya kemampuan teknis profesional khas kepolisian dan kurang responsifnya Polri dalam memberikan pelayanan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan. Sebenarnya kemampuan teknis profesional khas kepolisian juga mencakupi bidang sabhara (general duty police), polantas, brigade mobil, intelijen kepolisian, polisi perairan, polisi udara dan satwa polisi.
Bidang penyelidikan dan penyidikan saat ini disebut bidang reserse kriminil, terjemahan dari kriminele recherche zaman Hindia Belanda. Di negara Anglo Saxon, istilahnya adalah “criminal investigation”, karena berkembang menuntut pengetahuan dan teknologi, maka dikenal pula istilah “scientific criminal investigation”. Penyelidikan dan penyidikan yang merupakan tugas reserse kriminal adalah luas, antara lain pengamanan dan penanganan TKP (crime scene processing), mencari bukti-bukti, motif kejahatan serta mencari pelaku yang sering memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang mahal bila kasusnya sulit dipecahkan. Di kepolisian dikenal istilah “kriminal techniek dan kriminal taktiek”, perpaduan pengetahuan dan teknologi forensik yang sudah sangat canggih. Lembaga yang terkenal di dunia adalah yang berada di dua negara federal yaitu Federal Bureau of Investigation (FBI) di Amerika Serikat dan Bundes Kriminal Amt (BKA) di Republik Federal Jerman. Kedua lembaga tersebut mempunyai tenaga penyidik profesional, tenaga ahli di bidang forensik dan didukung oleh peralatan (teknologi) yang canggih.
Buku yang dianggap buku pertama di bidang Ilmu Kepolisian justru buku mengenai penyidikan karangan Hans Gross pada tahun 1883 berjudul “Handbuch fuer Untersuchungsrichter als System der Kriminalistik”. Pengetahuan dan kemampuan reserse kriminal (penyelidikan dan penyidikan) telah berkembang dengan berbagai spesialisasi seperti pembunuhan, pembakaran, narkoba, uang palsu, money laundry, korupsi (dari internal theft, fraud, embezzlement sampai korupsi tingkat tinggi), terorisme, human trafficking, dan lain-lain. Banyak terdapat dalam sejarah reserse kriminal tentang mereka yang berbakat seolah-olah memiliki indera keenam dalam penyelidikan dan penyidikan.
Dengan perkembangan yang pesat dan transnational crime dengan modus operandi yang canggih, Indonesia khususnya instansi yang bertugas dan berwenang di bidang penyelidikan dan penyidikan kejahatan harus secara terus menerus meningkatkan “kemampuan teknis profesional yang khas di bidang ini”. Gelar S1 yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, kiranya tidak tepat, karena yang diperlukan adalah penyidik yang profesional, tentunya lebih baik jika memiliki gelar S1 dan S2 yang sesuai. Polri pernah memiliki penyidik uang palsu, hanya dengan memegang uang ia telah tahu mana uang yang palsu. Ada yang tangguh dalam menginterogasi tersangka sampai 10 jam atau lebih tanpa kekerasan sehingga si tersangka tanpa disadari mengungkapkan seluruh perbuatannya.

