Biografi-JR: Berbisnis dengan Nurani
Tak
seorang pun diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan
diberikan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya.
Calvin
Coolidge, Presiden Amerika Serikat 1923-1929
Purwakarta,
tahun 2000. Sebuah wilayah kabupaten yang relatif tidak
terlalu jauh dari Ibukota Jakarta. Tapi, Purwakarta waktu itu belum seramai
sekarang. Purwakarta hanyalah daerah kecil, seluas 971,72 km2 atau sekitar 2,81
persen dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Dengan begitu sawah yang ada juga relatif
sempit, hanya sekitar 228 km2. Boleh dikatakan wilayah yang ketika itu tengah
didorong menjadi daerah industri ini lekat dengan kemiskinan. Denyut kehidupan
wilayah yang cukup strategis itu belum banyak diperhitungkan oleh para penanam
modal. Masih kalah populer dibandingkan dengan Cikampek (Kabupaten Karawang) dan
Cikarang (Kabupaten Bekasi) yang telah lama diramaikan oleh kawasan industri.
Purwakarta menjadi akrab di telinga warga masyarakat setelah dibuka akses Jalan
Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) sekitar tahun 2007. Akses ke
Purwakarta menjadi demikian gampang dan cepat. Serta mulai diperhitungkan
sebagai salah satu kawasan industri andalan setelah tahun 2003 Pemerintah
Kabupaten Purwakarta menetapkan kawasan industri seluas 2000 hektar, zona
industri seluas 3000 hektar serta kawasan pariwisata Jatiluhur.
Sebagai sebuah wilayah kabupaten, di tahun 2000, penduduk
Purwakarta saat itu sudah relatif padat, 698.353 jiwa atau kepadatan 719 jiwa
per kilometer persegi dengan pertumbuhan 2,22 persen. Purwakarta ketika itu
mulai meretas jalan menjadi salah kabupaten penyangga Ibukota Jakarta dan hinterland Ibukota Provinsi Jawa Barat
(Bandung). Di beberapa titik wilayah mulai muncul kawasan-kawasan industri.
Terutama
di Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Babakancikao dan Campaka. Ada upaya
mengubah citra Purwakarta sebagai kota pensiun menjadi kota industri dan
pariwisata. Menjadi segitiga emas Jakarta-Purwakarta-Bandung dan
Bandung-Purwakarta-Cirebon.
Purwakarta tampil bagai gula. Lazimnya pepatah ada
gula ada semut, orang pun mulai berdatangan ke wilayah yang dulu merupakan
salah satu pusat kerajaan di Tanah Pasundan ini. Sampai kemudian komposisi
pendatang (migran) mendominasi piramida penduduk Purwakarta. Jumlah migran
permanen adalah 51,83 persen dengan kisaran umur 15-19 tahun. Kemudian migran
temporer sebanyak 0,30 persen. Sedangkan komposisi gender antara laki-laki dan
perempuan relatif setara, yaitu 51,21 persen dan 48,79 persen. Prosentase
penduduk angkatan kerja di Kabupaten Purwakarta saat itu sebesar 282.961 orang
(50,74 %), sedangkan bukan angkatan kerja 274.679 (49,26 %). Dari angkatan
kerja tersebut jumlah yang sudah bekerja sebanyak 264.991 orang (93,65 %), dan
pencari kerja sebanyak 17.970 orang (6,35 %).
Repotnya, sebagaimana daerah industri pada umumnya,
Purwakarta menghadapi persoalan kesejahteraan kaum buruh atau pekerja. Penghasilan
mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari. Sementara kebutuhan papan dipenuhi dengan upaya mengontrak atau
menyewa rumah petak yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan di sentra-sentra
perindustrian. Mereka sedikit abai terhadap kebutuhan penting seperti kesehatan.
Jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja pun relatif minim. Ketika
mereka jatuh sedikit, hanya mampu mengandalkan obat warung atau pengobatan
alternatif yang kadang penuh risiko. Sampai kemudian banyak di antara mereka
yang mengalami sakit kronis dan terlambat memperoleh pertolongan. Dan tak
sedikit pula yang bahkan jiwanya tak tertolong.
Banyak kaum buruh dan warga masyarakat kurang mampu
lainnya di wilayah Purwakarta kala itu dilanda semacam rasa takut berobat ke
klinik atau rumah sakit. Mereka merasa takut tidak bisa membayar biaya
pelayanan kesehatan. Apalagi banyak rumah sakit yang memberlakukan ‘kewajiban’
membayar uang muka sebelum pasien ditangani.
Tidak hanya kaum buruh atau pekerja yang mengalami
keadaan kesehatan yang memprihatinkan. Secara umum kondisi kesehatan warga
Kabupaten Purwakarta ketika itu kurang menggembirakan. Pertumbuhan penduduk
Purwakarta saat itu relatif tinggi, sekitar 2,22 persen. Hal ini berkait
dengan angka kelahiran bayi dan jumlah
penduduk perempuan usia subur. Di masa itu jumlah perempuan usia subur (usia
15-49 tahun) adalah 27,78% dari total jumlah penduduk. Keberadaan perempuan
usia subur tersebut menyebar di setiap kecamatan dengan kisaran prosentase:
Kecamatan Purwakarta 32,58%, Kecamatan Jatiluhur 9,43%, Kecamatan Campaka
13,61%, Kecamatan Plered 5,06%, Kecamatan Darangdan 7,73%, Kecamatan Tegalwaru
4,37%, Kecamatan Maniis 2,24%, Kecamatan Sukatani 3,51%, Kecamatan Wanayasa
9,53% dan Kecamatan Pasawahan 7,96% serta Kecamatan Bojong 3,98%.
Berkaitan dengan jumlah perempuan usia subur, anak
pernah dilahirkan dan yang masih hidup menurut golongan umur ibunya tahun 1990
berjumlah 144.677 jiwa meningkat menjadi 160.364 pada tahun 1999 dan 180.676
jiwa pada tahun 2000, sedangkan jumlah anak lahir hidup berjumlah 333.221 orang
menjadi 334.384 orang pada tahun 1999. Tahun 2000 jumlah anak lahir hidup
meningkat menjadi 353.199 orang.
Terkait dengan indikator-indikator kesehatan di antaranya
adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan
Hidup (AHH). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta menyebutkan bahwa AKB
di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2000 sebesar 66,68 orang per 1000 kelahiran
hidup. Kemudian AHH penduduk Purwakarta pada tahun itu hanya 60,39 tahun. AHH
Kabupaten Purwakarta menempati urutan ke-17 di Jawa Barat serta masih di bawah
rata-rata AHH Jawa Barat sebesar 62,48 tahun. Pendek kata, potret kondisi
kesehatan warga Kabupaten Purwakarta pada masa itu kurang menggembirakan.
