Awan Hitam di Bumi Pertiwi

Malang nian nasib Indonesia. Negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) malah subur dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kejahatan ini tampaknya sudah begitu mengakar dan terus tumbuh subur. Hilang satu tumbuh seribu. Mulai dari penjahat jalanan, penjahat birokrasi sampai penjahat wanita.

Deretan kasus secara bertubi-tubi membuat publik heboh bercampur panik akan kemana nasib negeri ini? Namun para petinggi negeri seperti tak berdaya menanganinya. Bukti rillnya, kriminalitas meningkat, korupsi merajalela, jurang kemiskinan semakin tinggi.
Bicara kriminalitas, bukan hanya dari kalangan rakyat sipil. Sesama aparat negara (TNI-Polri) bisa saling tak akur. Bentrok antar keduanya bukan hanya sekali atau dua kali, melainkan kerap kali terjadi. Belum lagi bicara kriminalitas ulah preman, dari individu sampai kejahatan terorganisir (organized crime) seperti kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang (drug crime). Ada lagi kejahatan organisasi jalanan (gangster). Belakangan mencuat geng motor, tujuannya hanya untuk ugal-ugalan menciptakan kekacauan dan meganggu ketentraman umum. Lagi-lagi para ‘panglima’ hukum seakan tak berdaya. Keadaan diperparah lagi dengan ulah sejumlah petinggi negeri. Keserakahan mengejar duniawi membawa mereka ke lembah nistawi untuk terlibat kasus korupsi.
Celakanya, para tersangka, terdakwa hingga terpidana para “tikus” negeri ini masih bisa tersenyum lebar, seolah tak berdosa. Mungkin karena ketidakadilan hukum atau hukum bisa dibeli, membuat praktik korupsi masih merajalela. Awan hitam tengah menyelimuti negeri ini.
Reformasi yang digaungkan 15 tahun lalu pun seolah tak berarti apa-apa—jika tak mau disebut euforia sesaat. Bila melihat fenomena, realitas dan fakta masa kini, bisa dikatakan pemerintahan sekarang tak berbeda dengan masa Orde Baru. Rakyat terkungkung dengan demokrasi.
Pemerintahan saat ini masih mewarisi sistem dan sifat aparatur negara rezim lama. Jangan heran bila KKN tak berkurang. Sejumlah kasus mewarnai republik tercinta ini menjadi bukti lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa para petinggi negeri ini tidak mengerti masalah. Sungguh, jika boleh mengatakan sesungguhnya negeri ini salah urus.
Dalam hal kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) saja sangat kentara sekali, bagaimana republik ini dikelola. Dari rencana menaikkan sampai pembatasan BBM subsidi serba tak jelas.
Belum lagi persoalan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terus dipertanyakan, pelesiran anggota DPR ke luar negeri dengan dalih kunjungan kerja atau studi banding. Mengkhawatirkan sekaligus mengerikan, memang, keadaan republik ini, jika hal-hal di atas terus melanda.
Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) harus diselesaikan, terutama mengelola Sumber Daya Alam hingga menjadi kemakmuran rakyat. Bicara energi, tak habis pikir kenapa Indonesia bisa krisis energi. Melihat produksi minyak dan gas dalam negeri, seharusnya tak ada krisis yang dialami. Bicara pangan, mestinya melimpah karena memiliki wilayah luas serta agraris. Seperti penggelan lagu tahun 70-an “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupmu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu…Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…” itulah sepenggal lagu yang dinyanyikan oleh Group Band Koes Plus. Lagu yang menggambarkan kesuburan dan kekayaan alam Indonesia.
Naif kiranya bila negeri yang telah dikaruniai sumber daya alam melimpah oleh Tuhan ini, harus dikotori para sampah pelaku korupsi. Mereka adalah penjajah negeri yang harus diakhiri. (Suhardin)
www.equator-news.com 

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian