Iya Mulik Bengkang Turan (5)
Pergulatan
Karir di Berbagai Bidang
Jika
suatu pekerjaan sangat menguras tenaga (terasa sangat sulit dijalani) mungkin
hal tersebut tidak seharusnya kita jalani. Ibarat berlayar, bila kita
memperhatikan keadaan angin secara benar maka kita akan dapat memanfaatkan arah
embusannya untuk membantu kita.
Jerry
Jones, developer kenamaan
Segala sesuatu dapat direnggut dari manusia,
kecuali satu hal: kebebasan manusia yang terakhir, yakni menentukan jalan
hidupnya sendiri. Aprian Noor muda tidak ingin hanya berkutat di kampung
halamannya Muara Teweh. Dia takut seperti katak terperangkap dalam tempurung,
hanya melihat dunia sebatas “langit-langit” tempurung. Dia ingin membuka
cakrawala hidupnya yang lebih luas dan berpengharapan lantaran. Sebab di masa itu, Muara Teweh seolah tidak
menjanjikan masa depan yang lebih baik. Muara Teweh bagai cakrawala tempurung
yang mengurung katak. Sulit hendak mengembangkan talenta macam apa untuk
sekadar bertahan hidup di Muara Teweh.
Muara Teweh, sewaktu Aprian Noor berada di ujung
umur belasan tahun (sekitar pertengahan 1980-an), belumlah seramai sekarang.
Muara Teweh dulu relatif masih sepi dari denyut investasi –baik perkebunan
karet, perkebunan sawit, pertambangan intan (dan emas) maupun pertambangan
batubara. Ketika itu banyak warga setempat yang menambang intan dan emas secara
tradisional, berkebun karet secara apa adanya, dan menjalankan perahu kelotok
di Sungai Barito. Tambang intan dan emas lebih populer dan lebih menjanjikan di
Martapura.
A. Lulus SMA, Bekerja Serabutan
Secara geografis, Muara Teweh (kendati berada di
wilayah Provinsi Kalimantan Tengah) lebih dekat ke Banjarmasin yang Ibukota
Provinsi Kalimantan Selatan. Meski di Ibukota Kabupaten Barito Utara ini telah
berdiri SMA Negeri 1 Muara Teweh saat berdiri tahun 1959 bernama SMA Pemda
dengan Ketua pendiri Kapten (Polisi) Harun, Aprian Noor tidak melirik untuk
melanjutkan sekolah ke SMA yang di tahun 1998 telah memiliki 18 lokal kelas
tersebut. Dengan harapan memperoleh kemudahan melanjutkan perguruan tinggi di
Banjarmasin, selepas dari pendidikan SMP di Muara Teweh tahun 1981, Aprian Noor
memilih mendaftarkan diri ke SMA Negeri 1 Marabahan yang berdiri tanggal 21
Oktober 1981 ini. Dia menjadi angkatan pertama yang masuk SMA Negeri 1 di Ibukota
Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan, itu. Dengan memasuki SMA
yang berada sekitar 40 kilometer dari Kota Banjarmasin itu, Aprian berharap
memperoleh pendidikan yang lebih berkualitas dibandingkan di tempat lain.
Tahun 1984, Aprian Noor menamatkan pendidikan
tingkat lanjutan atas di SMA Negeri Marabahan yang beralamat di Jalan Ade Irma
Suryani Nomor 66 Marabahan. Kendati ayahnya sempat menapaki karir puncak
sebagai anggota DPR Gotong Royong (1969) dan anggota DPR (1971-1977), tampaknya
keluarga Aprian Noor tidak serta merta berkelimpahan materi. Buktinya, Aprian
Noor tidak secara otomatis dapat melanjutkan pendidikan tinggi selepas tamat
SMA karena keterbatasan finansial yang dimiliki sang ayahanda. Dia harus menahan
keinginannya untuk menggapai mimpi kuliah di Kota Pelajar Yogyakarta. Dia harus
merelakan sang ayah lebih mengutamakan membiayai kakaknya yang saat itu tengah
kuliah di salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin, Ibukota Provinsi
Kalimantan Selatan.
Berbekal ijazah SMA saja rasanya tidak cukup buat
meretas jalan yang mampu dijadikan sandaran hidup dan kehidupan di masa-masa
selanjutnya. Melamar sana melamar sini, nyaris buntu. Akhirnya Aprian Noor berusaha
bekerja pada sektor pekerjaan yang tidak perlu mensyaratkan ijazah formal. Dia
tidak merasa risih atau malu hati menapaki pekerjaan-pekerjaan yang selama ini ditekuni
oleh sebagian besar warga Muara Teweh.
