Reserse Kriminal Polri dan Koordinasi antar Lembaga Penyidikan
Pendahuluan
Akhir-akhir
ini marak di media cetak dan elektronik tentang wewenang penyidikan KPK dan
Polri dalam kasus simulator Korlantas Polri yang dianggap merupakan “rivalitas”
dan anggapan bahwa penyidikan oleh KPK lebih “obyektif”, sedang penyidikan oleh
penyidik Polri akan terdapat “conflict of
interest”. Dipaparkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, MoU KPK, Kejaksaan
dan Polri, serta KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Bagian ini akan menyampaikan harus adanya “Koordinasi”
antar lembaga penyidikan, di samping dilihat dari segi hukum, tetapi juga dari
segi administrasi negara atau manajemen pemerintahan.
Reserse Kriminal Polri
Istilah
“reserse kriminal” yang digunakan sampai sekarang di Indonesia berasal dari
istilah “criminele recherche” zaman
Hindia Belanda. Istilah “recherche”
berasal dari bahasa Perancis. Dalam bahasa Inggris istilahnya adalah “criminal investigation” dan sekarang
lebih dikenal dengan istilah “scientific
criminal investigation”.
Perlu
diingat bahwa reserse kriminal merupakan bidang yang penting dari fungsi utama
kepolisian yaitu Represif. Fungsi utama represif adalah fungsi yang
dilaksanakan setelah tindakan kriminal terjadi. Kasus kriminal atau kejahatan
dapat bersifat sederhana, tetapi dapat pula bersifat rumit sekali. Menduga dan
melacak bahwa telah terjadi kejahatan juga merupakan salah satu tugas reserse
yang memerlukan kemampuan teknis profesional tersendiri. Semua ini termasuk
ruang lingkup “scientific criminal
investigation”, dari pengamanan dan penanganan Tempat Kejadian Perkara
(TKP), mencari dan mengumpulkan informasi, membuntuti yang diduga terlibat, pengumpulan
barang bukti, dan lain-lain merupakan tahap penyelidikan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Bila terdapat bukti pendahuluan yang cukup, penyelidikan
akan ditingkatkan menjadi penyidikan.
Seperti
yang sejak lama saya nyatakan, “penyidikan adalah wewenang untuk melanggar hak
asasi secara sah”. karenanya harus diatur dengan Undang-Undang karena UU
ditetapkan oleh DPR yang mewakili rakyat. Rakyat bersedia sebagian haknya
diserahkan kepada Negara untuk melindungi haknya yang lebih luas (ingat: “Le Conrat Social”). Wewenang penyidikan
mencakup antara lain memanggil, menangkap, menahan, menggeledah, menyita, dan
lain-lain yang pada prinsipnya di Negara demokrasi harus dilakukan secara
transparan kecuali bila mengganggu penyidikan yang sedang berjalan. Perkara-perkara
yang “kecil: seperti pencurian sandal jepit, pencurian beberapa buah kakao,
masuk bidang represif tetapi dapat diselesaikan penyelidik, misalnya dengan
memberi peringatan, dan sebagainya tanpa melanjutkan ke penuntutan. Ini
termasuk diskresi yang non yustisiil.
Fungsi
utama kepolisian yang sebenarnya lebih penting daripada Represif adalah
Preventif dan Pre-emptif (dahulu dikenal dengan Binmas). Preventif langsung
dilakukan oleh anggota kepolisian, khususnya oleh unsur Polri yang disebut
Sabhara atau “general duty police”.
Karena pentingnya preventif makan general
duty police merupakan “back bone”
kepolisian di semua negara. Walaupun demikian kepolisian, termasuk Polri ±50%
mengandalkan partisipasi masyarakat, yang di Indonesia dikenal dengan istilah
“pengamananswakarsa”, baik di sektor modern yang dikenal dengan istilah “industrial security”. Banyak perguruan
tinggi di negara maju telah mempunyai program Master dalam Security Management. Untuk teknologi sekuriti telah ada program
Doktor (S3) seperti Edith Cowan University, Perth, Australia.
Fungsi
utama pre-emptif (binmas) yaitu agar anggota masyarakat taat dan patuh hukum,
tidak meruppakan tugas Polri saja. Polri bertugas ±20% dan 80% oleh lain-lain
instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan. Preventif dan Pre-emptif pun
membutuhkan koordinasi antar lembaga pemerintahan, organisasi kemasyarakatan,
perusahaan, dan sebagainya.
KUHAP
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ketika diundangkan pada tahun 1981 (UU
No. 8 Tahun 1981) dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang menggantikan HIR (Herziene Inlands Reglement). Draft final
RUUnya merupakan hasil musyawarah antara tiga pejabat, yaitu Menteri Kehakiman
(alm. Mudjono), Jaksa Agung (alm. Ali Said) dan Kapolri (Awaloedin Djamin).
