Pengalaman Abdul Qadir Jaelani Menulis di Bui
Saya menjalani kehidupan di penjara selama 15
tahun, sejak zaman Orde Lama sampai Orde Baru. Penjara Orde Lama (1961) saya
rasakan selama 6 bulan karena waktu itu saya sebagai Ketua Wilayah PII Jakarta
mengeluarkan surat pernyataan menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI) di seluruh Indonesia.
Saya bersama sekretaris saya waktu itu, Hardi M.
Arifin, ditangkap oleh KMKBDR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) yang
dipimpin oleh Kapten Dahyar dan ditahan di rumah tahanan militer RINDAM Condet
Jakarta Timur bersama para tahanan PRRI dan Permesta. Setelah enam bulan saya
dibebaskan, tanpa melalui proses pengadilan
Akhir tahun 1963, kembali saya ditangkap. Kali ini
oleh BPI (Badan Pusat Intelijen) yang dipimpin Brig. Jend. Pol. Sutarto,
sebulan setelah PB PII pada Konferensi Besar PII di Bandung mengeluarkan satu
ikrar untuk menentang rezim Soekarno dan PKI sampai tumbang.
Selain bersama beberapa pengurus PII, saya ditahan
bersama para ulama. Di antaranya, Buya HAMKA, KH Dalari Oemar, KH Ghazali
Sahlan, Kolonel Nasuchi, Abdul Mu'thie, H Zamawi. Kami bersama-sama dikumpulkan
di asrama Sekolah Perwira Kepolisian Gunung Puyuh Sukabumi. Di sini setiap
tahanan diperiksa non-stop oleh tim yang terdiri dari enam orang perwira
polisi, yang setiap 6 jam sekali bertugas dua orang.
Pemeriksaan dilakukan selama dua minggu, disertai
penyiksaan di luar batas kemanusiaan, seperti dimasukkan ke dalam bak berisi
air, kemudian air dialiri listrik. Ada juga tahanan yang ditelanjangi dan
kemaluannya disetrum. Setelah 5 hari 5 malam, saya sudah pingsan karena
diperiksa terus seperti itu.
Saya dituduh mengadakan rapat gelap di rumah
mantan tokoh Masyumi Tangerang yang dihadiri oleh Buya HAMKA, KH Dalari Oemar,
KH Ghazali Sahlan, Kolonel Nasuchi, Abdul Mu'thie, H. Zamawi dan empat orang
tokoh Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berencana
menggagalkan Pesta Olah Raga Ganefo di Jakarta. Tuduhan ini saya tolak, karena
tidak pernah ada rapat semacam itu.
Beberapa hari setelah pemeriksaan, saya bersama
tokoh Islam lainnya dipindahkan ke Jakarta. Saya diturunkan di Markas Polisi
Brimob Cilincing, Tanjung Priok, setelah yang lain diturunkan satu per satu di
tempat yang berbeda.
Di tempat itu saya dimasukkan ke ruang sel tahanan
yang gelap tanpa lampu, kotor, penuh debu dan sarang laba-laba. Untuk buang air
kecil hanya disediakan sebuah kaleng.
Satu-satunya buku yang dibaca hanya Al-Qur`an dan
makanan yang ada cuma nasi campur jagung. Keadaan ini saya jalani selama 4
bulan. Selama itu saya belum boleh dijenguk keluarga.
Setelah genap setahun, saya dipindahkan ke tahanan
Markas Besar Kepolisian di Kebayoran Baru Jakarta. Di sini saya bertemu dengan
para tahanan PRRI, PERMESTA, tokoh Masyumi dan GPII, seperti Mawardi Noer, KH.
Hamidullah, dan Djanamar Ajam.
Di tempat inilah saya baru bisa berdiskusi dan
belajar, baik masalah-masalah politik, militer, maupun Islam. Akhir November
1965, saya dibebaskan setelah kegagalan kudeta yang dilakukan oleh PKI.
Setelah itu beberapa kali lagi saya diperiksa dan
ditahan terkait dengan kegiatan dakwah dan perjuangan saya menegakkan Islam.
Pada masa Orde Baru saya beberapa kali ditangkap, disiksa, dan diperiksa.
Yang terakhir, tanggal 16 Desember 1985, saya
divonis penjara 18 tahun, karena menurut Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
ceramah, tulisan, dan pandangan saya tentang ideologi negara (Pancasila),
politik, ekonomi dan kebejatan moral bangsa.
Selama menjadi narapidana politik (Napol) inilah
saya banyak menulis. Secara ketat saya mencoba mengatur jadwal harian kegiatan
saya. Karena menurut saya, jika tidak demikian maka saya tidak akan mendapatkan
manfaat dari kehidupan penjara berpuluh tahun di LP Cipinang tersebut.
Untuk kepentingan membaca dan menulis, saya
diizinkan memasukkan buku-buku. Tak kurang 500 judul buku tersusun di
perpustakaan saya. Buku-buku ini datang silih berganti, tergantung topik yang
saya tulis. Setiap harinya dari jam 08.00 sampai 12.00 saya khususkan waktu
untuk membaca dan menulis. Dan, puku 16.00 sampai 18.00 untuk tadarusan
Al-Qur`an.
Dengan jadwal kegiatan semacam ini, saya dapat
menulis buku sebanyak 5000 halaman dalam bentuk ketikan skripsi, sebulan tiga
kali tamat Al-Qur`an, setiap hari shalat malam, dan puasa Senin-Kamis.
Kegiatan-kegiatan ini masih saya teruskan setelah keluar dari penjara (Agustus
1993, lepas bersyarat). ***
(Roni Pradana, disarikan dari buku "Anak Rakyat Jelata Mencoba Berjuang
Menegakkan Islam" dan wawancara/Hidayatullah,
cool-calm-confident.blogspot.com)
Bismillah
ReplyDeleteSaya mau tanya..kalau beliau kh. ABdul qodir jaelani ini masih hidup kah ?
Bismillah
ReplyDeleteSaya mau tanya..kalau beliau kh. ABdul qodir jaelani ini masih hidup kah ?