Spirit Anak Yatim-Piatu dari Muarateweh


oleh budi nugroho

Muarateweh, Barito Utara. Mulanya nama kota Muarateweh berasal dari kata Tumbang Tiwei. Secara harfiah, Tumbang berarti Muara dan Tiwei yang artinya mudik dan identik pula dengan nama ikan kecil Saluang Tiwei, yang biasanya selalu mudik ke Sungai Barito setiap tahun. Sebagaimana artinya, Tiwei yang bermakna mudik, maka Sungai Tiwei yang bermuara di Sungai Barito, arusnya mudik melawan arus Sungai Barito dan kemudian baru balik mengikuti arus ke selatan.

Penyebutan Tumbang Tiwei yang kemudian menjadi Muarateweh terjadi karena pola sebutan penyeragaman kota se Kalimantan Tengah oleh Belanda pada masanya. Senada seperti Tumbang Kapuas disebut Kuala Kapuas, Tumbang Kurun disebut Kuala Kurun, Tumbang Pembuang disebut Kuala Pembuang dan Tumbang Montallat disebut Muara Montallat.

Berawal dari Peraturan Swapraja Tahun 1938 (Zelbestuur Regeling), maka pada 27 Desember 1946 Pemerintah NICA di Banjarmasin membentuk sebuah badan bernama Dayak Besar, dengan wilayah kekuasaan meliputi Afdeeling Kapuas Barito.

Kemudian atas desakan rakyat, pada 4 April 1949, Dewan Dayak Besar mengeluarkan pernyataan secara resmi “meleburkan diri” ke dalam Negara Republik Indonesia. Tindakan tegas Dewan Dayak Besar itu lalu diikuti pula oleh negara-negara bagian lainnya di Kalimantan.

Secara bertahap, dalam upaya menerapkan status secara de facto dan de jure atas wilayah bekas negara-negara bagian buatan Belanda ke dalam wilayah hukum Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pada 14 April 1950 Nomor 133/S/9 tentang penetapan penghapusan status Daerah Banjar, Daerah Dayak Besar, Daerah Kalimantan Tenggara sebagai Negara Bagian Republik Indonesia Serikat (RIS), dan langsung masuk ke dalam wilayah Pemerintah Republik Indonesia yang saat itu berkedudukan di Jogjakarta.

Guna menetapkan status dan pembagian wilayah dari bekas negara-negara bagian tersebut, berdasarkan UU Nomor 2/1948, melalui Surat Keputusan pada 29 Juni 1950 Nomor 0.17/15/3, Menteri Dalam Negeri RI menetapkan daerah-daerah di Kalimantan yang telah bergabung dalam wilayah RI terbagi atas lima kabupaten, masing-masing Banjar yang berkedudukan di Martapura, Hulu Sungai yang berkedudukan di Kandangan, Kota Baru berkedudukan di Kota Baru, Barito berkedudukan di Muarateweh, dan Kotawaringin Timur berkedudukan di Sampit. Dan, tanggal 29 Juni itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Barito Utara.

Dalam perkembangan berikutnya, lahir UU Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Tengah. Atas dasar UU ini, untuk pertama kalinya diadakan penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom. Enam tahun berselang, lahir UU Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1953 menjadi UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan. Sebagai realisasi dari UU ini maka Kabupaten Barito dibagi menjadi dua kabupaten, yaitu Barito Utara (ibukota di Muarateweh) dan Barito Selatan (ibukota di Buntok).

Mulanya, wilayah Kabupaten Dati II Barito Utara sebagai daerah otonom membawahi Wilayah Kabupaten Administrasi (Kabad) Murung Raya, dengan ibukota di Puruk Cahu. Dalam struktur pemerintahan, Kabad Murung Raya mengkoordinir lima kecamatan yang terletak di bagian utara (hulu) Sungai Barito, meliputi Kecamatan Murung, Sumber Barito, Tanah Siang, Laung Tuhup, Lahei, Montallat dan Teweh Timur. Kemudian, berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2002, Kabad Murung Raya yang sebelumnya merupakan wilayah Kantor Pembantu Bupati Barito Utara berdiri otonom menjadi kabupaten dengan ibukota di Puruk Cahu.

