MENINGKATKAN CITRA DAN WIBAWA POLRI MENGHADAPI PEMILU 2014
Oleh Prof. Dr.
Awaloedin Djamin
Pendahuluan
Berita-berita
di media massa baik cetak maupun elektronik, penyataan beberapa tokoj
masyarakat, pengamat LSM berkaitan dengan beberapa peristiwa, sangat
memprihatinkan, seolah-olah semakin menyudutkan Polri. Kasus-kasus, seperti
penyerangan Polres Oku, Lapas Cebongan, kerusuhan dan pengrusakan beberapa
kantor Polres dan Polsek oleh massa, pemberitaan kasus korupsi simulator SIM,
kasus Susno Duadji, video wartawan Belanda di Bali, tentu membuat semakin
terpuruknya citra dan wibawa Polri di tengah masyarakat. Tahap pertama Grand Strategy Polri yaitu Trust Building 2005-2010, seolah-olah
tak ada dampaknya sama sekali. Sekarang Grand
Strategy Polri memasuki tahap “Partnership
Building”, yang juga belum begitu jelas penerapannya.
Pada
tanggal 14 Mei 2013 di harian Kompas
halaman 6, Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK menyarankan terutama
berkaitan dengan kasus simulator dan kasus Susno Duadji agar Polri “dibebaskan”
dari penanganan kasus korupsi dan urusan SIM dan STNK. Selama ini memang telah
banyak suara untuk “mempreteli”
tugas-tugas dan wewenang Polri seperti yang diatur dengan UU No. 2 Tahun 2002.
Keberhasilan Polri menangani terorisme, narkoba dan kejahatn transnasional dan
kejahatan konvensional (dalam penanganan terorisme dan narkoba, Polri dipuji
oleh negara-negara lain), seolah-olah hilang dalam citra masyarakat ditelan
oleh kasus-kasus yang negatif.
Pemilu
2014 akan merupakan tantangan berat bagi Polri dalam pengamanannya, agar
benar-benar berlangsung lancar tanpa kekacauan dan pelanggaran dari massa
kampanye sewaktu pencoblosan sampai perhitungan suara. Untuk itu semua, perlu
usaha peningkatan citra dan wibawa Polri.
Tentang Citra dan Wibawa Polri
Citra
dan wibawa suatu institusi seperti Polri, ada dalam persepsi dan sanubari
masyarakat dapat berasal dari media massa dan dari pengalaman masyarakat
sendiri. Citra dan wibawa tidak bisa dipaksakan dan tidak ada “obat mujarab”
yang mudah untuk dipakai. Citra dan wibawa suatu institusi adalah penilaian
masyarakat atas kinerja, penampilan, sikap dan perilaku anggota institusi yang
bersangkutan, terutama pejabat-pejabat pimpinannya dari pusat sampai daerah.
Mengamati,
membahas, dan mengusahakan peningkatan citra dan wibawa Polri bukan hanya
menjadi perhatian sekarang ini saja. Hampir 35 tahun yang lalu, tahun 1978
dalam upacara serah terima jabatan Kapolri, Menhankam/Pangab menyatakan bahwa
menurunnya citra dan wibawa Polri antara lain karena menurunnya kemampuan
teknis profesional khas kepolisian dan menurunnya pemberian pelayanan terhadap
masyarakat yang membutuhkan. Pengamatan Menhankam/Pangab bahwa sebab-sebab yang
paling mendasar adalah faktor-faktor sikap mental dalam pelayanan masyarakat
dan kemampuan teknis profesional khas kepolisian berhubungan langsung dengan
tugas pokok Polri. Menhankam/Pangab juga menegaskan bahwa
“...
melalui pengenalan kembali fungsi, peranan dan tugas Polri secara benar,
kemudian diimplementasikan dalam sistem pendidikan dan latihannya, akan
merupakan jalan yang paling tepat ke arah keberhasilan kita meningkatkan
kewibawaan Polri...”
Pengamatan dan perintah
harian Pangab ini diberikan waktu Polri merupakan bagian dari ABRI pada masa
Orde Baru.