KUHAP Suatu “Karya Agung”
KUHAP yang mengubah total Herziene Inlans Reglement (HIR) yang berlaku sejak Hindia Belanda yang jelas dibuat untuk kepentingan pemerintah kolonial, juga dengan “exhorbintante rechten” dari Gubernur Jenderal, yang dapat membuang orang ke Boven Digoel, dan lain-lain tanpa proses. Resident adalah “Hoofd der Gewestelijke Recherche” dan Jaksa  memiliki wewenang penyidikan sama dengan penyidik polisi. Procureur Generaal adalah pimpinan dari “rechts politie”.
Penyempurnaan RUU KUHAP yang disiapkan oleh tiga pejabat terkait waktu itu, Menteri Kehakiman Alm. Mudjono, Jaksa Agung Alm. Ali Said dan Kapolri Awaloedin Djamin tanpa menonjolkan institusi masing-masing, berpegang pada profesionalisme, perlindungan hak asasi manusia dan transparansi. Penyidik, penuntut umum dan hakim (juga penasehat hukum) harus profesional, berdasarkan pendidikan, pengalaman, serta kode etik profesi masing-masing. Pembagian tugas antara penyidik, penuntut umum dan hakim adalah agar terdapat “integrated criminal justice system” (sistem peradilan pidana terpadu) dan juga adanya horizontal coordination dan control.
Untuk lebih melindungi hak asasi manusia syarat-syarat dalam penyidikan dipersukar dalam KUHAP, seperti pembuktian yang cukup, batas waktu penahanan dan transparansi waktu pemeriksaan (within sight and within hearing), hak tersangka didampingi penasehat hukum, dan lain-lain. KUHAP bahkan lebih baik dari hukum acara pidana dari banyak negara.
Jaksa tidak lagi memiliki wewenang penyidikan umum (algemene opsporings bevoegdheid) seperti penyidik Polri dan disepakati dalam masa transisi Jaksa masih akan menyidik selama dua tahun setelah KUHAP diundangkan dan ini juga terbatas untuk kasus kejahatan ekonomi (korupsi). Seperti dimaklumi kejaksaan melanjutkan wewenang penyidikan korupsi sampai sekarang. Dengan demikian apabila KUHAP hanya menyebut penyidik Polri sebagai penyidik umum dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk bidang-bidang teknis tertentu, maka sekarang terdapat beberapa instansi yang memiliki pejabat penyidik, yaitu penyidik Polri, PPNS dari beberapa instansi, Kejaksaan dalam penyidikan korupsi, penyidik TNI-AL seperti yang diatur dalam UU Perikanan, dan KPK dengan penyidik yang diperbantukan dari Polri.
KUHAP menugaskan Polri untuk mengkoordinir dan mengawasi PPNS dan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditambah dengan tuga memberikan pembinaan teknis kepada PPNS. Sekarang antara instansi yang memiliki pejabat penyidik koordinasinya kurang baik, sehingga Polri yang juga ditugaskan untuk melaksanakan Pusat Informasi Kriminal Nasional kurang berjalan sebagaimana diharapkan karena data dari instansi tersebut di atas tidak disampaikan kepada Pusat Informasi Kriminal Nasional yang penting dalam perencanaan pencegahan kejahatan. Prof. Dr. Jumly Assidhiqie pernah mengusulkan “perampingan lembaga penyidikan” yang penulis tanggapi dengan istilah “penyempurnaan” serta koordinasi penyidikan sebab semua wewenang tersebut diatur dengan undang-undang.

Independensi Struktural dan Independensi Fungsional
Penulis pernah diundang oleh Kejaksaan Agung dalam suatu pertemuan membahas “independensi kejaksaan”. Pertemuan dihadiri Jaksa Agung Abdurrachman, para Jaksa Agung Muda dan para pakar dari berbagai instansi. Penulis mengatakan agar diperhatikan perbedaan antara “independensi struktural” dan “independensi fungsional”. Kejaksaan seperti Polri secara struktural berada di lingkungan eksekutif dan berada di bawah Presiden. Jadi, struktural tidak independen. Tetapi, penyidikan, penuntutan dan peradilan secara fungsional adalah “independen”. Penyidik dalam melaksanakan tugasnya adalah independen dan tidak boleh ada intervensi dari Kapolri maupun Presiden sekalipun. Pimpinan penyidik mengawasi dan bila perlu memberikan dukungan teknis. Demikian juga Jaksa di Kejaksaan yang ditugaskan sebagai penuntut umum dan penyidik adalah independen secara fungsional, seperti juga dengan hakim di pengadilan. Hakim berada di lingkungan yudikatif secara struktural, sedangkan penyidik dan penuntut umum berada struktural di lingkungan eksekutif.
Bila penyidik di lingkungan Polri sendiri secara fungsional adalah independen, maka penyidik Polri yang diperbantukan kepada KPK secara fungsional juga independen. Pimpinan KPK juga tidak boleh melakukan intervensi (menyuruh tangkap seseorang atau melepaskan tahanan). Pimpinan wajin mengawasi dan bila perlu memberikan dukungan teknis. Bila demikian, apa ada “conflict of interest” penyidik Polri yang diperbantukan pada KPK? Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebenarnya tidak ada. Yang perlu diperjelas adalah tata cara perbantuan dan penarikan para penyidik Polri yang diperbantukan, juga kualifikasi dan karirnya.
Apakah tidak lebih baik jika KPK memiliki penyidik sendiri? Hal ini menyangkut UU tentang KPK. Apakah KPK merupakan komisi yang “ad-hoc” atau akan merupakan lembaga permanen? Mengenai perubahan kelembagaan KPK, fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawabnya perlu revisi UU KPK yang ada sekarang. Ini memerlukan pengkajian yang mendalam tidak hanya sekedar “studi banding” dengan Hongkong, misalnya, yang merupakan pemerintahan kota-pulau yang kecil.
Apakah KPK akan terus ditugaskan dalam penanggulangan korupsi dan pencegahan korupsi? Pencegahan korupsi tentu tidak cukup hanya dengan “mempermalukan” dan “pemiskinan” koruptor, yang memang diharapkan memberi dampak preventif. Memberi dampak preventif hanya sebagian kecil dan pencegahan korupsi yang cukup luas dan kompleks karena menyangkut hampir seluruh bidang administrasi negara dan administrasi pemerintahan.