Kini, Kabupaten Barito Utara dengan ibukota Muarateweh memiliki enam kecamatan, masing-masing Montallat, Gunung Timang, Gunung Purei, Teweh Timur, Teweh Tengah, dan Lahei.

A.   Di Muarateweh Bermula Kehidupan
Menjelang akhir tahun 1950-an, tinggallah pasangan suami-isteri Muhammad Thalib – Masniah bersama enam anaknya di rumah sederhana yang berada di Jalan Simpang Perwira, Muarateweh, ibukota Kabupaten Barito Utara. Enam orang anak pasangan suami-isteri ini semuanya perempuan. Ada keinginan keluarga sederhana ini untuk menambah keramaian rumahnya dengan kehadiran anak lelaki. Jadi terasa lengkap karunia Tuhan Yang Maha Kasih.

Memang keluarga pasutri Muhammad Thalib dan Masniah telah diramaikan celoteh enam orang anak: Maimunah, Masmuniar, Masdiati, Nurdiana, Nurdiati dan Yulianti. Bahkan, beberapa di antaranya telah beranjak besar. Rupanya keinginan untuk melengkapi keluarga dengan anak lelaki terus menggelora.

Usaha untuk memperoleh keturunan lebih banyak lagi terus diupayakan. Dan, tepatnya tanggal 2 Juli 1958, Ibu Masniah pun melahirkan jabang bayi berjenis kelamin laki-laki. Si jabang bayi ini kemudian diberi nama Achmad Yuliansyah, sebagai bungsu dan satu-satunya anak lelaki pada keluarga Muhammad Thalib – Masniah.

Achmad Yuliansyah mewarisi nilai-nilai kejuangan dari ayahnya Muhammad Thalib yang berdarah asli Suku Bakumpai dari Desa Inu, Kecamatan Lahei. Komunitas Bakumpai yang akrab dengan perjuangan melawan penjajah Kolonial Belanda. Pada masanya, Muhammad Thalib tercatat sebagai salah satu tokoh masyarakat yang mendukung pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) kendati dia hanya seorang Kepala Kampung Melayu di Muarateweh.

Muhammad Thalib begitu sayang kepada anak lelaki satu-satunya itu. Dia memperkenalkan banyak hal kepada Achmad Yuliansyah, terutama kejuangan ketika mendorong terbentuknya Provinsi Kalteng. “Bapak biasanya membantu biaya. Sering juga dilakukan pertemuan tertutup di rumah. Saya anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Jadi sering diajak bapak tiap beliau bepergian,” ujar Achmad Yuliansyah, dengan mimik sebagaimana  seseorang yang mengingat-ingat kembali memori lamanya.

Tak hanya sebatas itu, darah kejuangan juga mengalir dari kakeknya, Abdullah. Ternyata kakek Achmad Yuliansyah juga termasuk pahlawan DAS Barito dalam mengusir kaum penjajah Kolonial Belanda di abad silam. Sebagai anemer (pemborong), Abdullah memang banyak memperoleh pekerjaan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Namun tidak berarti bahwa Abdullah hanya memikirkan kepentingan dirinya. Tidak terkecuali dengan kekuatan finansialnya, Abdullah ikut membantu perjuangan rakyat Kalimantan mengusir kaum penjajah.

Pantas darah pejuang masih melekat dalam nadi seorang Achmad Yuliansyah, dengan dibangunnya monumen (patung) pahlawan DAS Barito dari Suku Bakumpai, Panglima Batur, di masa kepemimpinannya sebagai Bupati Barito Utara. Nama besar pahlawan yang berani tanpa senjata berhadapan dengan pasukan Belanda kala perang di zaman dulu itu juga melekat pada nama yayasan yang menaungi perguruan tinggi Polimat (Politeknik Muarateweh).

Suku Bakumpai tidak hanya dikenal lewat perjuangan Pangeran Batur. Suku ini sempat pula melahirkan tokoh nasional K.H. Hasan Basri. Sedikit cerita tentang Hasan Basri, dia lahir di Muarateweh, Kalimantan Tengah, 10 Agustus 1920 dan meninggal 8 November 1998. Dia adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1984-1990. Dan seorang da’i yang pernah menjabat Imam Masjid Al-Azhar, Jakarta.

