Korupsi dan Budaya Patronase
Oleh
Aloys Budi Purnomo
Rohaniwan, budayawan intereligius,
tinggal
di Semarang
KOMITMEN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini kian tertantang,
justru atas dugaan korupsi di lingkup kementerian. Kasus korupsi di kementerian
yang terbongkar kian banyak.
Sekurang-kurangnya, selama kurun waktu enam tahun
terakhir (2007-2011), lima kementerian dalam pemerintahan SBY terbongkar.
Kementerian Sosial, Kehutanan, Kesehatan, Pemuda dan Olahraga, serta Tenaga
Kerja dan Transmigrasi terjangkit virus ganas suap dan korupsi.
Total dugaan suap dan korupsi di lima kementerian
tersebut selama lima tahun terakhir ini sebanyak Rp 808,3 miliar. Jumlah
terbesar terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sebanyak Rp
501,5 miliar.
Urutan kedua, Kementerian Pemuda dan Olahraga
sebesar Rp 191 miliar. Selanjutnya Kementerian Kehutanan (Rp 89,3 miliar),
Kementerian Sosial (Rp 27,6 miliar), dan Kementerian Kesehatan (Rp 9,4 miliar).
Parah
dan Membusuk
Mencermati angka-angka rupiah yang terkorupsi dari
tahun ke tahun, tampak jelas bahwa kasus suap dan korupsi bukannya terkurangi
melainkan justru kian parah. Tahun 2011, di dua kementerian menduduki ranking
teratas, yakni di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian
Pemuda dan Olahraga, dengan masing-masing Rp 1,5 miliar untuk Program
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi di 19 kabupaten dan
kota tahun 2011 senilai Rp 500 miliar (jadi total Rp 501,5 miliar) dan Rp 191
miliar dugaan suap pembangunan wisma altet SEA Games di Palembang tahun 2011.
Dari fakta ini tampak pula bahwa kinerja
kementerian Kabinet Indonesia Bersatu II bukannya kian membaik, melainkan kian
membusuk. Kesimpulan tentatif ini dapat kita ambil bila kita konsisten memahami
bahwa korupsi berasal dari bahasa Latin corruption yang berarti kebusukan
kerusakan, dan kehancuran.
Itu berarti pula korupsi sebagai penyelewengan
kewenangan dan keuangan dengan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan
pribadi dan atau kelompok dengan dampak sosial kerugian bagi kesejahteraan
bersama kian hari kian hebat. Ibarat penyakit, bertambah waktu bukannya menjadi
sembuh, melainkan justru kian parah dan kronis.
Luka bangsa ini akibat perilaku koruptif kian parah
dan membusuk. Bahwa korupsi terjadi di berbagai lingkup kementerian, ini
menunjukkan kepada kita satu realitas yang mengerikan, yakni kemerosotan moral
hampir di sebuah bidang kehidupan. Kemerosotan moral yang kian parah dan busuk
tak hanya menjadi warisan sejarah panjang, melainkan juga merambah ke segala
arah kehidupan.
Budaya
Patronase
Mengapa korupsi kian meraja dan membabi buta?
Manakah bukti komitmen Presiden SBY yang “akan memimpin sendiri pemberantasan
korupsi”, saat kita mengetahui bahwa dugaan suap dan korupsi itu ternyata marak
terjadi di lini kementerian yang secara langsung berada di bawah tanggung jawab
presiden?
Presidenlah yang memilih para menteri itu, dan
ternyata di bawah kepemimpinan para menteri itu, institusi yang dipimpinnya itu
ternyata tetap saja tidak bebas dari suap dan korupsi. Mestinya, Presiden juga
bertanggung jawab atas kinerja para menteri yang dipilihnya.
Sayangnya, tanpa harus menggunakan analisis tajam,
tampak betapa Presiden SBY tak juga kunjung bersikap tegas terhadap para
menterinya. Mengapa ini terjadi? Hemat saya, inilah dampak negatif dari budaya
patronase yang berkembang di negeri ini.
Budaya patronase, meminjam penuturan Peter Burke
(2001:106), adalah sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi
antara pihakpihak yang tidak setara, antara pemimpin (patron) dan pengikutnya
(klien). Dalam sistem ini, masing-masing pihak memiliki suatu kepentingan
(interese) untuk saling ditawarkan.
Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan
kepada patron. Dukungan politik ini mewujud dalam berbagai bentuk: kepatuhan,
bahasa hormat, hadiah, dan suap. Di lain pihak, untuk membalas dukungan ini,
sang patron akan menawarkan kebaikan, pekerjaan, jabatan, status, dan
perlindungan kepada klien. Ujungujungnya, saling selingkuh antara patron dank
klien akan mengubah kekayaan dan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan demi
kekayaan.
Inilah yang secara kasat mata menjadi penyebab
mengapa Presiden SBY tidak berani bersikap tegas kepada para menteri yang
jelas-jelas sudah membusukkan kabinetnya melalui korupsi. Ditunjang dengan
norma birokrasi yang lemah serta solidaritas vertikal yang kuat, budaya
patronase yang melemahkan komitmen untuk memberantas korupsi kian menjadi-jadi.
Sebagaimana ditegaskan Sharon Kettering (1986),
saat budaya patronase berujung pada perlindungan terhadap para koruptor,
kekuasaan pun lantas sangat tergantung pada pertukaran. Akibatnya, korupsi kian
subur dan tak akan mudah diberantas. Tugas dan tanggung jawab para pejabat
publik, termasuk para menteri pun kian menyimpang. Namun, karena mereka adalah
orang-orang “kesayangan” sang patron, maka tak akan pernah terjadi sikap dan
tindakan tegas untuk menghentikannya.
Kalau demikian, komitmen untuk “memimpin sendiri
pemberantasan korupsi” sesungguhnya hanya akan efektif apabila Presiden SBY
juga mau membongkar budaya patronase. Alih-alih menjadi patron bagi para
koruptor, mengapa tidak menggunakan sisa waktu kepemimpinnya untuk melindungi
dan menyejahterakan rakyat yang sangat haus akan kesejahteraan, keadilan dan
ditegakkannya kebenaran di republik. Selagi masih ada kesempatan, mengapa tidak
segera diwujudkan.
Rakyat sungguh sangat menantikan ketegasan Presiden
SBY terhadap mereka yang merampok kesejahteraan rakyat. Percayalah, ketegasan
Presiden pasti akan didukung oleh mayoritas rakyat negeri ini yang sudah jenuh
selalu menjadi korban perampokan uang negara oleh para koruptor yang mestinya
bisa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
_____________________
Artikel ini pernah dimuat
di Investor Daily, 18 September 2011.
Comments
Post a Comment