Berdasarkan
ungkapan Menhankam/Pangab, juga Presiden, Polri ditugaskan untuk membenahi
seluruh tugas pokoknya yang harus serasi dengan susunan organisasinya, dengan
sistem personilnya, sistem diklatnya, bahkan juga hubungan serta tata kerjanya,
bidang materiil/logistik dan sebagainya, sehingga pada hakekatnya Polri
diperintahkan agar melakukan pembenahan menyeluruh (overall police administrative reform). Itulah sebabnya, penulis
selaku Kapolri ketika itu segera mengadakan pengkajian/penelitian (diagnosa)
dan kemudian merumuskannya dalam buku “Pola Dasar Pembenahan Polri” dan
dikeluarkan sebagai Skep Kapolri No. Pol. SKEP/02/1/1980 tanggal 1 Januari 1980
yang harus dijabarkan oleh seluruh unsur dan jajaran Polri. Ketika itu belum
ada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Belum ada
KUHAP. Yang ada adalah UU No. 13 Tahun 1961 dan HIR (Herziene Inlands Reglement). Namun, pola pembenahan itulah yang
digunakan antara lain untuk menyatakan bahwa walaupun Polri adalah bagian dari
ABRI, Polri bukan Angkatan Perang; kemampuan teknis profesional Polri dan Angkatan
Perang (sekarang TNI) juga berbeda. Yang sama adalah Polri dan TNI sama-sama
pejuang dan memiliki sikap militansi yang sama.
Sejak
1999 Polri dipisahkan dari ABRI, soliditas TNI dan Polri harus terus dijaga
dengan program-program yang jelas, seperti menyesuaikan lasitrada dan
pelantikan perwira muda tamatan Akademi AD, AL, dan AU dengan Akpol, bahkan
disarankan agar latihan dasar kemiliteran selama tiga bulan digabung di Akademi
Militer, Magelang. Juga kebijakan Presiden menggabungkan penutupan rapim TNI
dan Polri, kesamaan tanda pangkat, adanya Tamtan, Bintara dan Perwira perlu
terus dipelihara. PEPABRI (persatuam Purnawirawan TNI dan Polri) memakai motto
“Sekali Prajurit Tetap Prajurit, Sekali Bhayangkara Tetap Bhayangkara, Sekali
Pejuang Tetap Pejuang”.
Tentang
kemampuan teknis operasional khas kepolisian, terutama dari unsur-unsur
operasional Polri, yaitu Sabhara, Polantas, Polair, Poludara, Satwa Polri,
Reserse dan Intelijen Keamanan dengan taktik dan teknik yang semakin canggih
memerlukan Pusat-Pusat Pendidikan (Pusdik) Polri yang lebih canggih pula. Tentang
fungsi, tugas pokok, dan tugas-tugas telah diatur secara lebih jelas sejak
tahun 2002 (Era Reformasi), yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, namun penjabaran dan pelaksanaannya masih harus
disempurnakan dan ditingkatkan. Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang arti 1 Juli
1946 lebih ditegaskan, yaitu Hari Lahirnya Kepolisian Nasional Indonesia yang
berada langsung di bawah Presiden. Inilah yang diperingati setiap tahun sejak 1
Juli 1947. Presiden Soeharto dalam penutupan Rapim ABRI tahun 1979 menekankan
sebagai berikut:
“Dengan
meningkatkan pelaksanaan tugas pokoknya, Polri bukan saja akan tetap memiliki
kewibawaan dalam masyarakat, tetapi juga dicintai rakyat. Khusus bagi Polri
diminta agar meningkatkan pelaksanaan tugas pokoknya, terutama dalam membina
dan menumbuhkan keamanan dan ketertiban masyarakat, mecegah dan menindak
pelanggaran hukum berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu Polri harus
bersikap tertib, bertindak tegas dan tepat serta selalu peka dan tanggap dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, khususnya untuk
mendapatkan perlindungan atas ancaman terhadap jiwa, harta benda dan hak-hak
lainnya. Ketertiban dan ketenteraman adalah kepentingan masyarakat dan
kepentingan kita semua. Polri wajib membantu menciptakan ketertiban dan
ketenteraman masyarakat itu. Dengan demikian bukan saja Polri mempunyai wibawa
dalam masyarakat, tetapi juga akan dicintai oleh rakyat.”
Uraian di atas
hendaknya tetap merupakan landasan dan pedoman dalam usaha peningkatan citra
dan wibawa Polri sekarang dan di masa depan.
Meningkatkan Citra dan Wibawa Polri ke depan
termasuk Pengamanan Pemilu 2014
Polri,
seperti halnya seluruh lembaga negara dan lembaga pemeritahan, pertama-tama
harus memantapkan 4 PILAR, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal
Ika. Polri merupakan salah satu lembaga bersama TNI sebagai pengawal utama dari
4 PILAR tersebut. Khusus bagi Polri landasan spiritual adalah Tribrata, Catur
Prasetya, dan Doktrin Polri Tata Tentrem Kerta Rahardja dan landasan
operasional UU No. 2 Tahun 2002, KUHAP dan KUHP.