Institution Building
Dalam penyempurnaan administrasi negara menyeluruh (overall administrative reform), sekarang lebih dikenal dengan istilah “reformasi birokrasi”, salah satu yang terpenting, tetapi juga masuk yang tersukar adalah “institution building”, dapat diterjemahkan dengan “pembangunan institusi”. Sejak puluhan tahun yang lalu, para pakar administrasi negara di Amerika Serikat, antara lain Phillip Selznick menyatakan organisasi harus dibangun menjadi institution. Institution kata mereka adalah “organization” yang “infused with values” yang kemudian melahirkan budaya organisasi. GBHN pernah merumuskan “aparatur negara yang cakap, bersih dan berwibawa” pada tahun 70-an dan 80-an, tetapi tidak terlaksana sama sekali.
Bermacam-macam semboyan, cita-cita yang diharapkan oleh instansi pemerintah, baik secara keseluruhan seperti empat pilar pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, atau kode etik serta semboyan yang dirumuskan oleh suatu instansi. Polri, misalnya punya Tribrata dan Catur Prasetia. Kapolri Timur Pradopo menegaskan “Peayanan Prima, Anti Korupsi dan Anti Kekerasan”. Semuanya memerlukan program pelaksanaan yang jelas, suatu “action plan”, yang mengatur who is doing what, when, and how.
Negara dan pemerintahan dewasa ini telah menjadi “over organized”. Lihat jumlah lembaga negara, lihat jumlah staf di sekeliling Presiden, jumlah komisi yang hampir 100 jumlahnya, dan sebagainya. Keberadaan organisasi belum menjamin tercapainya suatu tujuan, apalagi secara efisien dan efektif, tanpa adanya perencanaan dan pembangunan organisasi menjadi institusi.
Bila menjadikan KPK sebagai lembaga yang permanen dengan penyidik sendiri, sebaiknya didahului dengan pengkajian yang memperhitungkan semua segi keterikatan dengan instansi lain, dan sebagainya agar benar-benar dapat memberantas korupsi di Indonesia secara lebih berdaya guna dan berhasil guna. Juga gagasan agar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai alat bukti, agar juga merupakan bagian dari pengkajian tentang KPK. Penulis pernah menyarankan agar pemeriksa BPK diberi tambahan pengetahuan hukum pidanan, KUHAP dan penyidikan, sehingga laporan BPK juga memberi petunjuk untuk ditindaklanjuti ke penyelidikan dan penyidikan oleh penegak hukum.

Comments

  1. Karya agung...? Produk orba, alat penguasa, sumber carut marut penegakan hukum selama ini

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seri-Taspen: SEJARAH, JATI DIRI DAN PROBLEMATIKA

Kekerasan di Perkotaan

Masyarakat dan Judi (1)