Masih kisah Hasan Basri, sejak kecil dia sudah gemar belajar membaca Al Quran serta mempraktikkan ajaran dan ibadah Islam. Ayahnya, Muhammad Darun, sudah meninggal dunia saat Hasan Basri berusia tiga tahun. Sang ibu, Siti Fatmah kemudian sendirian membesarkan Hasan Basri dan dua saudaranya. Pagi hingga siang, Hasan Basri kecil belajar di Sekolah Rakyat (SR). Sore hari belajar di sekolah Diniyah Awaliyah Islamiyah (DAI). Di DAI, dia belajar membaca Al Quran, menulis dan membaca tulisan Arab, serta mempraktikkan ajaran dan ibadah Islam. Dia murid cerdas, selalu menjadi yang terbaik. Sehingga, dia sangat disayang oleh gurunya yang memiliki nama sama dengan kakeknya, Haji Abdullah. Maka, tatkala dia duduk di kelas tiga, gurunya mempercayai dirinya mengajar di kelas satu dan dua.

Lulus dari Sekolah Rakyat, Hasan Basri meninggalkan desa kelahirannya untuk melanjutkan sekolah di Banjarmasin. Dia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah di Banjarmasin (1935-1938). Saat Buya Hamka berkunjung ke Banjarmasin, dia secara langsung melihat ulama yang sangat dikaguminya itu. Sejak itu, Hasan Basri bercita-cita menjadi ulama seperti Buya Hamka. Setamat MTs, dia melanjutkan ke Sekolah Zu'ama Muhammadiyah di Yogyakarta (1938-1941). Dia menyelesaikan pendidikannya  dengan baik. Sesudah tamat, ia pun menikah di usia 21 tahun dengan Nurhani.

Kendati terbilang masih sangat muda, dia bersama sang istri, sudah berpikir lebih dewasa dari usianya. Pasangan suami-isteri muda ini mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Marabahan, Kalimantan Selatan. Mereka berdualah yang menjadi gurunya. Namun, tahun 1944 madrasah itu ditutup karena situasi perang. Dia sempat mendirikan Persatuan Guru Agama Islam di Kalimantan Selatan. Selain itu, Hasan Basri juga sering berpidato dan menyampaikan khutbah di masjid-masjid, serta berceramah di majlis-majlis taklim. Hal ini membuatnya sangat dikenal luas di lingkungan masyarakatnya.

Tahun 1984 dia pun terpilih sebagai Ketua Umum MUI yang pertama, sampai dia meninggal dunia dan digantikan Prof. K.H. Ali Yafie. Saat menjabat Ketua Umum MUI, Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Pakto (Paket Oktober) 1988, yang mendorong berdirinya bank. Banyak umat Islam yang bertanya kepadanya mengenai bunga bank yang oleh sebagian kalangan dianggap haram. Selaku Ketua Umum MUI, dia mendengar keluhan umat Islam tersebut. Dia merespon dengan menggelar seminar “Bank Tanpa Bunga” di Hotel Safari Cisarua, Jawa Barat, Agustus 1991, dihadiri para pakar ekonomi, pejabat Bank Indonesia, menteri terkait, serta para ulama. Waktu itu ada tiga pendapat; ada yang menyebutkan bunga bank haram, bunga bank halal dan ada juga yang berpendapat bunga bank syubhat. Lalu, seminar itu merekomendasikan agar KH Hasan Basri, selaku Ketua Umum MUI, membawakan masalah itu ke Munas MUI yang diadakan akhir Agustus 1991. Munas MUI itu kemudian memutuskan agar MUI mengambil prakarsa mendirikan bank tanpa bunga. Untuk itu, dibentuk kelompok kerja yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal MUI (waktu itu) HS Prodjokusumo. Dilakukan lobi melalui BJ Habibie sampai akhirnya Presiden Soeharto menyetujui didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 November 1991 dan mulai beroperasi tanggal 1 Mei 1992.

Kembali ke kisah perjalanan hidup Achmad Yuliansyah. Kehadiran bayi mungil Achmad Yuliansyah menjadi salah satu mutiara, pelengkap etalase kebahagiaan mahligai rumah tangga Muhammad Thalib – Masniah. Begitu pula bagi kakak-kakaknya, kehadiran si kecil Achmad Yuliansyah turut menambah keceriaan mereka sehari-hari. Yang pasti, rumah sederhana itu semakin marak dalam keakraban dan kebersamaan.