A. Nurani yang Mudah Tersentuh
Sekitar tahun 2000 itu, sebagai perwira pertama TNI
Angkatan Darat, Jopinus Ramli (JR) Saragih memperoleh amanah tugas menjadi
komandan polisi militer di salah satu wilayah Kabupaten Purwakarta. Sampai
suatu ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri seorang ibu meninggal dunia
saat hendak melahirkan. Penyebabnya, si ibu bernasib malang itu tak tertolong gara-gara
sudah amat terlambat tiba di rumah sakit.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam bingkai
keprihatinan, nurani JR Saragih begitu tersentuh, hatinya bagai teriris
sembilu. Masa lalu JR Saragih memang boleh dikatakan kurang beruntung. Lahir
sebagai bungsu dari lima bersaudara anak pasangan orang tua Rasen Saragih dan
Theresia, tahun 1969, ketika baru berumur sekitar satu tahun, sang ayahanda
dipanggil pulang Tuhan Yang Maha Kuasa. Kakak-kakak JR Saragih dibawa pamannya
ke daerah Aceh. Sementara JR Saragih tinggal bersama kakek-neneknya di Pematang
Raya, sampai kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Dia langsung terpisah dari
kakak-kakaknya.
Nestapa belum juga pergi dari kehidupan JR Saragih.
Saat kelas 4 SD itu, neneknya meninggal dunia. Dia pun pontang-panting
menghidupi diri sendiri. Dia lalu meninggalkan Pematang Raya, bekerja
serabutan, termasuk sempat menjadi kernet mobil omprengan. Kendati begitu, dia
tidak melupakan sekolah.
Tamat SMP di Kecamatan Munthe, tahun 1984, JR
Saragih memutuskan merantau ke Ibukota Jakarta. Di sini, dia pertama kali
datang ‘menumpang’ di abang tertua H. Anton Saragih. Tak lama memang, cuma
sekitar enam bulan. Setelah itu, dia memutuskan tinggal mandiri dengan menyewa
satu kamar di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Sembari melanjutkan sekolah
SMA, dia sempat bekerja serabutan jadi kuli galian pasir. Meski tertatih-tatih,
dia berhasil menamatkan pendidikan di SMA Prasasti dan kemudian melanjutkan
pendidikan tinggi di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah.
Dari pendidikan militer di kawasan Lembah Tidar
(Kampus AMN), JR Saragih berhasil membawa pulang pangkat Letnan Dua TNI
Angkatan Darat. Cakrawala kehidupan yang lebih cerah, lewat karir pengabdian
kepada nusa-bangsa. Sampai kemudian bertugas sebagai komandan polisi militer di
wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. “Saya banyak bersyukur dalam hidup
ini, sekolah lancar, kuliah di Akademi Militer dibiayai oleh negara. Dan
sekarang dipercaya rakyat mengemban amanah menjadi Bupati Simalungun,” ujar JR
Saragih.
Keberanian, kegigihan dan ambisi; tiga kunci sukses
JR Saragih mengubah perjalanan hidupnya dari nestapa menjadi sukacita. Kita teringat
kisah Soichiro Honda, seorang miliuner dan industriwan yang telah menyumbangkan
khazanah kebanggaan bagi bangsa Jepang. Dia bukanlah sosok manusia yang
terlahir dari keluarga yang kaya atau bangsawan berdarah biru. Dia bukan pula
manusia planet yang otak dan ototnya berbeda dengan makhluk bumi. Yang
membedakannya dengan kebanyakan manusia adalah keyakinan dan ambisinya.
Soichiro Honda termasuk orang yang sangat mengagumi Napoleon Bonaparte, tokoh
yang banyak diceritakan oleh ayahnya semasa dia masih kecil.
Soichiro Honda menulis dalam catatan hariannya,
“Saya membayangkan dia (Napoleon Bonaparte) seorang lelaki yang ukuran fisik
dan kekuatan tubuhnya sepadan dengan daya kekuatan dan popularitasnya. Ketika
kelak saya tahu dari buku-buku sejarah bahwa ia berbadan pendek dan gemuk, saya
kecewa. Saya sendiri tidak berbadan tinggi dan tentunya mempunyai keyakinan
bahwa orang tidak boleh diukur dari tinggi badannya, tapi dari tindakannya dan
jejak yang ditinggalkannya dalam sejarah umat manusia. Saya juga mendengar
bahwa Napoleon berasal dari latar tidak terhormat dan keluarganya pun miskin.
Saya berkesimpulan bahwa untuk mencapai sukses, seseorang tidak perlu
dilahirkan dari keluarga kaya atau terhormat. Banyak sifat lain yang membuat
orang sukses: keberanian, kegigihan, dan ... ambisi.”
Kembali ke JR Saragih, dengan latar belakang masa
silam yang nyaris kelam, dia kini menjadi sosok yang gampang tersentuh pada
hal-hal di sekelilingnya yang memprihatinkan dan menyengsarakan. “Karena miris
melihat kondisi masyarakat Purwakarta ketika itu yang tak mampu mengakses
pelayanan kesehatan, saya pun bertekad kuat ingin membantu warga masyarakat,
yakni dengan membuka klinik kesehatan. Saya ceritakan ke Bupati Purwakarta saat
itu Pak Bunyamin Dudih, bagaimana kita bisa menghidupkan dan melayani warga
masyarakat yang ada di Purwakarta ini agar mereka menjadi hidup nyaman dan
sehat, misalkan mendirikan klinik kesehatan dengan biaya yang terjangkau,” tutur
JR Saragih mengenang.
Kendati waktu itu sudah banyak berdiri rumah sakit
umum dan rumah sakit bersalin di Purwakarta, Bupati Purwakarta Bunyamin Dudih
SH merespon positif niat baik JR Saragih tersebut. Bupati Bunyamin mendukung
penuh upaya JR Saragih mendirikan klinik kesehatan dengan niat membantu warga
masyarakat yang sulit mengakses pelayanan kesehatan pada sumah sakit yang telah
ada. Tapi, dari mana JR Saragih harus memulai. Sebagai prajurit TNI, gajinya
relatif tidak terlampau berlebih. Padahal, untuk mendirikan sebuah klinik (meski
kecil-kecilan) tetap saja membutuhkan modal yang tidak sedikit, minimal fisik bangunan
rumah toko (ruko) atau bangunan sekelas pos pelayanan kesehatan di desa. Bangunan
yang sudah barang tentu paling tidak harus memiliki fasilitas air bersih, MCK,
dan kamar periksa. Sebuah bangunan yang relatif tidak murah.