Citra
dan wibawa Polri tergantung pada kinerja Polri serta penampilan sikap dan
perilaku seluruh anggota Polri, terutama di lapangan yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat. Karena itu dalam Sistem Kepolisian Negara RI di mana seluruh
unsur baik dalam manajemen operasional maupun dalam manajemen pembinaan,
merupakan satu keseluruhan yang saling terkait, saling mempengaruhi, maka
penanganan dan penyempurnaannya tidak boleh terkotak-kotak. Penanganan
terkotak-kotak, misalnya hanya susunan organisasi atau hanya lembaga pendidikan
dan latihan, dan sebagainya bahkan dapat menimbulkan dampak yang lebih jelek
dari sebelumnya.
Dalam
usaha penyempurnaan menyeluruh, perlu pula dipahami sejarah, baik sejarah Polri
secara keseluruhan, maupun sejarah masing-masing unsur yang akan disempurnakan.
Misalnya, adanya Polwil di Jawa (sebelum dibubarkan) adalah Polwil yang
mencakupi wilayah Residensi sejak zaman Hindia Belanda (lihat nomor mobil yang
berdasarkan karesidenan). Di luar Jawa semua residensi sudah menjadi Provinsi.
Bahkan beberapa Kabupaten telah menjadi provinsi, seperti Gorontalo,
Bangka-Belitung, dan sebagainya. Di pulau Jawa, baru Banten yang menjadi
provinsi.
Bandingkan,
misalnya Polwil Malang dan Polda Kepulauan Riau, Polwil Malang lebih besar. Ini
bukan soal kepangkatan Kapoldanya saja, tetapi “span of control” dari Kapolda Jabar, Jateng dan Jatim yang sangat
luas, bila langsung membawahi Polres. Demikian pula di bidang SDM, hilangnya
Tamtama adalah karena “salah interpretasi” anggota Polri yang harus tamatan SMA
dan dulu PNS tamatan SMA adalah golongan II dan dulu golongan II PNS sama
dengan Bintara. Sekarang, hampir 90% anggota Polri berpangkat Bintara. Padahal
sejak tahun 1999 setelah Polri keluar dari ABRI, dengan UU No. 43 Tahun 1999,
Pegawai negara RI terdiri atas PNS, Anggota TNI, dan Anggota Polri. Jadi, tidak
ada hubungannya dengan PNS dan pangkat Tamtama, Bintara, dan Perwira sudah ada
dengan berbagai sebutan sejak Robert Peel mengatakan bahwa kepolisian
diorganisir seperti militer.
Pembinaan
kemampuan kepemimpinan Polri, yangmengutamakan kopmando kewilayahan (beda
dengan TNI), sejak dulu telah mengatur pendidikan kepemimpinan manajerial
Polri, yaitu Akpol untuk tingkat supervisory level police management dengan
pola Kapolsek; PTIK untuk middle police management capability dengan pola
Kapolres dan Sespim untuk high level police management capability baik sebagai
komandan/pimpinan di lingkup Polda dan Mabes atau sebagai Staff yang memimpin
unit fungsional. Sebab itu dulu namanya “Command
and Staff College”.
Semangat
kejuangan sikap mental sebagai pengalaman Tribrata dan Catur Prasetya harus
diajarkan di semua lembaga pendidikan Polri dan pemimpin sebagai panutan.
Pembinaan sikap mental, kemampuan teknis profesional khas kepolisian dapat
dimulai segera dengan mengeluarkan Pedoman, Juklak, dan Junis yang jelas agar
dapat diawasi pelaksanaannya. Ini semua akan tercermin dari mutu pelayanan
masyarakat, dari patroli, penerimaan laporan dari masyarakat, transparansi
penyidikan dan Polantas, penanganan unjuk rasa dari yang damai (crowd control) sampai huru hara yang
anarkis (riot control), dan
lain-lain. Citra dan wibawa Polri tergantung dari kinerja Polri yang
profesional, serta sikap dan kecepatan memberi pelayanan kepada masyarakat.