Dengan berbekal sepeda motor, suatu kali Aprian
Noor memilih bekerja sebagai pengojek. Dia mengangkut apa dan siapa saja yang
ingin memanfaatkan jasa pengojek untuk alat angkut. Selain itu, melihat Sungai
Barito yang belum memiliki jembatan yang representatif di lokasi-lokasi
tertentu, Aprian Noor sempat pula menjadi tukang perahu penyeberangan.
Aprian Noor juga sempat bekerja mendulang emas dan
intan yang ada di wilayah Barito Utara dan sekitarnya. Sebagaimana yang lazim
berlangsung waktu itu, dia ikut mendulang secara tradisional turun ke lokasi
yang diperkirakan menyimpan barang tambang bernilai ekonomis tinggi itu.
Dia tidak mau hanya berpangku tangan di rumah. Dia
berusaha mengerahkan pikiran dan tenaga muda yang masih dimilikinya, minimal bekerja
untuk dapat menghidupi dirinya sendiri. Setidaknya bekerja sebagai wujud rasa
syukur atas karunia kesehatan dan kekuatan fisik dari Tuhan Yang Maha Kasih. Sebagai
manusia beragama, dia meyakini bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib makhluk di
muka bumi tanpa ada usaha aktif dari makhluk yang bersangkutan. Jadi wajarlah
bila Aprian Noor sangat aktif bekerja apa saja sepanjang halal dan mampu
dilakukannya.
Mendekati tahun 1988, iklim investasi di Kabupaten Barito
Utara mulai sedikit terbuka. Beberapa investor asing mulai berdatangan untuk
mengeksplotasi isi perut bumi Barito Utara. Di antaranya adalah perusahaan tambang
dari Benua Kanguru Australia yang ingin mengeruk barang tambang emas, intan dan
batubara. Juga ada PT Antang Ganda Utama yang bekerja sama dengan Yayasan
Veteran memanfaatkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk mengembangkan perkebunan
kelapa sawit di Desa Butong dengan Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Trans.
Kehadiran penanam modal dari mancanegara dan
domestik itu seolah serta merta ‘mengusir’ warga masyarakat yang selama ini
menambang dan berkebun secara tradisional. Termasuk Aprian Noor merasa terusir
di kampung halamannya lantaran tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk
turut aktif di perusahaan asal Australia dan perusahaan domestik tersebut. Dia
merasa tahu diri, tidak mungkin memaksakan kehendak bahwa putera daerah harus dilibatkan
dalam denyut roda usaha investor ‘pendatang’. Kalau toh perusahaan tambang
profesional ingin merekrut tenaga-tenaga profesional adalah wajar-wajar saja,
tidak perlu disikapi dengan pemaksaan atau unjuk rasa minta putera asli daerah
mesti diberi porsi tersendiri. Tidak perlu disikapi dengan protes bahwa putera
daerah tidak boleh hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Semua orang
Barito Utara, termasuk Aprian Noor, harus mengukur kelayakan diri untuk
terlibat aktif pada usaha yang memang membutuhkan kompetensi tertentu.
“Saya berpikir, kalau begini-begini saja, nasib
saya tidak akan berubah. Tuhan telah menjanjikan tidak mengubah nasib suatu
kaum bilamana kaum itu sendiri tidak mau berubah. Saya tidak mau pasif menunggu
nasib baik atau keberuntungan untuk terus bertahan di kampung halaman,” ujar
Aprian Noor mengenang masa-masa sulit selepas SMA.
Nasib baik haruslah diperjuangkan dengan sekuat
tenaga. Peruntungan tidak turun begitu saja dari langit. Perlu proses agar
seseorang tidak terpinggirkan dari tanahnya sendiri. Perlu asah diri untuk
menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Peruntungan atau nasib
baik memang penting. Tapi, jauh lebih penting kita memahami bagaimana proses
harus dijalankan untuk menggapai peruntungan tersebut.
Secara agak filosofis, bila ingin menggapai sesuatu
yang jauh di luar jangkauan maka kita harus merentang mimpi untuk menggapai
sesuatu yang nun jauh di sana. Mimpi itu memiliki peran penting dalam upaya
seseorang meretas jalan sukses. Sudah banyak kita melihat, membaca dan
mendengar cerita tentang orang-orang yang sukses. Terutama kisah-kisah sukses
bisnis. Intinya, mereka selalu berangkat dari sebuah mimpi, cita-cita dan titik
sasaran yang hendak dituju. Lantas mereka menyusuri jalan yang kerap
terjal-berliku, dengan kerja keras dan kerja cerdas untuk merealisasikannya. Penuh
keyakinan pantang menyerah.