JR Saragih tidak berkecil hati. Inilah sebuah
tantanganyang harus dihadapi dengan keberanian, kegigihan dan ambisi. Dan
tantangan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tapi harus dihadapi dan
dicarikan solusi. Dengan bermodal gajinya yang tidak seberapa besar, dia
menyewa sebuah rumah untuk dijadikan klinik di kawasan Jalan Raya Cibeuning, Bungursari.
Dia lalu mengajak koleganya yang berprofesi tenaga medis dan tenaga paramedis untuk
ikut menjadi tenaga inti pelayanan kesehatan kliniknya. Tak terlalu sulit
baginya buat mengajak mereka, karena sudah sejak lama JR Saragih biasa menjalin
pertemanan yang sangat akrab dengan siapa saja. Banyak orang sangat bersimpati guna
mewujudkan mimpi JR Saragih melayani warga masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan.
Sampai kemudian klinik kesehatan dibuka dan mulai berjalan.
Satu dua pasien mulai berdatangan minta pertolongan medis. Bak kata pepatah
sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, selain dia terus berusaha menanamkan
gajinya buat biaya operasional klinik, kedatangan pasien yang semakin banyak
dapat sedikit menggelindingkan roda perjalanan klinik. Klinik pun lancar
melayani warga masyarakat yang datang berobat.
Dengan usaha gigih tiada henti, JR Saragih pun
mampu membeli sebidang tanah seluas 770 meter persegi yang masih berada di
sekitar kawasan Jalan Raya Cibeuning, Bungursari. Dia lantas bermimpi lebih
besar lagi, tidak sekadar klinik kesehatan sederhana. Tapi, membesarkan sebuah
klinik yang berbasis operasi kepada pasien. Perlahan namun pasti, dia bangun
klinik sampai memasuki kelas rumah sakit. Benar memang kemudian dia mendirikan
rumah sakit yang diberi nama Efarina Etaham.
Berkat kelengkapan basis operasi, pasien yang datang
berobat terus bertambah. “Mengingat banyak pasien kurang mampu datang berobat,
kalau dihitung-hitung sampai ada semacam subsidi sekitar Rp200 juta. Niat saya
menolong setulus hati, bukan mencari untung dari usaha klinik atau rumah sakit.
Puji Tuhan, tidak terlalu lama saya harus mensubsidi pasien yang kekuragan,
subsidi itu terus mengecil dari hari ke hari. Bahkan, terutama setelah dibuka
Jalan Tol Cipularang, saya lebih banyak mendapat untung daripada harus
mengeluarkan bantuan buat warga yang kurang mampu,” papar JR Saragih.
JR Saragih terus memperbaiki manajemen RS Efarina
Etaham. Dia memilih orang-orang yang memang ahli mengelola manajemen rumah
sakit yang kini sangat dikenal oleh para pekerja di kawasan industri Bungursari
khususnya dan masyarakat Purwakarta umumnya. Tahun 2011 lalu, RS Efarina Etaham
Purwakarta menjadi tonggak penting perjalanannya. Merajut jalinan kerja sama
dengan PT Jamsostek (Persero), RS Efarina Etaham meluncurkan produk pelayanan
kesehatan berupa paviliun khusus bagi peserta Jamsostek yang diberi nama Trauma
Center Jamsostek. Sebuah langkah bisnis yang sangat strategis dan RS Efarina
Etaham benar-benar memperoleh kepercayaan besar dari kaum pekerja di wilayah
Kabupaten Purwakarta. Sebuah kepercayaan yang harus dibayar dengan kerja keras
sepenuh hati.
Pola kerja sama RS Efarina Etaham dengan PT
Jamsostek ini akan dijadikan acuan ke depan. Dengan jalinan kerja sama ini,
perusahaan atau keluarga pasien tidak perlu mengeluarkan biaya pelayanan
kesehatan. “Cukup menunjukkan Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) dan surat pengantar
dari perusahaan yang terdaftar dalam program ini kepada rumah sakit penyelenggara
Trauma Center Jamsostek, pasien bisa langsung mendapatkan pelayanan,” jelas
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Informasi PT Jamsostek HD Suyono saat
meresmikan Trauma Center Jamsostek RS Efarina Etaham, April 2011. Trauma Center
Jamsostek merupakan bentuk penghargaan PT Jamsostek kepada perusahaan peserta
jaminan sosial yang tertib administrasi dan membayar iuran secara tepat waktu.
Dalam kerja sama ini RS Efarina Etaham menyediakan paviliun
khusus dengan 60 tempat tidur dari 216 tempat yang tersedia untuk pekerja peserta
Jamsostek. Paviliun yang dinamai Trauma Center Jamsostek ini untuk memberikan
pelayanan cepat kepada pekerja peserta Jamsostek yang mengalami kecelakaan
kerja. Kalangan kedokteran menyatakan bahwa kematian dan kecacatan pada
kecelakaan kerja sangat ditentukan oleh penanganan pertama pada satu jam
pertama setelah kecelakaan. Penanganan satu jam pertama yang disebut the golden how itu mampu menyelamatkan
sekitar 85 persen korban dari kematian atau kecacatan.
PT Jamsostek telah menentukan 60 jenis kesakitan
yang umum terjadi akibat kecelakaan kerja. Ke-60 jenis kesakitan tersebut
memudahkan Unit Trauma Center Jamsostek memberikan pelayanan kepada peserta
yang menjadi korban.
Demikianlah, berangkat dari nurani yang trenyuh dan
tersentuh, JR Saragih berhasil membangun rumah sakit yang kini cukup megah.
Rumah sakit yang kini berdiri di atas lahan seluas tiga hektar. Tahun 2008, RS
Efarina Etaham sudah memperoleh akreditasi RS tipe A dengan total karyawan
berjumlah sekitar 300 orang, 120 orang di antaranya dokter.
“Dengan perjalanan RS Efarina Etaham seperti
sekarang ini, banyak orang yang datang kepada saya dan mengucapkan terima kasih
serta mendoakan bagi kebaikan dan perbaikan rumah sakit ini ke depan,” tutur JR
Saragih dengan penuh kerendahan hati.
B. Banyak Memberi Banyak Menerima
Kini RS Efarina Etaham tidak hanya dapat dijumpai
di Purwakarta, Jawa Barat. Kita pun bisa menemui RS Efarina Etaham di Kabupaten
Kerinci (Jambi) dan Brastagi (Sumatera Utara). Dan sebentar lagi di Kabupaten
Simalungun. Bahkan, JR Saragih juga telah melengkapi usaha kelompok RS Efarina
Etaham dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan. Saat ini ada sekitar
800 siswa belajar di SMK Kesehatan Efarina Etaham.