Achmad Yuliansyah bersama kakak-kakaknya hidup rukun dalam sebuah keluarga sederhana yang bersahaja. Kendati ayahnya termasuk tokoh Suku Bakumpai yang amat disegani, Muhammad Thalib tidak lantas memanjakan semua anak-anaknya. Anak-anaknya dididik dan dibesarkan sebagai keluarga rakyat biasa masyarakat Muarateweh ketika itu. Meski Muhammad Thalib termasuk keluarga cukup berada dan tokoh yang dihormati namun dia tidak ingin anak-anaknya terkucil, memisahkan diri dan terasing dari pergaulan masyarakat luas. Dia justru ingin anak-anaknya mampu menyatu dalam pergaulan rakyat biasa yang menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, kejuangan dan kesetiaan pada bangsa dan negara. Ketokohan dan kejuangan ayahanda Muhammad Thalib sungguh tak diragukan lagi.

Muhammad Tahlib juga tidak melupakan pendidikan agama anak-anaknya. Tiap petang hari sampai menjelang waktu maghrib, dia mendatangkan guru ngaji untuk mengajari anak-anaknya membaca Al Quran serta mempraktikkan tuntunan dan adab beragama Islam.

B.    Spirit Anak yang Ditinggal Ayah di Saat Usia 10 Tahun
Keceriaan dan kebersamaan keluarga Muhammad Thalib – Masniah seolah pupus sudah ketika di tahun 1968, ayahanda Muhammad Thalib berpulang ke Rahmatullah. Tak pelak, keluarga ini terasa seolah ambruk lantaran sang kepala keluarga telah tiada. Terasa lebih ambruk lagi, tak lama berselang ibunda Masniah juga menyusul berpulang. Di usia yang belum balig, Achmad Yuliansyah telah ditinggal kedua orang-tuanya, jadi yatim-piatu.  

Jelas bahwa Achmad Yuliansyah cukup bersedih hati ditinggal oleh kedua orang-tuanya. Seperti kehilangan pegangan dan perlindungan dalam meniti perjalanan kehidupan selanjutnya yang dalam perencanaan anak manusia masih lah sangat panjang membentang. Tak berlama-lama dia dirundung kesedihan. Secara sepintas, sebelum meninggal, ayahanda Muhammad Thalib telah menitipkan pengasuhan si bungsu Achmad Yuliansyah kepada kakak-kakaknya, terutama kakak yang telah menikah.

Achmad Yuliansyah yang ketika itu masih duduk di kelas empat SD kemudian ikut kakaknya yang bernama Masdiati yang bersuamikan Abdul Muin. Sang kakak ipar bekerja sebagai kepala sekolah di Muarateweh. Dia tidak hanya semata-mata tinggal bersama kakanda Masdiati. Kadang-kadang dia tinggal bersama kakaknya yang lain. Pendek kata, Achmad Yuliansyah tinggal bersama kakaknya yang berkesempatan memberikan kasih sayang dan pembiayaan sekolah.

Anak-anak seumur sekitar 10 tahun biasanya sangat membutuhkan perhatian, rasa aman, belajar, menjadi anggota penuh dalam sebuah keluarga, mengembangkan rasa kemandirian, dan merasa berguna bagi orang lain. Kakak-kakak Achmad Yuliansyah menyadari dan memahami benar kebutuhan si bungsu yang yatim-piatu sejak umur 10 tahun itu. Mereka berusaha melindungi dan memperlakukan si bungsu seperti anak sendiri.

Kakak-kakak Achmad Yuliansyah berusaha melaksanakan hak pengasuhan dengan sepenuhnya dan menganggap seperti anaknya sendiri. Bahkan, mereka kerap lebih mendahulukan kepentingan si adik bungsu daripada kepentingan anak-anaknya sendiri, mengkhususkan perhatian dan penghormatan. Hingga Achmad Yuliansyah menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan atas, dia memperoleh kehormatan di sisi kakak-kakaknya, hidup di bawah penjagaan mereka, rela menjalin persahabatan dan ‘pertengkaran’ dengan orang lain demi kepentingan diri si adik bungsu.