Musyawarah dilakukan secara informal tanpa menonjolkan lembaga dan jabatan
masing-masing (yang dijabat hanya dalam waktu terbatas), tetapi menekankan
pentingnya kepastian hukum terutama di bidang penyidikan. Poin pentingnya
adalah penyidik harus profesional dan bertanggung jawab atas penyidikannya.
Ketika itu banyak sekali pejabat di lapangan yang menangkap, menahan dan
menyita barang seperti anggota Polsek, Koramil, Hansip, pejabat Pemda sampai
Kodim, Korem dan Kodam, Jaksa, dan lain-lain sehingga tidak ada kepastian hukum.
“Bagaimana nasib anak cucu kita nanti apabila hal demikian terus berlanjut?”
Inilah
salah satu contoh dalam pertemuan koordinasi horizontal antara pejabat Menteri
Kehakiman, Jaksa Agung dan Kapolri. Dengan jiwa besar Jaksa Agung Ali Said rela
menghapus wewenang penyidikan kejaksaan dan menyepakati penyidik Polri
merupakan penyidik umum (algemene
opsporings bevoegdheid) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki
wewenang penyidikan terbatas (beperkte
opsporings bevoegdheid) dan umumnya bersifat teknis. Karena pada zaman
Hindia Belanda, PPNS juga dikenal sebagai technische
politie (Pasal 6 KUHAP). Penyidik Polri sekurang-kurangnya berpangkat
Pembantu Letnan Dua dan PPNS sekurang-kurangnya golongan IIB (KUHAP). KUHAP menugaskan Polri untuk mengkoordinasikan
dan mengawasi PPNS. UU No. 2 Tahun 2992 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia ditambah dengan pembinaan teknis.
Melanjutkan
sistem Hindia Belanda, Indonesia menganut unifikasi dan kodifikasi hukum.
Amerika Serikat sebagai negara federal yang tumbuh dari bawah (county and city) memiliki beraneka ragam
hukum pidana negara-negara bagian. Kejahatan federal, terutama ditangani oleh Federal
Bureau of Investigation (FBI). Ada Drug Enforcement Agency (DEA) untuk
kejahatan narkoba. Ada Secret Service untuk pengawal Presiden. Jadi, adalah
kurang tepat apabila membandingkan kepolisian dan sistem peradilan pidana kita
dengan sistem peradilan pidana Amerika Serikat.
Yang
perlu diperhatikan setelah adanya UU Otonomi Daerah yang mengutamakan otonomi
tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya) dan menghapus Kanwil dan Kandep
Departemen-Departemen (kecuali Departemen Pertahananan dan Keamanan yang
sekarang disebut Kementerian Pertahanan dan Keamanan dengan TNI-AD, TNI-AL,
TNI-AU, Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Keuangan
dan Departemen Agama), maka sekarang bagaimana dengan PPNS dari masing-masing
departemen? Apakah wewenang penyidikan terbatas dapat diotonomikan? Bila tidak,
bagaimana kelanjutan PPNS tersebut? Masalah ini jarang dibicarakan apalagi
dicari penyelesaiannya.
Sebagai
koordinator, pengawas dan pembina teknis PPNS, seyogyanya Polri memprakarsai
pemecahan masalah tersebut, bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian
PAN dan Reformasi Birokrasi, sebab ini terkait dengan bagaimana Polri
melaksanakan tugas koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap PPNS
itu dewasa ini, dari tingkat Mabes, Polda dan Polres, seperti yang ditentukan
KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bareskrim
Polri seyogyanya mengadakan inventarisasi dan evaluasi kenyataan PPNS dan
pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis. PPNS bukan berada di
bawah Polri, karena itu diperlukan koordinasi horizontal.
Bila
KUHAP hanya mengenal penyidik Polri dan PPNS, sekarang telah bertambah dengan
penyidik Kejaksaan, TNI-AL (UU Perikanan) dan KPK. Bagaimana koordinasi antar
lembaga-lembaga penyidikan tersebut? Dari lima lembaga tersebut, tiga di
antaranya menangani kasuskorupsi, yaitu Polri, Kejaksaan dan KPK.
Reskrim Polri dan Koordinasi antar Lembaga
Penyidikan
Akhir-akhir
ini kerap diberitakan di media cetak dan elektronik tentang ketidakserasian
hubungan KPK dan Polri terkait kasus simulator Korlantas Polri. Koran Kompas edisi Senin, 13 Agustus 2012
halaman 8 menyampaikan jejak pendapat “Relasi Lembaga Negara Terhambat”.