“Setiap ada waktu, saya datang ke SMK untuk
memberikan motivasi kepada para siswa. Saya memberi motivasi setelah lulus
nanti mereka bisa bekerja di RS Efarina Etaham atau bisa pula di rumah sakit
lain. Saya tahu siswa-siswi SMK ini tidak semuanya dari kalangan orang yang
mampu secara ekonomi, banyak pula yang tidak mampu. Untuk itu, saya berusaha
membantu sekuat mungkin, misalkan memberikan makan dan beasiswa. Saya tidak
memperoleh bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau
sumber dana lainnya. Sebab itu, saya menerapkan subsidi silang untuk mengelola
SMK Kesehatan itu,” papar JR Saragih.
Tidak cuma sebatas di saat sekarang ketika
mengelola SMK Kesehatan, JR Saragih berusaha berbagi dan memberi. Jauh hari, saat
merintis usaha klinik pelayanan kesehatan yang merupakan embrio RS Efarina
Etaham, dia sudah menerapkan filosofi berbagi dan memberi. Dia percaya betul
bahwa dengan banyak memberi maka kita akan semakin banyak pula menerima. Dia
percaya benar bahwa langkah pertama yang bisa kita tempuh untuk mendapatkan
kesuksesan sejati adalah dengan terlebih dulu memberi. Bahwa memberi akan membuka
kran rejeki. Tentu dengan pemberian yang efektif dan tepat sasaran.
Kran rejeki kita akan terbuka karena pemberian yang
efektif mengaktifkan "hukum imbalan sepuluh kali lipat" atau "the law of ten-fold return". Dengan
uang sedikit yang kita berikan, akan kembali ke kita berlipat ganda dan bahkan menjadi
sumber rejeki baru.
JR Saragih merasa bahwa kalau kita ingin segera menuai
sukses dan kebahagiaan dalam hidup ini, maka kita harus memberi, kapan pun dan
dalam keadaan bagaimana saja. Dia memulai dengan memberikan gajinya sebagai
prajurit untuk membuka klinik pelayanan kesehatan dengan niat ikhlas membantu
warga masyarakat yang kekurangan atau fakir. Dia merasa nyaman melepaskan apa
yang dimilikinya saat itu. Dia memberikan tangan (gaji) dan hati (niat ikhlas)
yang dimilikinya.
Dengan memberi, Tuhan akan melimpahi anugerah atau
hadiah pada kita umat manusia. Hidup penuh anugerah adalah dambaan setiap umat manusia.
Sayangnya tidak setiap kita mengerti bahwa anugerah itu membutuhkan ruang. Acapkali
kita meminta anugerah-Nya tanpa menyadari bahwa seluruh ruang yang ada dalam
diri kita telah penuh terisi kelimpahan.
Tuhan akan memberikan hadiah, bila kedua belah
tangan kita telah siap menerimanya. Arti kata, tidak ada sesuatu apapun yang
sedang kita genggam. Tangan kita tidak sedang menggenggam dan mempertahankan
sesuatu. Itulah esensi dari menerima perlu memberi. Menerima perlu
mengorbankan. Anugerah perlu pelepasan.
Pemahaman sederhananya, uang yang akan masuk ke
dompet kita juga butuh ruang, maka berikan ruang yang cukup. Barang-barang yang
telah usang dan tak lagi kita perlukan, hendaknya kita keluarkan dari lemari.
Anugerah baru butuh ruang yang cukup. Untuk hadirnya anugerah baru, bukan hanya
dibutuhkan kesediaan untuk melepas, tetapi juga kesiapan untuk menerima.
Kesediaan untuk melepaskan itu butuh jiwa besar. Pelepasan bukan hanya perlu, namun
juga penting.
Pelepasan tidak jarang terasa “sakit”, persis prosesi
perempuan yang sedang berjuang hendak melahirkan jabang bayi. Ia kesakitan dan
bahkan berdarah-darah. Tetapi sesaat kemudian, jabang bayi baru yang luar biasa
hadir sebagai anugerah terindah dalam hidupnya.
JR Saragih menyadari semua perjalanan harus dimulai
dari satu langkah kecil melepaskan sesuatu. Semua anak belajar bicara dengan ‘melepaskan’
satu kata sederhana lebih dulu. Jadi ketika mengawali penerapan filosofi
memberi ini, dia memulai dari hal kecil yang menyentuh nurani dan dirinya merasa
nyaman tanpa tekanan. Dengan perasaan nyaman, langkah pun terasa enteng penuh
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Keikhlasan dan rasa syukur akan
penjagaan dan karunia Tuhan lah yang menjadi motivasi JR Saragih dalam langkah memberi
yang efektif.
Dengan terbiasa memberi, JR Saragih ingin merasakan
kesuksesan yang lebih besar lagi. Sedikit demi sedikit dia mulai menambah
jumlah pemberian, karena langkah memberi ini pada gilirannya diyakini akan mampu
meningkatkan kondisi perekonomian yang dia bangun. Dan inilah salah satu nilai
kearifan lokal yang sampai sekarang masih lekat dengan orang Batak.
Sebagai manusia Batak, JR Saragih memahami betul
kearifan lokal Suku Batak yang telah berlaku turun-temurun sejak ratusan tahun
lampau. Di kalangan Suku Batak kita kenal ungkapan mangkok lawes mangkok reh. Maknanya, mereka yang memberi maka mereka
pula yang akan menerima balasannya.
Bagi Suku Batak, setiap perbuatan akan mendatangkan
akibat yang setimpal, seperti terselip pesan dalam pepatah, adi ngalo la rido, nggalar la rutang, yang
artinya jika menerima sesuatu yang tidak sah atau tidak wajar, maka akan
mendatangkan bencana. Sebab itu, dalam pepatah lainnya disebutkan, pangan labo ate keleng tapi angkar beltek.
Artinya, boleh melakukan apa saja tapi harus memikirkan dampak yang akan ditimbulkannya
(Prinst, 2004: 66).
Apa yang diterapkan JR Saragih ketika memulai usaha
rumah sakit dengan filosofi banyak memberi banyak menerima, mengingatkan kita
pada kisah nyata perjalanan hidup Sir Alexander Fleming (penemu Penicilin) dan
Sir Winston Churchill (PM Inggris tahun 1940-1945 dan 1951-1955).
