TENTANG SEORANG PREMAN PASAR TERONG
SUATU
PAGI,
April 2009. Pasar Terong ricuh. Pedagang menghentikan aktivitas. Para pembeli,
yang kebanyakan ibu rumah tangga, berlari ke pinggir lalu masuk ke sela-sela
ruang jualan para pedagang. Beberapa orang mengejar lelaki berseragam hijau,
mirip tentara. Mereka menghunus dan mengacungkan badik. Orang-orang berteriak.
Beberapa meja hampir saja terjungkal karena ruas jalan yang begitu sempit.
“Jang ko lari Turu’, ana’!” teriak salah seorang
pengejar.
Orang yang dipanggil Turu’ itu terus berlari
menuju Jalan Terong. Dia menabrak beberapa orang yang berdesakan rapat.
Orang-orang yang mengenalnya memilih tak menggubris. Dalam hitungan detik dia
masuk ke sisi utara bangunan Pasar Terong, kawasan berbentuk letter ‘L’ yang dibangun tahun 1995.
Orang-orang itu berhenti. Berpikir sejenak untuk
melanjutkan pengejaran. “Letter L”
adalah area ‘kekuasaan’ lelaki bernama Daeng Turu’ itu. Beberapa pedagang
menyebutnya ‘bos preman Terong’. Daeng Turu’ mengaku, dia difungsikan sebagai
katup pengaman bagi pengelola swasta ini bila ada kebijakan yang hendak
dijalankan seperti menggusur segelintir pedagang di kawasan tertentu.
‘Bos preman’ merupakan sebutan khusus. Beberapa
orang yang dikenal sebagai preman dan juga bermukim di Pasar Terong ini menolak
anggapan itu. Bagi mereka, Daeng Turu’ hanya seorang pabbelli bellang (Bug., oportunis) yang berusaha mengambil untung
dari kedekatannya dengan direktur sebuah perusahaan daerah, komisaris sebuah
pengembang kawasan tersebut, dan beberapa anggota polisi setempat.
Mereka berhenti mengejar Turu’ dan berbalik. Para
pedagang bertanya-tanya ada apa gerangan
mereka mengejar Daeng Turu’. Orang-orang itu tak memberi jawaban memuaskan.
Kini mereka berada di kawasan yang lebih dikenal sektor Tangga Selatan. Sebuah
area yang enggan Daeng Turu’ datangi lantaran para pedagang kawasan ini menolak
tunduk kepadanya.
Kalau mau mendengar kisah-kisah kejantanan,
keberanian, dan kekerasan dunia preman Terong, ada titik penting yang bisa Anda
datangi, yakni satu warung kopi. Warkop itu kerap ditongkrongi para preman
senior pasar. Letaknya di sektor Tangga Selatan. Warkop milik Herman itu berada
di salah satu rumah toko (ruko) yang belum rampung dibangun sejak 2005 silam.
Di warkop inilah Unding dan rekannya yang lebih
muda kerap menghabiskan waktu. Beberapa preman senior seperti Pak Amir, yang
dikenal orang paling nakal, pun ada di sana saban hari. Pak Amir sejak lama
melepaskan ‘status’ sebagai preman. Dia kini berjualan cabai merah tepat di
depan warung kopi Herman. Ada pula ‘orang tua’ Pasar Terong bernama Dayat, yang
disegani para preman muda. Sosok ini dikenal tak banyak bicara. Tapi jangan
sekali-kali sok jago di hadapannya kalau tak mau dipukul di depan orang banyak.
Mereka, di warung kopi ini, acapkali berbicara
atas nama nyali, kekuatan fisik, dan tentu saja untuk sebuah sebutan Rewa! Dalam bahasa Makassar, Rewa bermakna keberanian, ketangguhan,
sikap pantang menyerah, dan tidak takut menghadapi bahaya atau risiko (Sudirman
Nasir, dalam www.panyingkul.com,
edisi Jumat, 01/02/2008). Tidak heran kalau ada saja orang-orang tertentu yang
kena bogem kalau mereka bertingkah yang menjengkelkan atau bersikap rewa di mata para preman senior ini.
Di Terong, sejak tahun 2000-an, Daeng Turu’ paling
dikenal pedagang maupun ‘pemain luar’ yang mencari peruntungan di pasar ini.