Untuk
mengimbangi pemberitaan dan suara-suara sumbang mengenai Polri, kemampuan
Hubungan Masyarakat harus ditingkatkan dari Mabes sampai ke Polres. Hubungan
Masyarakat tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Kadiv Humas di Mabes
dan di daerah-daerah, tetapi sebenarnya setiap anggota Polri, terutana pejabat
pimpinan di daerah adalah “public
relation officer” yang dapat meningkatkan citra dan wibawa Polri. Tugas dan
kemampuan Hubungan Masyarakat atau Public
Relations jauh lebih luas dari Dinas Penerangan, yang umumnya reaktif.
Humas adalah pro aktif dan unit utama organisasi dalam membina citra. Unit ini
merupakan pembantu penting dari Pimpinan. Humas, misalnya, mengatur pertemuan
Kapolri dengan Chief Editor media massa dengan pimpinan LSM dan aktif memberi
bahan dalam pertemuan dengan DPR.
Beberapa Saran Jangka Pendek
Di
samping hal-hal yang telah disinggung di atas, maka disarankan pula agar
Irwasum dan Propam Polri harus lebih aktif memberi masukan kepada Kapolri bila
ada indikasipenyalahgunaan wewenang oleh anggota Polri, terutama pejabat
pimpinan di pusat dan daerah. Intelkan juga harus secara teratur memberi
masukan kepada Kapolri tentang perkembangan keadaan kemtibmas di daerah-daerah
serta kerawanannya. Dalam kaitan ini Polres harus seperti dulu membuat Analisa
Daerah Operasi (ADO) agar dapat diadakan pencegahan dini dan bahan dalam
pembinaan masyarakat. Polres disiapkan sebagai Komando (Kesatuan) Operasional
Dasar (KOD) dengan memberi delegasi wewenang yang lebih luas dalam mengaturr
dan memimpin kesatuannya (Polsek, Pospol, Babinkamtibmas, community policing, dan lain-lain). Sesuai keadaan lingkungan
Polres, Kapolres mengatur kembali ke tiga ploeg (shift) system dengan patroli, mana yang jalan kaki (foot patrol), mana dengan sepeda, mana
dengan sepeda motor, mana yang dengan roda empat. Pemilihan Kapolres harus berdasarkan
kompetensi dan kapasitas.
Dalam
pemberian berbagai perizinan harus jelas syarat-syarat dan prosedurnya secara
transparan. Demikian juga penyidikan dan anggaran sedapat mungkin harus juga
transparan dan akuntabel. Ini syarat dari “good
governance”. Disarankan, forum koordinasi fungsional dan konsultasi
MAHKEHJAPOL (Mahkamah Agung, Kementerian Kehakiman (sekarang hukum), Kejaksaan
Agung dan Polri) dapat dihidupkan kembali, juga untuk menghindarkan kesan
rivalitas antar aparat penegak hukum. Hubungan Polri dan Kompolnas agar
ditingkatkan frekuensinya dan peran pengawasan dan perumusan kebijakan mengenai
Polri oleh Kompolnas akan lebih efektif. Pimpinan Polri disarankan meningkatkan
komunikasi dengan para purnawirawan senior, baik yang tergabung dalam PP Polri
ataupun anggota DPR dan lain-lain untuk terus memperkokohwsprit d’corps anggota
Polri yang aktif dan sudah purnawirawan. (Semboyan PP Polri adalah TETAP
SETIA). Peran penasehat ahli Kapolri agar lebih dimanfaatkan. Hubungan Polri
dengan Polsus, PPNS, bentuk-bentuk pengamanan swakarsa (pasal 3 UU No. 2 Tahun
2002) dan dengan instansi terkait, juga TNI (pasal 41 UU No. 2 Tahun 2002)
hendaknya diprioritaskan dalam Partnership
Building, yaitu Tahap II Grand
Strategy menuju “Strife for
Excellence”.
Penutup
Peningkatan
citra dan wibawa Polri dalam jangka pendek menghadapi Pemilu 2014 sangat sukar.
Walaupun demikian, harus dimulai dari sekarang dengan langkah-langkah yang
diprogramkan secara baik. Penyempurnaan administrasi Polri jangka sedang baik
manajemen operasional maupun manajemen pembinaan harus ditangani sebagai suatu
sistem dan menyeluruh. Polri harus menjadi kebanggaan bagi anggota Polri dan
keluarga besarnya, karena tidak mungkin citra dan wibawa Polri di sanubari
masyarakat akan meningkat, bila keluarga besar Polri sendiri tidak yakin akan
pentingnya fungsi, tugas pokok dan tugas-tugas Polri dalam memelihara kamtibmas
dan penegakan hukum di Republik Indonesia.
Comments
Post a Comment