Kisahnya kurang lebih begini: pada suatu hari,
seorang petani Skotlandia bernama Fleming yang hidup miskin mendengar tangisan
seorang anak kecil yang terperosok ke dalam kubangan lumpur. Sang anak masuk ke
dalam kubangan yang amat berbahaya. Fleming secara cepat membantu si anak kecil
keluar dari kubangan lumpur tersebut. Anak itu pun selamat dan dapat kembali ke
rumahnya.
Keesokan harinya, ayah si anak yang diselamatkan
oleh Fleming datang ke rumahnya. Sang Ayah ini mengucapkan terima kasih kepada
Fleming. Kebetulan dia salah satu orang kaya di kawasan tersebut. Dia
menawarkan apa saja yang diinginkan oleh FLeming sebagai ucapan terima kasih
atas jasa Fleming menyelamatkan anaknya. Namun Fleming dengan rendah hati
menolaknya, karena dia melakukan hal tersebut dengan sukarela.
Namun sang ayah dari anak yang diselamatkan ini mengajukan
satu permintaan saat melihat ternyata Fleming juga memiliki seorang anak. Dia
melihat kondisi rumah Fleming yang kecil dan kehidupannya yang miskin, pastilah
Fleming tidak mampu membiayai sekolah anaknya hingga level universitas. Maka orang
kaya ini menawarkan diri akan membiayai sekolah anak Fleming hingga level
universitas. Sebuah pemberian penuh totalitas.
Tahun demi tahun berlalu, anak Fleming kemudian
dimasukkan ke universitas terbaik saat itu, yaitu St. Marys Hospital Medical
School di London. Bersyukur, anak Fleming juga tidak menyia-nyiakan kesempatan
yang diberikan orang kaya tersebut. Anak Fleming belajar tekun dan menjadi
sangat terkenal. Dia menemukan sebuah obat yang bernama Penicilin, yaitu
sejenis antibiotik yang dihasilkan oleh jamur Penicillium notatum. Zat temuannya ini dapat digunakan untuk mematikan
banyak jenis bakteri yang berbahaya bagi tubuh manusia. Anak Fleming ini
bernama Sir Alexander Fleming
(1881-1955).
Bertahun-tahun kemudian, anak si orang kaya yang
membiayai kuliah Fleming terserang pneumonia. Saat itu, satu-satunya obat yang
mampu menyelamatkan sang anak adalah Penicilin. Ya Penicilin yang ditemukan
oleh Alexander Fleming. Nama anak orang kaya tersebut adalah Sir Winston
Churchill (1874-1965).
Kisah nyata ini meneguhkan keajaiban memberi. Setiap perbuatan baik akan
mengembalikan perbuatan baik yang lebih besar kepada kita.
Beri, beri dan beri! Hidup ini seperti gema, apa
yang kita keluarkan akan kembali lagi kepada kita. Ketika kita menabur hal-hal
negatif maka kita akan menuai hal yang negatif pula. Apa yang kita keluarkan
akan kembali lagi kepada kita. Apa yang kita berikan akan kita dapatkan
kembali, bahkan berkali-kali lipat dari apa yang kita berikan. Jika kita
memberi, maka kita akan menerima. Persis seperti hukum aksi-reaksi dalam ilmu fisika.
Hukum ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Alam semesta cenderung
mengembalikan apa yang sudah kita berikan dan kita juga harus memberikan apa
yang telah kita terima.
C. Bekerja Tanpa Pamrih
Satu hal lagi yang juga menarik dalam diri JR
Saragih adalah etos kerjanya yang tanpa pamrih saat memulai usaha atau bisnis
klinik kesehatan. Tidak mudah, sungguh, orang mencapai tingkatan bekerja tanpa
pamrih. Hanya orang-orang yang berhati bersih, dekat dengan jalan Tuhan dan
menyikapi kehidupan penuh kelapangan yang mampu bekerja tanpa pamrih.
Coba kita simak cerita yang cukup populer di kalangan
orang-orang yang menerapkan kehidupan dekat dengan jalan Tuhan berikut ini. Syahdan,
dalam perjalanan sebuah inspeksi ke beberapa daerah, seorang raja sebuah negeri
melihat seorang petani tua sedang menyirami tanaman anggur di kebunnya. Sang raja
kemudian menghampiri si petani tua lalu menegur, ”Tahukah bapak, bahwa jenis
anggur yang bapak tanam ini adalah jenis anggur yang khas dan langka serta
tidak akan berbuah sebelum usia di atas enam tahun.”
Si petani tua menjawab, ”Benar paduka. Jenis anggur
ini memang lama berbuahnya, bahkan bisa sampai tujuh tahun baru berbuah.”
”Dan, bapak tetap menanam?” tanya sang raja keheranan.
”Ya paduka, karena jenis ini adalah jenis anggur
terbaik,” jawab si petani tua.
Sang raja kemudian turun dari kuda menghampiri
petani sambil menepuk pundaknya dan mengatakan, ”Temanku, Maha Kuasa Tuhan.
Semoga Tuhan menganugerahimu usia panjang. Karena bagaimanapun, bisa jadi lusa
kita tak pernah lagi bertemu. Jadi, apa sebenarnya yang membuat bapak tetap
menanam anggur yang belum tentu bapak nikmati?”
“Paduka, memang benar adanya. Mungkin saya tak akan
menikmati hasil tanaman ini. Bisa jadi saat tanaman ini berbuah saya sudah
meninggal. Namun kematian saya tidak berarti berakhirnya kehidupan dunia ini.
Anak cucu saya, tetangga dan teman-teman saya, di antara mereka pasti ada yang
masih hidup. Kelak merekalah yang akan menikmati hasilnya.” Demikian penjelasan
si petani tua kepada sang raja.
Sang raja terharu. ”Maha Kasih Tuhan. Kau berhati
mulia. Kau melakukan sesuatu tidak untuk dirimu sendiri. Kau bekerja tanpa
pamrih. Bapak, kelak jika tanaman ini berbuah dan kita masih hidup, bawakan
saya sekeranjang hasil tanamanmu, sebagai saksi persahabatan kita ini.” Begitu sang
raja menutup perjumpaannya dengan si petani tua itu lantas pergi melanjutkan
perjalanan.
Alkisah, beberapa tahun berselang, tanaman anggur petani
tua itu berbuah. Si petani tua itu kemudian menyiapkan sekeranjang anggur untuk
sang raja, sebagaimana permintaan sang raja dulu. Diceritakan oleh para ahli
hikmah, sang raja sangat menghargai ketulusan jiwa si petani tua itu. Sang raja
sangat mengagumi kedermawanan dan perbuatannya yang tanpa pamrih. Setelah
memindahkan anggur ke wadah yang terbuat dari emas, sang raja memerintahkan
kepada menterinya untuk mengisi keranjang itu dengan emas permata dan
memberikannya kepada si petani tua, sebagai imbalan atas kebaikannya yang
memberi inspirasi bagi sebuah keteladanan yang patut ditiru.