Achmad Yuliansyah diberi kebebasan untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Di masa SD itu, dia berkarib akrab dengan Rokhyar Usmani, Hamdani Basri dan Muhammad Nur. “Kami berempat sangat akrab dan biasa bermain bersama-sama. Kami suka bermain arus air, dalam bahasa sekarang water boom, di pesisir Sungai Barito. Kami berbagi pekerjaan, membuat alat selancarnya dari kayu pohon pinang dan membuat jalur turun air dari sisi atas. Kami juga kerap main bersama di pasir gosong yang ada di sekitar Pasar Pendopo. Jadi kawan saya Achmad Yuliansyah ini sudah biasa menjalin kerja sama sejak kecil,” tutur Rokhyar Usmani mengenang masa kecil bersama Achmad Yuliansyah.

Kakak-kakak Achmad Yuliansyah menyadari bahwa sebaik-baik rumah kaum Muslimin adalah rumah yang di dalamnya terdapat seorang anak yatim-(piatu) yang diperlakukan dengan baik. Dan sejelek-jelek rumah kaum Muslimin adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan buruk. Rasulullah Muhammad saw dan pemelihara anak yatim di surga itu seperti ini (diisyaratkan Rasulullah dengan jari tangannya).

Achmad Yuliansyah kecil nyaris tidak pernah merasakan kasih-sayang kedua orang-tuanya. Waktu bersama ayah-ibu demikian singkat. Dia menghabiskan masa kecil di tengah-tengah pengasuhan keluarga kakak-kakaknya. Hanya sedikit yang bisa diingat oleh Yuliansyah tentang sosok ayah-ibunya. Memorinya belum mampu merekam banyak hal penting dalam perjalanan hidupnya. Apalagi bila harus mengingat rupa-wajah ayah-ibunya. Kendati begitu masih ada seberkas kesan tentang ayahanda Muhammad Thalib yang diingatnya sampai sekarang. Ayahanda sebagai sosok yang mudah berderma, terutama bila menyangkut perjuangan demi kepentingan rakyat banyak. “Sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga, saya kerap diajak bapak tiap kali bepergian, entah sekadar jalan-jalan atau memang ada urusan aktivitas pekerjaan,” tutur Achmad Yuliansyah mengenang sosok ayahanda yang pernah ikut aktif memperjuangkan terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah ini.

Atas dasar pengalaman itulah, Achmad Yuliansyah senantiasa bersikap hormat kepada semua orang tua yang ditemuinya, serta memperlakukan seolah sebagai bapaknya. Dan yang jelas, di masa kanak-kanak dia sempat mengalami kesedihan yang teramat dalam saat ditinggalkan kedua orang-tuanya. Satu hal yang membanggakan, ayahanda seorang pejuang yang tiada henti memperjuangkan aspirasi rakyat Kalimantan Tengah. Darah kejuangan yang sebenarnya mengalir dari sang kakek. Sang kakek sempat turut berjuang melawan kaum penjajah Belanda di masa lalu.

Di masa penjajahan Belanda, kita mengenal Tumenggung Surapati. Dia adalah Panglima Dayak dari garis keturunan Dayak Siang yang menumpas Belanda dan menenggelamkan kapal perang Onrust di Desa Lalutong Tuwur, Barito Utara. Tumenggung Surapati merupakan penerus perjuangan dalam perang Banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Perang yang dipimpin Surapati jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan apa yang lebih dikenal Perang Barito tahun 1896. Bangkai kapal perang Onrust sampai sekarang masih ada dan sebagai bukti dari sejarah perlawanan orang-orang Dayak di Bumi Borneo. Abdullah, kakeknya Achmad Yuliansyah, menjadi bagian dari perjuangan melawan Belanda secara turun-temurun itu.    

C.   Teladan Disiplin dan Kejujuran dari Ayahanda dan Kakak Ipar
Dari sekian banyak kakak-kakaknya, Achmad Yulansyah paling terkesan pada keluarga Nurdiana yang bersuami H. Mukri Inas –yang pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Barito Selatan periode 1977-1978. Dia merasa Mukri Inas sebagai kakak sekaligus orang tua yang paling berjasa membentuk dirinya di kemudian hari.