Energi dan kekuatan mereka melipat-ganda dan
memusat pada upaya dan langkah guna mewujudkan sebuah mimpi. Thomas Alva Edison
hanya sebuah contoh orang yang bermimpi, bercita-cita dan melahirkan lampu
listrik yang kini banyak digunakan sebagai penerangan rumah oleh warga
masyarakat di seluruh penjuru dunia. Sebelum meninggal dunia, Edison
meninggalkan warisan besar berupa perusahaan raksasa General Electric (GE) yang
bergerak dalam beragam kegiatan bisnis. Kata Edison, “Seandainya dulu saya tak
punya mimpi ... maka saya hanyalah... Sukses itu berawal dari imajinasi, mimpi.
Mimpi itu bisa menjadi kenyataan jika kita memiliki kemauan dan keberanian
untuk mengejarnya.”
Contoh yang lain adalah kisah perjalanan bisnis
Soichiro Honda, pendiri dan pemilik multinasional otomotif Honda. Kita juga
bisa menyimak kisah sang fenomenal Bill Gates, pendiri Microsoft Corp,
perusahaan pembuat software komputer
personal terkemuka di dunia. Mimpi yang menggerakkan hasrat, tekad, energi dan
langkah untuk meraihnya. Mimpi pula yang telah menggerakkan Shakespeare yang
lumpuh itu menjadi pengarang naskah sandiwara terbaik dunia. Mimpi juga
menggerakkan Beethoven yang tuli menjadi seorang penggubah beberapa aransemen
musik klasik terindah dunia. Pun keteguhan mimpi seorang Walt Disney, melalui
Walt Disney Production, menjadi penguasa kerajaan bisnis dongeng. Demikian pula
dengan George Eastman, lewat Eastman Kodak Company, yang dijuluki sebagai
revolusioner dunia fotografi. Henry Ford, dengan Ford Motor Company, yang
diberi predikat sebagai pelopor mobil rakyat Amerika Serikat. Ray Kroc,
penguasa kerajaan bisnis burger, dengan McDonald’s-nya. Josephine Esther
Mentzer, yang mengubah kecantikan menjadi satu bisnis besar dengan payung Estee
Lauder Cosmetics, yang diberi julukan sebagai ratu bisnis kecantikan dunia.
Dari dunia politik-kebangsaan kita bisa mencontoh
Presiden pertama RI Ir Soekarno yang bersakit-sakit menghadapi kepongahan dan
kedzaliman Pemerintah Kolonial Belanda karena ingin mewujudkan mimpi Indonesia
Merdeka. Bung Karno sampai harus melewatkan perjalanan hidupnya di balik terali
besi Penjara Banceuy, Bandung, atau diasingkan ke Bengkulu. Pun tokoh-tokoh
nasional kita seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan Sam Ratulangi yang memimpikan
sebuah negara berdaulat Republik Indonesia. Sjahrir sampai meninggal di tempat
pengasingan, sementara Sam Ratulangi sempat diasingkan di Serui, Papua.
Kekuatan mimpi. The
power of dream. Mimpi menjadi kenyataan. The dream come true. Ada semerbak bunga dalam mimpi. Ada buah
sesudah bunga. Bermimpi menjadi bintang. Bercita-cita setinggi bintang di
langit. Hidup tanpa mimpi, tanpa cita-cita, rasanya membuat kita seperti tak
punya arah ke mana hendak melangkah. Namun, supaya kita tidak sekadar menjadi
pemimpi, laksana pungguk merindukan bulan, tentu mimpi-mimpi (cita-cita) yang
kita kibarkan harus terukur. Sesuai dengan kemampuan maksimal kita. Kemudian
kita bergerak dan bertindak merajut bentangan anak tangga guna meraih apa yang
kita mimpikan. Titik demi titik hingga menjadi sebuah garis. Begitulah cara
kita “membeli”mimpi, cita-cita. Mimpi yang mengukuhkan kompetensi, prestasi dan
reputasi.
Aprian Noor punya mimpi untuk tidak tersisih atau
terpinggirkan di kampung halaman sendiri. Dia ingin tegak berjalan di saat
investor datang. Dia tidak ingin menjadi pecundang manakala harus berkompetisi
dengan sumber daya manusia pendatang yang belum tentu lebih berkualitas atau
berkompeten dibandingkan putera asli daerah. Untuk itu dia ingin mengasah diri
dengan kompetensi yang diharapkan mampu menjadi nilai tawar yang kuat dalam
menapaki hari-hari lanjut di Kabupaten Barito Utara.
B. Kuliah Sembari Mengajar Kursus
Tahun 1988, Aprian Noor memutuskan untuk nekad
melanjutkan pendidikan tinggi. Pilihannya adalah Kota Pelajar Yogyakarta yang
memberikan banyak pilihan setiap anak manusia hendak menekuni bidang apa dalam
meretas masa depan yang lebih menjanjikan. “Saya kemudian pamit ke dua orang
tua. Mereka tidak melarang. Bagaimana lagi, kemampuan finansial amat terbatas,”
tutur Aprian Noor.
