Pelacuran Saritem yang lebih sakti daripada Satpol PP

Pelacuran Saritem yang lebih sakti dari Satpol PP Bandung

saritem. jerobandung.blogspot.com



Saritem sudah identik dengan Kota Bandung. Sama dengan Pasar Kembang di Yogyakarta dan Gang Dolly di Surabaya, lokalisasi tempat para wanita malam ini bahkan lebih tua dari umur Republik Indonesia.

Lokalisasi ini berada di pusaran pusat kota Bandung yang dihimpit tiga Jalan besar yakni Jalan Gardujati, Jalan Sudirman dan Jalan Kebonjati.

Ratusan perempuan berjejer di sela-sela gang. Mereka memperlihatkan kemolekan tubuh yang kemudian dilakukan tawar menawar untuk memuaskan hasrat pria hidung belang.

Banyak versi sejarah Saritem, ada yang menyebut karena seorang wanita bernama Nyi Sari, si cantik berkulit hitam manis. Kawasan ini mulai berkembang sejak awal 1906. Lebih ramai lagi saat zaman pendudukan Jepang. Di sinilah tempat serdadu Jepang dan pria hidung belang melampiaskan napsunya.

Sudah lama Pemkot Bandung ingin menutup lokalisasi ini. Namun tak juga berhasil. Saritem rupanya lebih sakti dari Satpol PP.

Dulu menurut Perda Kota Bandung No 11/1995, efektif mulai November 2006 semua kompleks lokalisasi akan mulai dihapuskan. Semua kegiatan lokalisasi Saritem akan diakhiri pada 17 April 2007 pukul 24.00 WIB dan Saritem akan ditutup pada 18 April 2007.

Nyatanya hingga hari ini Saritem masih tegak berdiri. Masjid Besar At Taubah di muka jalan itu tak berdaya menahan transaksi seks yang terjadi tiap malam.

Budi (32) salah satu calo PSK di Saritem mengaku menyediakan aneka macam wanita. "Ada yang Rp 150 ribu, Rp 200 ribu, bahkan Rp 500 ribu," katanya pada merdeka.com beberapa waktu lalu.

"Kalau yang Rp 500 ribu mah dijamin muda dan seger kang. Jiga artis (kaya artis-red)," kilahnya.

Dia pun mengaku tak takut meski secara resmi lokalisasi ini sudah resmi ditutup. "Aman kang. Moal aya nu ngagerebeg (tidak ada yang berani gerebek)," terangnya.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengakui tak mudah menutup Saritem. Namun Ridwan mengaku sudah punya program untuk mengatasi pelacuran.

"Saritem saya laksanakan sesuai Perda. Lokalisasi kan sudah diputuskan untuk tidak ada. Sehingga secara tata ruang kegiatan itu tidak boleh ada lagi. Gagasan yang paling baik adalah membuat fungsi baru. Seperti lapangan, dan ruang terbuka lainnya," kata Ridwan Kamil di Bandung.

Cara itu diakui dia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi keberadaan Saritem seolah menjadi identitas Bandung yang keberadaannya sudah ada sejak abad ke-19.

"Tidak mudah memang, tapi asalkan tahu bahwa pada dasarnya semua itu memiliki umur, mungkin ini harus memiliki fungsi baru," ujarnya.

Permasalahan Saritem, menurutnya menyangkut hajat orang banyak. Ribuan PSK masih beroperasi di tempat tersebut. Pria yang akrab disapa Emil telah menyiapkan konsep 'Jaga Lembur' atau dalam bahasa Indonesia berarti menjaga kampung halaman.

"Jadi nanti setiap lembur bisa menghasilkan produk kreatif, PSK di sana bisa diberdayakan, karena PR besar saya ada 500 ribu orang miskin yang harus saya bantu. Gerakan satu kampung satu produk kreatif, PSK masuk dalam konstalasi itu," tandasnya.

Sensus tahun 2010, tercatat ada sekitar 625 PSK dan germo yang beroperasi di Saritem. Jumlah ini diduga sedikit berkurang.

Dewi (27), salah seorang PSK beberapa waktu lalu mengaku sulit meninggalkan profesi ini. Alasan tak punya keahlian dan penghasilan yang cukup besar membuat mereka sulit beralih profesi.

Dewi mengaku memasang tarif Rp 300.000 sekali kencan. Namun dia hanya mendapat setengah karena diberikan pada germo untuk sewa kamar dan lain-lain. Semalam dia bisa melayani 3-5 pelanggan.

"Satu bulan rata-rata Rp 5-7 juta," kata Dewi. (www.merdeka.com)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)