Mahkamah Konstitusi Putuskan Hutan Adat Bukan Hutan Negara
Angin segar bagi
masyarakat adat di nusantara. Kamis (16/5/13), Mahkamah Konstitusi (MK)
akhirnya mengabulkan sebagian judicial review UU Kehutanan No 41 tahun 1999
yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dengan keputusan ini MK menegaskan hutan adat
bukan hutan negara.
“Mengabulkan
permohonan para pemohon untuk sebagian. Kata ―negara dalam Pasal 1 angka 6 UU
41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Akil
Mochtar, Ketua MK saat membacakan amar putusan, sore itu.
Dengan keputusan
ini, kata ‘negara’ dalam Pasal 1 angka 6
itu tidak memiliki kekuatan hukum dan
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat.”
Pada pasal 2 ayat
3 UU Kehutanan, juga bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip negara yang diatur UU.
Bahkan ada satu
pasal penjelasan yang tidak diajukan pemohon tetapi ditambahkan MK, karena
masih terkait yakni penjelasan Pasal 5 ayat 1 dinyatakan bertentangan dengan
UUD 45 dan tak memiliki kekuatan hukum.
Beberapa pasal
yang dikabulkan MK antara lain Pasal 6 ayat (1), Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat
(1), dan Pasal 5 ayat (2) Undang Undang (PUU) nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Sedangkan, Pasal
yang diajukan pemohon, fokus pada pengujian pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat 3,
pasal 5 ayat 1, 2, 3, dan 4, serta pasal 67 ayat 1, 2, dan 3, UU 41 tahun 1999.
Sulistiono, Ketua
Tim Pengacara AMAN mengatakan, keputusan sangat penting bagi masyarakat adat
telah dibuat MK dengan menyatakan hutan adat bukan hutan negara plus bonus
penjelasan Pasal 5 ayat 1 juga masuk menjadi pertimbangan. “Apresiasi bagi MK.
MK meletakkan kembali hutan adat bukan hutan negara, bahkan MK meredaksional
kata negara itu.”
Andon Nababan,
Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN menyambut gembira keputusan ini. “Ini
perubahan penting bagi masyarakat adat di republik ini. Putusan yang memulihkan
rasa kebangsaan masyarakat adat yang selama ini sudah hampir putus asa,”
katanya.
Saat ini, dengan
hutan adat bukan hutan negara, hak mengelola dan memanfaatkan ada pada
masyarakat adat. Pada pengertian hutan negara yang memasukkan hutan adat di
sana, masyarakat adat terpinggirkan. Di wilayah hutan adat, pemerintah malah
memberi izin-izin pengelolaan hutan kepada perusahaan-perusahaan seperti HPH,
dan HTI. Tak pelak, konflik-konflik bermunculkan dan menyebabkan ribuan
masyarakat adat ditangkap.
“Jadi tepat, jika
Kementerian Kehutanan meminta maaf kepada masyarakat adat atas dampak dari UU
Kehutanan. Ternyata setelah diuji, pasal-pasal itu tidak konstitusional. Sudah
14 tahun itu berjalan.”
Meskipun begitu,
kata Abdon, keputusan ini seharusnya menjadi pintu masuk rekonsiliasi antara
pemerintah dan masyarakat adat. Bersama-sama pemerintah, masyarakat adat
memetakan wilayah hutan adat yang selama ini dikaburkan.
Kementerian
Kehutanan (Kemenhut) harus segera mengidentifikasi kawasan hutan yang masuk
hutan adat. Masyarakat pun, diharapkan segera memetakan wilayah. “Jika belum
bisa memetakan, setidaknya ada tanda, misal dengan menanami pohon atau memberi
batas beton. Ini harus kerja lebih cepat,” ujar dia.
Abdon
memperkirakan, setidaknya ada 40 an juta hektar hutan yang dengan keputusan MK
ini menjadi tak memiliki kejelasan status hukum. “Sekitar 40 juta hektar itulah
perkiraan minimal hutan adat.” Jika tak segera diselesaikan, katanya,
berpotensi menjadi konflik besar. Untuk itu, masyarakat adat dan pemerintah
harus menyelesaikan masalah ini bersama-sama.
Begitu juga revisi
UU Kehutanan No 41 tahun 1999 harus segera menjadi agenda legislasi DPR dan
pemerintah. Termasuk, RUU Masyarakat
Adat yang sudah ada di tangan Presiden juga harus disahkan.
Dengan keputusan
MK ini, ucap Abdon, juga bisa mempercepat One Map. Karena, hutan-hutan terbaik
di Indonesia itu sebagian besar ada di wilayah masyarakat adat.
Martua Sirait,
peneliti dari International Centre for
Research in Agroforestry (ICRAF) mengatakan, sejak awal sudah mengingatkan,
dari UU Kehutanan Tahun 1967, yang berganti menjadi UU Kehutanan No 41 Tahun
1999, harus menempatkan hutan adat
berbeda. Namun tak diindahkan. “Saat itu saya bilang, suatu saat tuntutan hukum
ini akan terjadi, seperti yang dialami saat ini.”
Kemenhut pun mesti
meminta maaf secara instansi kepada masyarakat adat.” Sebab, dampak UU
Kehutanan– status hutan adat tak jelas– menyebabkan banyak masyarakata adat
menjadi korban kekerasan. “Kemarahan sampai ke desa-desa.”
Namun, kata
Martua, putusan MK ini bukan masalah menang
atau kalah. Malah ini harus jadi momen rekonsiliasi antara Kemenhut dan
masyarakat adat. Setelah ini, banyak hal yang perlu dilakukan bersama, seperti
pemetaan hutan adat sampai revisi UU Kehutanan.
Comments
Post a Comment