Dengan menumpan KM Kelimutu, Aprian Noor berangkat
dari Pelabuhan Banjarmasin menuju Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dari Ibukota
Jawa Tengah itu, dia menumpang bus umum ke Yogyakarta. “Syukur alhamdulillah
ada tetangga dari kampung halaman yang sama yang lebih dulu merantau ke
Yogyakarta dan bersedia ditumpangi sementara waktu, sebelum saya memperoleh
tempat kos,” Aprian Noor berkisah.
Yogyakarta ada di depan mata. Di sana terdapat
ratusan perguruan tinggi (terutama swasta) yang menawarkan bekal beragam ilmu
yang bermanfaat. Aprian Noor menjatuhkan pilihan pada ilmu yang tengah
dibutuhkan banyak pemberi kerja dan langsung dapat diaplikasikan di kampung
halaman, yakni ilmu komputer. Banyak perguruan tinggi, dan bahkan lembaga
kursus singkat, yang menawarkan cara cepat menguasai ilmu teknologi komputer.
Dia tidak asal pilih perguruan tinggi. Dia mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya
agar pilihannya tidak salah. Dengan bekal ijazah SMA tahun 1984, dia tidak
bermimpi untuk perguruan tinggi negeri yang kerapkali membatasi diri menerima
lulusan SMA.
Setelah melalui berbagai pertimbangan dan masukan,
dia mendaftarkan diri ke Akademi Perindustrian (Akprin) Yogyakarta pada
Fakultas Sains Terapan dengan program studi Ilmu Komputer. Akprin yang kini
berkembang menjadi Institut Sanins dan Teknologi Akprind Yogyakarta ini boleh
dikatakan perguruan tinggi swasta sekadar papan nama. Hal ini setidaknya tampak
pada visi yang diusung, yakni: menjadi institut yang favorit dan unggul di
bidang sains dan teknologi secara nasional. Dan juga misi bahwa Institut
mengedepankan dan menjunjung tinggi tata nilai, etika, estetika, norma, dan
budaya, sehingga sivitas Akademika dan para alumninya: Beretos kerja, disiplin,
jujur, bermoral dan bertanggung-jawab; Tenggang rasa, saling asih, asah dan
asuh, mampu kerja dalam tim demi prestasi dan efisiensi kerja; serta Menguasai
ilmu, memiliki keterampilan tinggi, dan berwawasan luas.
Tahun-tahun pertama kuliah di Akprind, walau dalam
jumlah yang relatif terbatas, Aprian Noor memperoleh kiriman biaya hidup dari
orang-tuanya. Minimal, berkat kiriman orang tua, dia dapat membuka jalan untuk menapaki
kehidupan pendidikan di Yogyakarta.
Pada tahun kedua, kiriman biaya dari orang tua
masih berjalan meski Aprian Noor tidak berharap banyak. Dia berusaha mencari
penghasilan sendiri agar tidak merepotkan kedua orang-tuanya di Muara Teweh. Bersyukur,
di tahun kedua kuliah di Akprind, dia memperoleh penawaran untuk ikut mengajar
kursus komputer yang menjadi sayap usaha perguruan tinggi swasta yang beralamat
di Jalan Solo tersebut.
“Untuk sekali mengajar selama 90 menit, saya
mendapat honor Rp5.000 dan uang transport sebesar Rp1.000. Jumlah itu relatif
cukup besar pada masa akhir 1980-an tersebut. Waktu itu sekali makan di warung
dengan harga mahasiswa cuma Rp150 dan tiga batang rokok hanya Rp100. Ya, hasil
dari honor mengajar di kursus itu cukuplah untuk hidup di Yogya. Memang harus
diakui tidak akan cukup kalau saya harus pulang kampung tiap liburan semester.
Sebab itulah, selama empat tahun kuliah di Yogya, saya tidak pernah pulang
kampung. Bagi saya tidak menjadi persoalan,” tutur Aprian Noor dalam kesempatan
berbincang belum lama ini.
C. Pulang Kampung Membuka Kursus
Waktu berlalu begitu laju. Tahun 1992, Aprian Noor
berhasil menyelesaikan program diploma di Akprind. Dia tidak ingin berlama-lama
tinggal di Kota Gudeg. Tekadnya kuat untuk pulang kampung, menyumbangkan ilmu
yang telah diperolehnya buat kemajuan masyarakat Muara Teweh dan sekitarnya. Tahun
1992 itu pula, dia memutuskan kembali ke kampung halaman yang telah menempanya
menjadi pribadi yang kuat dan bermartabat.