Lelaki bernama lengkap Abdurrahman Daeng Turu’ ini bekerja menebar ketakutan
kepada para pedagang, yang kerap disebut ‘pedagang kaki lima’. Menurut Turu’,
sebuah perusahaan daerah memberinya wewenang mengontrol penarikan retribusi dan
‘pungutan’ lainnya serta ruang berjualan. Pengelola pasar dari pihak developer
juga pernah menggunakan ‘tangan’ Turu’ untuk melaksanakan pembongkaran paksa
pedagang-pedagang yang dianggap liar dan mengotori keindahan pasar.
Karena ‘jabatan’ itu, Turu’ bisa berbuat banyak
sekaitan relasi sosial antar-pedagang, antara pembeli dan pedagang, sampai
antara pedagang dan satu perusahaan daerah, antara pedagang dan pengembang. Dia
bisa menentukan pedagang A boleh berjualan di tempat A, B, atau C, dan
seterusnya. Dia juga berhak menyerahkan kepada siapa perparkiran di kawasan
tertentu di Pasar Terong dan menentukan jumlah setoran parkiran itu. Daeng
Turu’ pun bisa memberi tempat menjual yang entah bagaimana caranya kepada
penjual tertentu dengan bayaran sekian juta rupiah dan setoran bulanan sekian
banyak. Bahkan, dia bisa memukul pedagang A hari ini dan pedagang B esoknya
dengan berbagai alasan. Tapi, bisa saja Daeng Turu’ ketiban sial, seperti
kejadian tadi; dikejar sekelompok preman lain akibat seorang pedagang yang
menuntut balas.
***
DEMIKIANLAH
secuplik adegan geliat dunia preman di Pasar Terong. Siapa kuat dia lah yang
ditakuti. Sayangnya, ada banyak preman di pasar ini. Sayangnya lagi, sebagian
dari mereka tak takut kepada Daeng Turu’. Kalangan itu terutama di antara
mereka yang kerap menghabiskan waktu di warung kopi Herman. Menurut kalangan
ini, Turu’ menyebalkan, orang yang tidak pantas disegani. Kemenangan Turu’,
lelaki setinggi 160-an sentimeter itu hanya lantaran dia dekat dengan pejabat dan
pihak pengaman.
Kabarnya, dunia preman Pasar Terong sudah marak
sebelum kehadiran Turu’. Era 1970-1990an, Terong adalah tempat mangkal preman
dari berbagai penjuru sekitar Terong. Yang pertama dan utama dari Kampung
Maccini Gusung dan Maccini Kidul (kini dikenal Maccini Baru), kawasan selatan
pasar. Maccini Gusung adalah sebuah kampung kota yang dikenal oleh pemerintah
dan media sebagai daerah ‘X’ atau kawasan rawan.
Kalangan lain yang menjadikan Pasar Terong tempat
nongkrong adalah preman dari Kandea, kawasan yang merujuk nama jalan di utara
Pasar Terong, dekat dengan Masjid Al Markaz Al Islamic. Status Kandea sama
dengan Maccini. Preman dari sini juga disegani di Terong. Berdasarkan tuturan
beberapa pedagang pasar, seorang preman Kandea pernah menyabet lengan Daeng
Turu’. Turu’ dan lelaki ini sebenarnya pernah berkarib. Dulu, dua orang ini
berjualan ekor ikan pari di kawasan galangan kapal. Kabarnya, satu hari, Si
Lelaki naik pitam. Apa pasal? Turu’ rupanya secara diam-diam menjual ekor ikan pari
lebih murah ke pihak lain. Celakanya, Turu’ tidak membagi hasil penjualannya.
Si Lelaki menganggap Turu’ curang. Maka, sabetan parang pun bersarang di lengan
lelaki berdarah Takalar itu.
Selain itu, ada pula preman Kampung Pucca (Tamaje’ne),
Rappokalling, dan Bara-Barayya. Mereka ini punya satu kelompok bernama
‘Antanija’, kependekan dari ‘Anak Tena Ni jampangi’ (Mks., anak yang
diabaikan).
Keluarga Daeng Turu’ juga memiliki pengaruh kuat.
Dua kakaknya juga terkenal rewa.