Cerita ini lantas menyebar ke seantero negeri
dengan berbagai ragam versi. Bahkan, sampai beredar cerita bahwa sang raja sangat
menyukai jenis anggur yang dihadiahkan kepadanya, hingga berani membayar mahal.
Lalu, seorang petani lain, yang kebetulan mendengar
cerita versi terakhir tersebut, langsung menyiapkan sekeranjang anggur jenis
yang sama untuk dihadiahkan kepada sang raja. Dan sudah barang tentu, dengan
harapan dia akan memperoleh seperti apa yang telah didapat si petani tua itu.
Sayang, dia harus menelan rasa kecewa, karena dia tidak mendapatkan apa yang
diinginkannya. Sang raja memahami kekecewaan si petani dan berkata, ”Petani tua
itu bekerja tanpa pamrih. Kedatangannya kemari juga tanpa harapan apapun. Dia
menghadiahkan anggur itu kepada saya. Kamu lain. Kamu ke sini dengan membawa harapan.
Kamu berdagang dengan saya. Itulah letak perbedaannya. Namun demikian, saya
tetap hargai lebih dari apa yang kamu bawa. Janganlah mengharap imbalan yang
sama dengan petani tua itu. Kamu belum memiliki jiwa dan semangat bekerja tanpa
pamrih.”
Sungguh bukan langkah mudah mencapai derajat bekerja
tanpa pamrih. Karena, hal ini menyangkut ketetapan hati, tidak semata-mata dengar-dengar
lalu ikut-ikutan arus kabar burung. JR Saragih tidak ingin hanya mengikuti ke
arah mana burung terbang membawa cerita. Dia punya ketetapan hati yang kuat
kendati harus jungkir-balik agar klinik kesehatan yang telah direstui Bupati
Purwakarta terus berjalan. Tak peduli bagaimana reaksi rekan, teman dan sejawat
yang seolah nyinyir melihat seorang tentara dengan perjalanan karir relatif
bagus mau-maunya melepaskan gajinya untuk biaya operasional klinik yang ketika
itu belum jelas prospeknya. Mau-maunya seorang komandan polisi militer turun
sendiri mengepel lantai klinik agar tetap bersih dan higienis.
“Ketika bekerja, saya tidak pernah memperhitungkan,
berapa sih saya dapat gaji atau penghasilan. Dari sinilah saya memperoleh
berkat atau anugerah dari Tuhan. Saya selalu bekerja keras, bekerja keras tanpa
memikirkan berapa penghasilan yang bakal saya peroleh. Itulah kebahagiaan bagi
saya. Dan ini pula yang saya coba tularkan kepada segenap aparatur Pemerintah
Kabupaten Simalungun, mereka mesti bekerja keras tanpa pamrih. Soal hasil
urusan nanti. Kalau kita sudah bekerja keras sepenuh hati, masa sih tidak ada
kepercayaan dan apresiasi dari warga masyarakat.
Kepercayaan dan apresiasi itu
secara otomatis akan mengikuti,” papar JR Saragih.
Dan sikap tanpa pamrih atau menghitung-hitung
perolehan atas keringat kerjanya ini pula yang melekat pada diri JR Saragih
tatkala memutuskan maju ke arena pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten
Simalungun pada tahun 2010.
Banyak orang maju ke Pilkada dengan
pertimbangan-pertimbangan bagai dagang sapi: apa yang bisa saya peroleh dengan
jabatan ini sehingga banyak orang menghalalkan segala cara untuk merengkuh
kursi kepala daerah. Tidak demikian halnya JR Saragih. Apalah artinya perolehan
tumpukan pundi-pundi, toh dari usaha layanan rumah sakit, dia sudah dalam hidup
lebih dari cukup. Apalah arti kursi bupati, toh dari karir militernya, dia tinggal
menunggu waktu untuk sampai pada kursi jabatan yang cukup prestise di jajaran
polisi militer TNI Angkatan Darat. Sekali lagi, tak ada pamrih harta dan tahta
saat JR Saragih maju ke Pilkada Kabupaten Simalungun. Dia hanya ingin
mendharma-baktikan dirinya buat kemajuan masyarakat Simalungun.
Bekerja tanpa pamrih akan bermuara pada sikap
ikhlas. Ikhlas tidak menjadikan JR Saragih loyo. Dengan bekerja tanpa pamrih, JR
Saragih berusaha mengeluarkan energinya secara maksimal tanpa berpikir terlebih
dulu apa yang akan dia dapatkan dari hasil kerjanya. Mental untuk bekerja keras
tanpa disuruh terlebih dulu inilah yang terus dikobarkan oleh JR Saragih dalam
memimpin Kabupaten Simalungun sehingga segenap aparatur pun memiliki energi dan
kekuatan yang kuat dan maksimal.
JR Saragih menyadari bahwa mentalitas mau bekerja
hanya kalau ada upah ataupun mau bekerja kalau disuruh mulai menggejala di
berbagai organisasi, baik pemerintah maupun swasta. Dalam beberapa kesempatan
berbincang dengan JR Saragih, salah satu yang dia diskusikan adalah bagaimana
membuat para aparatur di Pemerintah Kabupaten Simalungun mampu mengambil
inisiatif untuk melaksanakan suatu kegiatan tanpa menunggu perintah terlebih
dulu. Berbagai cara telah dia lakukan, tapi nampaknya bukan perkara mudah
membuat para aparatur menjadi kreatif. Ditambah lagi, banyak aparatur, di level
pelaksana misalkan, yang kadang sebelum bekerja mengedepankan pertanyaan: ”Ini
saya dapat apa kalau kerja?” Sehingga, tak jarang banyak kegiatan pampat
tersendat.
Mentalitas tanpa pamrih adalah saat seseorang secara
sungguh-sungguh bekerja, memikirkan kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk
organisasi, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan, tanpa terlebih dahulu
memikirkan apa yang ia dapatkan. JR Saragih meyakini bahwa dengan kesungguhan
dan kerja keras yang dia berikan, dia akan memperoleh ganjaran dan apresiasi dari
Tuhan yang jauh lebih besar.
Jika kita bekerja dengan ikhlas, JR Saragih merasa
yakin maka energi kreatif yang bisa kita berikan tidak akan pernah habis.