Ucapnya, “Waktu pulang itu, kakak saya Ir.
Setiabudi sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan. Dia menawari saya untuk masuk menjadi PNS di
lingkungan pemerintah provinsi. Saya berpikir, dengan bekal ijazah diploma,
berapa gaji seorang PNS, relatif kecil. Saya katakan ke kakak ‘tidak perlulah
kalau hanya jadi PNS’.”
Tekad dan mimpi Aprian Noor ketika itu hanya satu,
“Saya harus berhasil dalam mengembangkan kompetensi.” Dia tidak ingin
kebebasannya dalam mengembangkan talenta diri terbelenggu oleh garis-garis
birokrasi yang ada dalam sistem kerja PNS. Dia ingin secara maksimal
memanfaatkan naluri kewira-usahaannya untuk turut serta memajukan warga
masyarakat Muara Teweh khususnya dan Kabupaten Barito Utara pada umumnya.
Untuk menggapai mimpi tersebut, Aprian Noor
membentuk lembaga dan membuka kursus ilmu komputer. Naluri bisnisnya terpantik
manakala melihat geliat investasi yang terus berkembang di Kabupaten yang
mengusung moto Iya Mulik Bengkang Turan (pantang
mundur sebelum berhasil) ini. Iklim investasi yang semakin kondusif harus
disikapi dengan pembekalan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)
yang melek ilmu dan teknologi.
Dia mengawali usaha membuka kursus komputer dengan
label NDD Komputer di Jalan Timor, Muara Teweh, dengan modal empat unit
komputer personal computer di tahun
1992. Dalam waktu relatif cepat, usaha kursus komputer Aprian Noor maju pesat.
Dia berhasil membuka cabang-cabang di beberapa kota kecamatan, bahkan kabupaten
lain yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Barito Utara. Pada masa itu
memang masih jarang orang membuka usaha kursus komputer di Muara Teweh. Banyak
orang merasa bahwa masyarakat Muara Teweh dan sekitarnya belum membutuhkan
pengetahuan dan teknologi komputer. Tapi, pikiran Aprian Noor beberapa langkah
lebih maju.
Pemikiran Aprian Noor tidak meleset. Ketika dirinya
membuka usaha kursus komputer, banyak anak-anak muda yang mendaftarkan diri
untuk mengikuti kursus. Dia benar-benar mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya
di Akprind Yogyakarta guna membawa maju anak-anak muda Barito Utara agar melek
teknologi. Sampai kemudian dia membuka cabang kursus komputer di Puruk Cahu
yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Murung Raya.
Tidak hanya sebatas membuka usaha kursus komputer,
Aprian Noor juga berusaha meretas usaha yang masih berkaitan dengan dunia
komputer. Di masa-masa itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Barito Utara tengah
melakukan komputerisasi dalam sistem birokrasi. Pemkab banyak membutuhkan
komputer guna mendukung kelancaran jalannya birokrasi. Dengan kekuatan komputer
yang ada, Pemkab juga harus melakukan perawatan perangkat komputer. Aprian
membidik peluang ini sebagai kesempatan untuk memaksimalkan kemampuan dan kompetensi
dirinya.
Berbekal relasi yang cukup dengan kalangan birokrat
Pemkab Barito Utara, Aprian Noor mengajukan proposal pekerjaan perawatan
komputer milik Pemkab. Proposalnya memperoleh tanggapan positif sehingga NDD
Komputer memperoleh kepercayaan untuk merawat komputer-komputer milik Pemkab
Barito Utara.
Relatif tidak terlalu lama setelah membuka usaha kursus
komputer dan mengerjakan perawatan komputer Pemkab Barito Utara, sekitar tahun
1997, Aprian Noor merasa telah mapan sebagai pengusaha kursus komputer. Segala
kebutuhan material hidupnya mampu terpenuhi. Sebagai anak manusia, dia berusaha
memenuhi kebutuhan yang lain. Sebab, kebutuhan adalah motivasi bagi seseorang
untuk melakukan sesuatu. Pakar psikologi Abraham Maslow membagi kebutuhan
manusia ke dalam lima tingkatan. Pada lapisan paling bawah adalah kebutuhan
fisiologis. Yakni kebutuhan dasar untuk hidup bagi seseorang, seperti pangan,
sandang dan papan. Di tingkat kedua adalah kebutuhan akan rasa aman. Lalu,
tingkat ketiga, adalah kebutuhan ikut memiliki atau kasih sayang. Tingkat
berikutnya, adalah kebutuhan akan penghargaan. Dan pada lapis tertinggi, adalah
kebutuhan akan aktualisasi diri.