Turu’ bersaudara merupakan keturunan H. Tula’, sejak 1950-an ada di Pasar
Terong. H Tula’ adalah salah seorang pedagang awal pasar tersebut. H Tula’
berasal dari sebuah kampung di Kabupaten Takalar (50-an Km di selatan
Makassar). Dia berdagang buah-buahan. Darah pedagangnya dia turunkan pada salah
seorang anaknya, Daeng Opa’, yang hingga kini juga salah seorang pedagang buah
senior.
Hal menarik diamati dari dunia preman Pasar Terong
adalah keharmonisan; atau, katakanlah, keseimbangan kekuatan para preman yang
memungkinkan mereka hidup bersama tanpa saling mengganggu eksistensi
masing-masing di tengah komunitas pasar.
Tersebut pula nama yang menjadi legenda. Namanya
Juna’. Lelaki ini punya kebiasaan mencari preman yang merasa paling rewa dan meresahkan orang-orang pasar. Bila
bertemu orang seperti ini, maka Juna’ mendatanginya dan menantang berkelahi.
Ada pula menyebut, Juna’ langsung menikamnya.
Juna’, kata cerita, anak Kampung Kandea, putra
Daeng Sikki, penjual ban bekas di Jalan Bandang. Banyak preman takut padanya.
Hingga suatu malam awal tahun 2000, Juna’ ditemukan mati bersimbah darah
sepulang pesta menenggak minuman keras. Menurut kabar dari seorang penutur,
seorang preman lain (entah dari mana) telah merencanakan mencegatnya lalu
membunuhnya. Beberapa hari setelah kematiannya kabar tersiar bahwa arwah Juna’
gentayangan dan masuk ke dalam tubuh seseorang. Lewat tubuh itulah arwah Juna’
membongkar siapa yang membunuhnya dan meminta pihak keluarga agar tidak perlu
dendam.
Dasawarsa 1980-an hingga 1990-an pengembang mulai
membangun Pasar Terong. Seorang tentara aktif bertugas pada masa itu
mengomandani sejumlah tentara pengawas kegiatan jual-beli di Terong. Petugas
itulah, menurut pedagang, mengusik komunitas preman Terong. Satu per satu
mereka pergi dari pasar itu.
Perlakuan itu bukan hanya pada preman. Pedagang
pun pernah mengalami. “Dia suka sekali menendang bakul atau meja dagangan
kami,” kenang salah seorang pedagang yang sempat memilih pindah ke Pasar
Pannampu.
Hubungan pedagang dan preman di Pasar Terong
bergeser pada 1994-1996. Masa ketika pengembang mulai membangun gedung
berlantai empat. Bagi pedagang, bentuk bangunan justru mengurangi pendapatan
mereka. Khususnya pedagang sayur-sayuran
dan ikan yang menempati lantai tiga. Akibatnya, mereka pun beramai-ramai memenuhi
badan jalan dan mengisi area sekeliling gedung, yang kini dikenal sisi utara
dan selatan, sepanjang Jalan Sawi, Kubis, serta Jalan Terong. Keadaan ini
merugikan pengembang lantaran cicilan kios dan los mandek. Sederhana kata
pedagang, “Bagaimana mungkin bisa menjual di dalam gedung sementara pengunjung
tidak mau masuk.”
Tahun 2000, tahun meninggalnya Juna’, Turu’
kembali dari perantauan. Dua tahun berselang, pengembang mulai bersikap tegas
terhadap pedagang guna menutupi kerugiannya. Pengembang ingin membersihkan
pedagang di kawasan Pasar Terong dan memaksa mereka masuk kembali ke dalam
gedung yang kian terbengkalai. Salah satu alat ampuh yang memang kerap
digunakan oleh pengusaha adalah preman. Daeng Turu’ pun tampil sebagai
‘penguasa baru’ di area tersebut.
Sejak itu, Daeng Turu’ mengurusi hal-hal penting
pengembang dan satu perusahaan daerah, mulai dari penagihan parkir, listrik,
hingga jasa penggusuran pedagang. Daeng Turu’ mengaku, dia bergaji Rp3 juta per
bulan. Bagi Turu’, penggunaan preman ini merupakan upaya memberdayakan
kalangannya.
“Apa salahnya kalau saya berdayakan preman atau
mantan preman. Yang salah kalau orang baik saya jadikan preman,” pungkas Turu’,
pendiri Serikat Eks-Narapidana (SENI) ini. *
(Ishak
Salim — @isangkilang, peneliti AcSI [Active Society Institute],
makassarnolkm.com)
Comments
Post a Comment