Inovasi dan kreativitas itu seakan terus mengalir karena memang tidak dibatasi
oleh pamrih apapun. “Kita berpikir, bekerja, dan berusaha sebagai sebuah
perwujudan pengabdian sebagai pelayan Tuhan dan karenanya mesti mengeluarkan
semua upaya dengan sebaik-baiknya,” ujar JR Saragih.
JR Saragih berharap dasar bekerja tanpa pamrih ini
menjadi dasar kerja para aparaturnya. Tidak lagi sekadar mengharapkan ”imbalan”
duniawi, tetapi sudah melampaui itu semua, sehingga semua energi duniawi ini
bisa dicurahkan sepenuh hati. Hasilnya, menurut JR Saragih, akan jauh lebih
berhasil dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja setengah hati, karena
menimbang-nimbang berapa upah yang akan dia terima. Bekerja tanpa pamrih akan
memfokuskan energi kita dalam bekerja sehingga bisa mengeluarkan hasil kerja
yang maksimal.
Bekerja tanpa pamrih merupakan bentuk kepasrahan
total, tidak berharap, dan membersihkan hati. Dengan tanpa pamrih menjadikan
kita ikhlas menerima apapun pemberian Tuhan, betapapun kita anggap buruk dan
tidak sesuai harapan. Kita mengikhlaskan segala bentuk peristiwa agar jiwa dan
pikiran kita tetap jernih.
Tanpa pamrih juga mengajarkan kita agar rendah hati
dan tidak sombong. Karena, di dunia ini tidak ada yang perlu disombongkan dari
diri kita masing-masing. Semua yang ada di dunia ini adalah sementara, sehingga
masing-masing kita perlu mempersiapkan diri untuk bekal di hari nanti.
JR Saragih tak ingin upayanya bekerja tanpa pamrih
diganggu oleh nilai-nilai negatif seperti bekerja untuk dilihat dan dipuji
orang. Orang mengerjakan sesuatu bukan bagaimana kerja itu bisa mengembangkan
diri dan bermanfaat buat lingkungannya, tetapi bagaimana agar bisa dipuji
orang. Popularitas menjadi tujuan utama, walaupun kadang tidak berjalan lurus
dengan kualitas yang dimilikinya.
Orang yang bekerja dengan pamrih, biasanya pekerjaannya
hanya cenderung dilakukan sebagai ”asal dikerjakan” ataupun ”asal memenuhi
kewajiban”. Tidak ada ”ruh” yang menggerakkan kerja itu sehingga hasilnya pun
asal-asalan. Sebaliknya, bekerja tanpa pamrih akan membuat orang bekerja keras,
baik di tempat sepi ataupun di tempat ramai, baik orang melihat apa yang
dikerjakan ataupun tidak.
Selain itu JR Saragih juga tak ingin berbangga diri
secara berlebihan atau bekerja tanpa pamrih yang diterapkannya. Berbangga diri
secara berlebihan akan mengganggu keikhlasan seseorang karena tujuan bekerja
hanya untuk membanggakan diri di hadapan orang lain.
Bekerja tanpa pamrih ini amat penting agar saat kita
bekerja tidak mengharapkan apa-apa selain apresiasi dari Tuhan Yang Maha Kasih.
Dengan begitu, kita tidak terjebak bekerja Asal Bapak Senang (ABS), bekerja
hanya bilamana dilihat orang, ataupun bekerja sekadar untuk mencari
popularitas. Tapi, bagaimana kita bekerja sekuat tenaga, mengembangkan semua
potensi kita sebagai manusia dengan segenap kompetensi diri, sebagai perwujudan
kehambaan dan tanggung jawab kita sebagai pemimpin di muka bumi. Demikianlah
hasil dari prinsip bekerja tanpa pamrih yang ingin digapai oleh JR Saragih
dalam mengembangkan bisnis dan memimpin rakyat.
D. Terus Mengasah Kompetensi
Ketika memulai usaha pelayanan kesehatan, JR
Saragih nyaris tidak memiliki pengalaman, baik pengalaman praktis maupun
pengalaman teoritis. Dia menyadari, otaknya masih ‘kosong’ lantaran baru terisi
satu bidang ilmu, yakni kemiliteran. Padahal, di dunia luar sana masih banyak
ilmu-ilmu lain yang mampu memberi warna kehidupan kita. Dan, sebagai sosok yang
haus ilmu, dia terus berpikir dan mengisi otaknya dengan berbagai informasi
serta pengalaman dan terus belajar. Dia menyadari bahwa otak manusia mempunyai
potensi yang sangat tak terbatas, sebuah khazanah yang masih membutuhkan
tangan-tangan terampil untuk mengolah dan memanfaatkannya.
Paul Thomson, dalam bukunya yang berjudul Advanced Psycho Cybernetics and
Psychofeedback, menulis, “Otak manusia itu sangat padat. Beratnya hanya
sekitar 1.400 gram pada rata-rata pria dewasa dan sekitar 1.275 gram pada
rata-rata wanita.otak itu hanya membutuhkan sekitar1/10 volt listrik untuk
dapat bekerja dengan efisien. Namun, otak itu sesungguhnya terdiri dari puluhan
miliar sel saraf. Otak membuat komputer yang paling canggih sekalipun
ketinggalan dalam hal kemampuannya yang betul-betul menakjubkan. Jaringan interkoneksi
(yang disebut sinaps-sinaps) antara miliaran sel-sel saraf (neuron) di otak
secara potensial sanggup memproses kepingan informasi dengan cara-cara yang
jumlahnya setara dengan 2 sampai 10 pangkat 13. Ini merupakan angka yang jauh
lebih besar daripada jumlah seluruh atom di alam semesta.”
Ya, JR Saragih berusaha mengisi ruang kosong di
otaknya dengan kompetensi ilmu lain di luar pengetahuan kemiliteran yang selama
ini telah ditekuninya. Banyak orang memang sedikit nyinyir, kok tentara
berbisnis pelayanan kesehatan, mengapa tidak membuka usaha pada bidang-bidang
yang terkait dengan dunia militer. Apalagi, JR Saragih bukanlah seorang tentara
berlatar-belakang disiplin ilmu kedokteran atau ilmu manajemen rumah sakit.
Ada kisah sukses dari Philadelphia, Amerika
Serikat, tentang bagaimana seseorang membuka usaha pada bidang yang relatif
jenuh dengan penuh kreativitas dan kompetensi. Tersebutlah Benjamin Franklin
yang memulai usaha percetakan pada tahun 1726. Saat itu, masyarakat meragukan
keberhasilannya lantaran percetakannya merupakan yang ketiga di kota kecil itu.