Berdasarkan hirarki Maslow tersebut, seorang anak
manusia tidak akan beranjak memenuhi kebutuhannya pada tingkat atas bilamana
kebutuhan tingkat dasarnya belum tercapai. Dalam bahasa yang sederhana, umpama,
seorang anak manusia jarang akan berpikir untuk memenuhi kebutuhan kasih sayang
antara sesama jika ia sendiri masih merasa lapar atau dalam dirinya masih
diselimuti perasaan belum aman.
Mengacu pada kerangka tingkat kebutuhan manusia a
la Maslow tersebut, psikolog Paul G. Stoltz membagi anak manusia yang hendak
mendaki kesuksesan ke dalam tiga tipe. Ibarat pendaki gunung terdapat tiga tipe
pendaki: pertama, quitters. Mereka
adalah orang-orang yang memutuskan berhenti atau keluar mundur dari jalur
pendakian. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka
anggap lebih datar, lebih mudah danaman untuk ditempuh. Mereka gagal memaksimalkan
potensi. Bahkan, mereka selalu lari dari arena pergulatan yang pahit dan tidak
tahan banting. Mereka hidup dalam batas minimal, misalkan jadi pegawai negeri.
Karena itu, para quitters selalu
menyesal di kemudian hari dengan mengatakan, “Seandainya dulu saya ...”
Kedua, campers.
Mereka adalah individu-individu yang berkemah. Mereka telah mendaki sampai pada
ketinggian tertentu lalu memutuskan berhenti, mencari tempat datar yang rata
dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka
merasa nyaman dengan apa yang telah mereka capai saat ini. Mereka selalu
berkata, “Ini sudah cukup baik.” Mereka menciptakan ‘penjara’ yang nyaman,
sebuah tempat yang terlalu enak buat ditinggalkan. Mereka belum mencapai
puncak. Tapi, mereka merasa takut kehilangan kenyamanannya berada di ketinggian
tertentu. Dengan memutuskan berkemah, the
campers tidak berniat mencapai puncak tertinggi. Aktualisasi dirinya
menjadi terbatas. Mereka adalah pekerja yang baik sampai pada karir
profesional, bukan entrepreneur atau wirausahawan.
Ketiga, climbers.
Mereka merupakan orang-orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian sampai
puncak tertinggi. Mereka sampai pada puncak aktulisasi diri. Mereka merasa
yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. The climbers (pendaki) berkeyakinan
bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana kendati orang lain lebih banyak
bersikap sebagai the quitters dan the campers. Climbers sejati memang langka, karena tidak semua orang mampu, mau
dan berkesempatan.
D. Bersiap Diri Bertualang di Panggung
Politik
Aprian Noor tak ingin berhenti di zona nyaman usaha
kursus yang telah memberinya banyak kemajuan dan harapan. Melalui usaha kursus
komputer, kebutuhan dasar Aprian Noor telah terpenuhi. Bahkan, lewat usaha kursus
itu pula, di tahun 1993 dia menemukan tambatan hati seorang perempuan bernama
Annisa. Jatuh hati pandangan pertama pada perempuan yang ketika itu tengah
antre mendaftarkan diri menjadi peserta kursus komputer di awal-awal meretas
usaha kursus yang mulai dibutuhkan masyarakat Kabupaten Barito Utara. Di tengah
geliat investasi yang mulai terasa di Barito Utara, sumber daya manusia (SDM)
setempat harus siap dengan berbagai kompetensi (termasuk melek teknologi
komputer) agar tidak digilas oleh roda-roda kemajuan zaman.
Aprian Noor cukup memahami dan mengerti
prinsip-prinsip hirarki kebutuhan a la Maslow dalam mejalani kehidupan dan
meretas segala usaha. Dan, dia termasuk seorang climber sejati yang terus mendaki, mendaki dan mendaki. Dia ingin
terus mendaki dan terus mendaki sampai suatu saat nanti kita tak mampu lagi,
terhenti dan kembali pada-Nya.
Di tengah kemapanan finansial dan telah
tercukupinya semua kebutuhan dasar hidup, si anak manusia biasanya ingin
mencari tantangan baru sebagai pembuktian eksistensi dirinya. Untuk itu, dia
memutuskan kembali melanjutkan kuliah sampai tuntas jenjang sarjana. Di tahun
1997 itu, Aprian Noor mendaftarkan diri ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Kalimantan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Mengapa Aprian Noor lebih memilih melanjutkan
kuliah pada bidang yang jauh dari dunia bisnis kursus komputer? Mengapa dia
tidak merasa cukup mengembangkan usaha kursus komputer dengan melengkapi diri dengan penguasaan ilmu teknologi komputer yang
mumpuni? Pilihan jatuh pada penguasaan ilmu sosial dan ilmu politik.