Menjawab pertanyaan “Menurut Anda baik atau burukkah relasi kerja antar lembaga
negara berikut ini?”, berikut jawaban responden:
KPK
– Polri 21.7% baik 69.6% buruk 8.7% tidak tahu
KPK
– DPR 25.5% baik 64.2% buruk 10.3% tidak tahu
KPK
– Kejagung 39.7% baik 40.9% buruk 19.4% tidak tahu
KPK
– MA 41.1% baik 35.1% buruk 23.8% tidak tahu
Tentang penyebab utama
kondisi hubungan lembaga negara tersebut adalah 42.8% etika/ego aparat
penyelenggara negara, 26% kepemimpinan, 22.9% sistem/aturan. Jajak pendapat Kompas ini menunjukkan kepercayaan
masyarakat kepada KPK yang tertinggi (43%). Hal ini dipengaruhi pula oleh
pemberitaan di media massa.
Koordinasi
adalah satu fungsi manajemen yang penting di semua organisasi, perusahaan,
pemerintahan, universitas, rumah sakit, organisasi sosial, dan lain-lain. Hal
yang wajar dalam manajemen adalah adanya koordinasi horizontal fungsional, di
mana si pejabat tahu berkoordinasi dengan siapa, tentang apa, dan kapan.
Selain
koordinarsi internal organisasi yang menjadi fungsi manajemen (pimpinan),
koordinasi eksternal dengan organisasi lain yang terkait karena fungsi dan
tugasnya merupakan syarat keberhasilan. Setiap Kepala harus mampu
mengkoordinasikan unit-unit dan pejabat-pejabat yang langsung berada di
bawahnya. Ini dinamakan koordinasi vertikal. Dalam organisasi pemerintahan,
arti penting dari koordinasi horizontal antar instansi dan lembaga terutama
pada tingkat Menteri adalah agar menghasilkan kebijakan (publik)yang konsisten
satu sama lain (mutually consistent
policies) dan mencapai tujuan pemerintah secara efisien dan efektif (UUD
1945 sebelum amandemen, mencantumkan dalam Penjelasan para Menteri “bekerja
sama seerat-eratnya” di bawah pimpinan Presiden).
Koordinasi
didasarkan pada peraturan perundang-undangan, manuals, MoU, dan sebagainya dan memerlukan kesatuan pengertian (common understanding) dari rumusan
peraturan perundang-undangan, manuals,
atau MoU. Dalam praktiknya, keberhasilan koordinasi tergantung pada kemampuan
komunikasi (formal dan informal) serta hubungan antar manusia (human relations) pejabat, sehingga
perbedaan pendapat atau beda pengertian dapat diatasi.
Antara
KPK dan Polri hubungan informal ini perlu. Seperti yang dikatakan Presiden dan
Menko Polhukam, tujuannya adalah agar terdapat sinergi antar dua lembaga yang
sama-sama memberantas korupsi. Harus ada titik tolak yang sama, seperti
pemberantasan korupsi menjadi prioritas bersama, tidak pandang bulu (equality before the law) sehingga tidak
ada saling curiga dan conflict of
interest; transparansi, saling membantu, dan lain-lain.
Koordinasi
tidak hanya bergantung dari peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi juga
dari hubungan pribadi antar pejabat dan tentu juga karakter pejabat itu
sendiri. Tidak ada penonjolan ego aparat, tidak ada kalah dan menang, yang
menang adalah pemberantasan korupsi sehingga kesejahteraan rakyat akan
meningkat. Dalam koordinasi antar lembaga penegak hukum, karena menyangkut
beberapa lembaga seperti Polri, Kejaksaan, PPNS, KPK, Penyidik TNI-AL,
Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, maka diperlukan adanya koordinator,
yaitu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) agar
dapat melancarkan koordinasi antara lembaga-lembaga tersebut.
Penutup
Sekali
lagi keberhasilan koordinasi horizontal fungsional antar lembaga negara,
seperti dalam penyidikan korupsi yaitu Polri, Kejaksaan dan KPK adalah dengan
tidak menonjolkan ego aparat masing-masing, adanya hubungan informal antar
pejabat, tidak ada yang merasa lebih hebat dari yang lain, tetapi mengutamakan
komitmen bersama memberantas korupsi dengan kepastian hukum, tanpa pandang
bulu, transparan, agar tidak mencerminkan adanya rivalitas kelembagaan dan
perebutan wewenang seperti yang terungkap di media massa. Hindari membuat statement di media massa yang dapat
memperuncing suasana. Bicarakan secara informal, tanpa perlu adanya wartawan,
dan sebagainya. Semua ini tergantung dari pribadi dan karakter pejabat-pejabat
yang bersangkutan. Semua harus mendahulukan kepentingan negara dan rakyat di
atas kepentingan lembaga dan pribadi. Tingkatkan komunikasi (face to face dan oral communication) formal dan informal, dengan demikian tidak ada
masalah yang tidak dapat dipecahkan. (*)
Comments
Post a Comment