Namun, dia sukses dan memperoleh reputasi sebagai orang yang paling terampil
dan giat di kota tersebut.
Franklin tidak lantas berpuas diri dengan
pencapaian prestasi yang telah direngkuhnya. Dia meluaskan usahanya ke
penerbitan, melakukan banyak eksperimen dengan kelistrikan seperti penangkal
petir dan menemukan berbagai barang seperti tungku masak, kateter, dan lensa
bifocal. Talenta Franklin memberikan banyak manfaat bagi banyak orang. Dia
membantu mendirikan perpustakaan Philadelphia yang pertama, mengorganisasikan
barisan pemadam kebakaran yang pertama di Amerika, dan memegang banyak posisi penting
di pemerintahan. Benjamin Franklin menjadi seorang tokoh terkenal yang telah
meninggalkan banyak karya di dalam hidupnya dan dikenal berkat kompetensinya.
Ya, kita banyak mengagumi orang-orang yang
memperlihatkan kompetensi yang besar seperti Benjamin Franklin, pegolf
fenomenal Tiger Wood, CEO legendaris Jack Welch, dan pebisnis kreatif Bill
Gates. Mereka adalah orang-orang yang konsisten mengembangkan kompetensi.
Seperti mereka, JR Saragih pun terus meningkatkan dan mengembangkan kompetensi
diri agar tidak tergilas oleh roda-roda perubahan zaman.
Untuk menguatkan usahanya di sektor pelayanan
kesehatan, JR Saragih melengkapi diri dengan kompetensi manajemen. Guna
memperkaya kompetensi manajemen, dia pun kuliah ilmu manajamen di jenjang
magister (S-2) dan doktoral (S-3).
Berkat kemampuan ilmu manajemen yang mumpuni, JR
Saragih berhasil mengembangkan sebuah klinik kesehatan yang terus
bertumbuh-kembang menjadi Rumah Sakit (RS) Efarina Etaham yang saat ini cukup
dikenal di daerah Purwakarta. Ketika awal mula membuka klinik dengan niat
ikhlas membantu warga kurang mampu, pikiran kreatifnya terpantik, bahwa di
balik warga kurang mampu, terdapat banyak warga masyarakat yang mampu dan,
bahkan, sangat mampu. Sebab itu, dia lalu membuka layanan kesehatan khusus
warga mampu dan warga sangat mampu.
Pikirannya sederhana saja. Sebuah usaha, secara
manajemen, harus aliran arus masuk-keluar kas keuangannya. Kalau hanya fokus
menerima pasien dari kalangan warga miskin maka pemasukan dan pengeluaran akan
timpang. Karena itu, untuk menutupi ketimpangan yang terjadi, JR Saragih
membuka layanan kesehatan bagi warga sangat mampu ke dalam kelas VIP RS Efarina
Etaham. “Kami buka kelas VIP itu bukan untuk mencari keuntungan. Tapi, dari
tarif yang dibayar oleh pasien kelas VIP itu kami sisihkan untuk memberikan
subsidi perawatan kepada pasien miskin,” jelas JR Saragih suatu kali.
Dengan kompetensi manajemen yang tepat, JR Saragih
berusaha mengatur dan mengelola usaha Group RS Efarina Etaham dengan pola
subsidi silang yang benar-benar memberikan subsidi kepada yang berhak.
Dalam perjalanannya, JR Saragih berusaha terus
menyempurnakan pelayanan kelas VIP agar semakin banyak kalangan berduit. Dia
pun terus mengasah kompetensi untuk membesarkan usahanya. Agar kompetensinya
terus terasah, JR Saragih senantiasa berupaya mewarnai nilai hidup
kesehariannya dengan: pertama, rasa
pengendalian (sense of control). Dia
berkeyakinan bahwa hanya diri sendirilah yang mengendalikan hidup atau
peristiwa-peristiwa yang kita alami, bukan ditentukan oleh nasib, takdir atau
orang lain yang berkuasa. Rasa pengendalian diri ini merupakan kognisi dasar
untuk mengalami optimisme dan harapan yang akan menyebabkan kita akan mampu
terus mengembangkan kompetensi diri.
Kedua,
kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan keterampilan. JR Saragih menyadari
adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini
merupakan dasar yang penting guna mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
Ini memungkinkan kita meraih sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan dan
menggapai apa yang diharapkan dalam hidup.
Dan ketiga,
harga diri (self esteem). Yang
dimaksud dengan harga diri adalah penilaian seseorang terhadap diri sendiri,
baik positif maupun negatif. Dengan memiliki harga diri yang positif, JR
Saragih merasa lebih bersemangat, menetapkan tujuan atau tantangan yang lebih
sulit untuk diri sendiri, dan mengembangkan aspirasi untuk melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan oleh orang lain.
Dengan mengusung tiga prinsip tersebut, JR Saragih
terus belajar sepanjang hayatnya, tidak sebatas di bangku sekolah atau kuliah.
Dia meyakini bahwa proses belajar akan terus berjalan sejak dari buaian sampai
maut menjemput. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa manusia adalah
makhluk yang tumbuh dan berkembang. Manusia selalu ingin mencapai suatu
kehidupan yang optimal. Selama manusia berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya,
baik dalam meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kepribadian, maupun
keterampilannya, secara sadar atau tidak sadar, maka selama itu pula pendidikan
masih berjalan terus.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan
yang cocok bagi orang-orang seperti JR Saragih yang hidup dalam masyarakat yang
tengah bertransformasi. Sebagaimana kita ketahui, JR Saragih ingin membawa
masyarakat Simalungun bertransformasi untuk mengejar ketertinggalan dari
kabupaten/kota lain di wilayah Republik Indonesia. Dengan tekad semacam itu, dia
mengajak warga masyarakat Simalungun untuk senantiasa menyesuaikan dirinya
secara terus menerus dengan situasi baru. Dia, meminjam pendapat Napoleon Hill
(dalam buku Positive Mental Attitude [1994]), senantiasa berusaha mensugesti
dirinya sendiri dan orang-orang di sekelilingnya melalui kata-kata “Aku bisa!” dan “Kami bisa!”
Sekali lagi, JR Saragih selalu menjaga komitmen dalam berusaha dan memimpin yang bertumpu pada berbagi sesama, kedekatan pada jalan Tuhan dan kekayaan ilmu. Berbisnis (berusaha) dan memimpin dengan nurani. Dia menyadari kehormatan diberikan sebagai imbalan atas apa yang pernah diberikannya –baik materi maupun non-materi. ***
Yes Mantap. mohon izin copy ya pak....
ReplyDeletesilakan. semoga bermanfaat. salam.
Delete