Aprian Noor merasa bahwa usaha kursus komputer
sudah kurang memberikan tantangan yang lebih besar dan berat. Dari sisi nama,
dia sudah merasa cukup namanya menjadi semacam jaminan bahwa siapa pun yang
ingin ikut kursus komputer di wilayah Kabupaten Barito Utara ya masuk ke
lembaga kursus milik Aprian Noor. Nyaris tidak ada yang mampu menjadi pesaing
berat dalam bisnis kursus komputer. Dia merasa jenuh karena tidak ada lagi langkah-langkah
yang memberikan daya tarik untuk mengerahkan segala daya-upaya potensi yang ada
dalam dirinya. Dia ingin tantangan baru. Dia ingin mengembangkan diri pada
bidang yang juga merupakan bakat diri yang masih terpendam. Dia ingin
bertualang pada dunia yang lebih keras dan sangat mungkin akan melambungkan
namanya lebih jauh lagi ke jagad yang lebih luas, tidak sebatas langit cakrawala
Barito Utara.
Sebagai anak dari seorang politisi tersohor di
Barito Utara pada zamannya, Aprian Noor ingin pula menekuni dunia politik. Dunia
yang penuh ingar-bingar dan trik-intrik. Bagai buah yang jatuh tak jauh dari
pohonnya. Ada keinginan kuat untuk terjun ke dunia politik praktis. Ada
keinginan yang kuat untuk memberi maslahat dan manfaat pada orang yang lebih
banyak lagi. Dan dia tak hendak setengah hati turun ke gelanggang politik yang
dikenal keras dan kadang sampai menghalalkan segala cara.
Sebab itulah, Aprian Noor bertekad membekali diri
dengan disiplin ilmu yang pas dengan dunia politik praktis. Pilihannya masuk kuliah
ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Kalimantan dirasa
tepat. Dari fakultas ini dia berharap memperoleh bekal yang komplit,
setidaknya, tentang pengetahuan sistem politik di Indonesia, lembaga-lembaga
politik dalam sistem pemerintahan, ilmu perbandingan politik, komunikasi dan
hubungan antar-lembaga politik, dan model-model demokrasi politik pemerintahan.
Selain itu, pilihan ke Kota Banjarmasin pun cukup realistis karena dengan demikian
dirinya masih mampu memantau perkembangan usaha kursus yang telah memberinya
banyak hal. Dengan waktu tempuh Muara Teweh – Banjarmasin yang relatif tidak
terlampau lama, dia tetap bisa berkonsentrasi pada dunia kursus komputer agar
tidak terlantar atau tutup bangkrut.
Memang tidak gampang, melanjutkan kuliah sembari
terus berkonsentrasi menjaga keberlangsungan usaha yang telah membesarkan
dirinya. Untuk itu, dia berbagi pekerjaan dengan sang isteri. Secara praktis, manajemen
sehari-hari lembaga kursus komputer berada di tangan isteri tercinta. Aprian
Noor cukup sesekali mengecek dan memeriksa perkembangan lembaga kursus. Dengan
demikian, waktunya tidak tersita habis di lembaga kursus dan dia dapat
berkonsentrasi penuh menapaki hari-hari kuliah di FISIP Universitas Islam
Kalimantan. Dan, berkat perjuangan yang tak kenal waktu, mendekati tahun 2000,
dia berhasil menyelesaikan kuliah dan berhak menyandang gelar Sarjana Sosial (S.Sos).
Berbekal keilmuannya yang diperoleh di FISIP
Universitas Islam Kalimantan, memasuki tahun 2000 Aprian Noor mencoba tantangan
baru dengan membuka bisnis media massa cetak atau surat kabar. Setelah merekrut
beberapa rekannya yang memiliki pengalaman di media massa, dia meluncurkan
koran Poros Indonesia yang terbit di
Muara Teweh.
Sayangnya, nasib koran Poros Indonesia tidak secerah usaha kursus komputer yang telah
diretas Aprian Noor sejak tahun 1992. Koran lokal berskala nasional itu hanya
mampu bertahan hidup sekitar enam bulan. Dia merasa koran bukanlah dunia yang
cocok untuk ditekuninya. Dia ingat kata-kata bijak dari seorang developer sohor
Jerry Jones bahwa jika suatu pekerjaan sangat menguras tenaga (terasa sangat
sulit dijalani) barangkali hal tersebut tidak seharusnya kita jalani. Ibarat
berlayar, bila kita memperhatikan keadaan angin secara benar maka kita akan
dapat memanfaatkan arah embusannya untuk membantu kita.
Aprian Noor merasa kesulitan menangkap arah angin bisnis
koran, terlebih di daerah semacam Kabupaten Barito Utara. Masyarakat kita belum
memiliki kultur membaca sebagaimana dimiliki oleh orang Jepang. Orang-orang
Jepang, kapan pun dan di mana saja senantiasa lekat dengan kebiasaan membaca
–mulai dari buku, koran, novel, dan produk-produk media cetak lainnya. Dalam
kesempatan menunggu kereta di stasiun, menunggu antrean membayar rekening bank,
atau menanti giliran berobat di klinik kesehatan, orang-orang dari Negeri
Matahari Terbit itu selalu memanfaatkan keluangan waktu untuk membaca. Bahkan,
mereka tidak segan-segan membaca sembari berdiri di dalam kereta yang tengah
melaju menuju tempat kerjanya. Sementara orang-orang kita lebih memilih
mengobrol atau bergosip membuang-buang waktu luang daripada menghabiskan untuk membaca
pengetahuan yang bermanfaat. Sebab itu pula, acara-acara gosip di beberapa
stasiun televisi mampu bertahan dan memiliki rating yang relatif tinggi.
Sebaliknya, banyak media massa cetak gulung tikar bukan lantaran dibreidel
seperti pada masa Orde Baru tapi lebih karena tidak diterima oleh pasar.
Kendati begitu, Aprian Noor tidak patah arang dalam
mengarungi kehidupan. Dia tetap berkonsentrasi membawa laju usaha kursus
komputer pada trek yang tepat sehingga terjaga keberlanjutannya. Bahkan, usaha
kursus kompoternya terus berkembang dan masih sempat membuka beberapa cabang
baru di sekitar Kabupaten Barito Utara dan Barito Kuala.
Tapi, benak dan pikiran Aprian Noor tidak berhenti
di bisnis kursus komputer dan meratapi kegagalan melanggengkan penerbitan
koran. Benaknya terus bergerak mencari tantangan baru, kenyamanan baru, dan
bahkan aktualisasi diri yang lebih baru lagi. Dia berpikir tentang kompetensi
diri apa lagi yang dapat dikembangkan agar tidak sekadar sekali berarti setelah
itu mati. Dia ingin menorehkan arti dan makna kehidupan yang lebih panjang lagi,
tidak sebatas enam bulan seperti nasib koran yang pernah diterbitkannya.
Pikiran Aprian Noor teringat pada ayahanda H.
Darlan S yang seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang kemudian membanting stir
karir sebagai politisi. Seorang ayah yang tetap mengajarkan hidup sederhana
meskipun di tahun 1969 terpilih sebagai anggota DPR Gotong Royong dan anggota
DPR pada rentang tahun 1971-1977. Seorang ayah yang pernah masuk ke kawah
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang tetap bersahaja
mengajarkan bagaimana menyiasati kesulitan kehidupan menjadi peluang penuh
tantangan.
Ya, Aprian Noor terinspirasi pada “darah politik”
ayahanda yang mengalir dalam dirinya. Dia berpikir untuk terjun ke kancah
politik praktis. Tentu butuh modal awal agar tidak lewat begitu saja di medan
perpolitikan yang sangat keras dan tidak mengenal kawan atau lawan abadi. Dunia
perpolitikan yang cenderung mengedepankan kepentingan abadi.
Rupanya tidak banyak modal materi yang dimiliki Aprian
Noor. Karena, sebelumnya sempat terkuras saat menerbitkan surat kabar yang cuma
berumur enam bulan. Maka, dia berunding dengan isteri tercinta Annisa agar
jalan masuk dunia politik berjalan mulus dan ada dorongan energi yang lebih
kuat lagi. “Alhamdulillah isteri saya memberikan dukungan penuh ketika saya
memutuskan aktif masuk ke partai politik. Isteri saya tahu karena ada ‘darah
politik‘ yang mengalir dalam diri saya,” ujar Aprian Noor suatu waktu.
Aprian Noor pun bersiap memasuki kancah politik lokal
Kabupaten Barito Utara. Untuk mempertebal modal, dia menjual sebagian aset
usaha kursus komputer yang dimilikinya. Dan tahun 2003 dia benar-benar masuk
dunia politik dengan bendera yang tidak berbeda dengan partai yang pernah
membesarkan nama ayahnya di jagad politik, yakni Partai Golongan Karya
(Golkar). “Saya punya modal saat itu sekitar Rp40 juta, relatif besar untuk
ukuran waktu itu. Saya ingin total memberi manfaat dan kemaslahatan kepada
lebih banyak orang,” tutur Aprian Noor ihwal tekadnya memasuki petualangan baru
dalam perjalanan hidupnya. ***
Comments
Post a Comment