Selain Mukri Inas yang lebih banyak menutupi semua kebutuhan dan biaya sekolah sampai kuliah, Mukri Inas sangat dominan mengambil peran mendidik Achmad Yuliansyah dengan model pendidikan yang cukup keras penuh disiplin, keteladanan dan kejujuran.

Mukri Inas merupakan sosok penting di balik pembentukan watak jujur dan disiplin pada diri Achmad Yuliansyah di masa kanak-kanak. Dia belajar banyak dari kedua orang-tuanya mendidik anak yang kemudian diterapkan dalam mendidik Achmad Yuliansyah. “Ada beberapa hal penting yang begitu ditekankan oleh orang tua saya dalam mendidik anak-anaknya, yang juga saya terapkan dalam mendidik anak-anak saya, termasuk Achmad Yuliaansyah, yang memang sejak kecil ikut saya. Pertama, melaksanakan kejujuran dengan betul dan benar, baik itu dalam sikap, tutur kata, juga perbuatan sehari-hari. Kedua, mendirikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Ketiga, percaya pada pertolongan Tuhan Allah SWT dalam setiap dimensi kehidupan,” papar Mukri Inas yang mengambilalih peran orangtua setelah kedua orangtua Achmad Yuliansyah meninggal dunia.      

Mukri Inas menegaskan, “Tiga nilai prinsip hidup itulah yang selalu saya tekankan betul kepada keluarga saya, juga Achmad Yuliansyah. Artinya, saya selalu mengatakan kepada anak-anak juga keluarga saya lainnya, bahwa jadilah kalian orang yang jujur, jujur, dan jujur, serta selalu berbakti dan menghormati orangtua, guru-guru, juga mereka yang lebih tua daripada kita.”

Dalam mendidik hidup disiplin, cara yang ditempuh Mukri Inas cukup sederhana, yakni menekankan pelaksanaan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Sejak Achmad Yuliansyah kecil, dia senantiasa mengingatkan dan menekankan pentingnya shalat untuk menjaga hidup disiplin terhadap waktu, langkah dan perbuatan.         

Soal disiplin ini sebenarnya Achmad Yuliansyah tidak semata-mata belajar pada kakak ipar Mukri Inas. Ayahanda Muhammad Thalib, dalam ingatannya, juga dikenal sebagai sosok yang disiplin dalam memanfaatkan waktu. “Kalau saatnya datang waktu shalat ya harus mendirikan shalat, begitu pula waktunya belajar. Beliau sangat ketat dalam menerapkan disiplin waktu,” ujar Rokhyar Usmani, teman bermain masa kecil Achmad Yuliansyah. Dia menambahkan, “Pak Muhammad Thalib juga mengajarkan kejujuran dan indahnya berbagi.”

Betapa indahnya berbagi juga diajarkan oleh kakak ipar Mukri Inas. Katanya tegas, “Berusahalah, agar dalam hidup ini kita lebih banyak memberi dan memberi apa pun yang kita miliki. Karena hakikatnya, tangan yang berada di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan begitu, kita akan percaya pada pertolongan Allah SWT dalam kehidupan ini.”

Disiplin atau kedisiplinan dapat diartikan sebagai kepatuhan pada peraturan, tata tertib dan dikaitkan dengan peraturan yang berlaku dalam lingkungan hidup seseorang. Kedisiplinan tidak dapat terpaku pada teori saja karena faktor penting dari disiplin adalah kemauan untuk menerapkan peraturan-peraturan yang berlaku dengan baik.

Disiplin bisa saja sangat dipengaruhi oleh dorongan yang datangnya dari luar diri manusia, seperti perintah, larangan, pengawasan, pujian, ancaman, dan hukuman. Inilah bentuk disiplin yang dipaksakan orang lain yang pusat pengendalian berada di luar diri pribadi. Disiplin dapat pula didorong oleh kekuataan dalam diri manusia sendiri, misalkan pengetahuan, kesadaran dan kemauan untuk berbuat disiplin.

Achmad Yuliansyah kecil belum memiliki dorongan yang kuat dari dalam dirinya untuk berbuat disiplin. Sebab itu, kakanda (ipar) Mukri Inas lebih banyak mengambil peran memberikan dorongan melalui perintah, larangan dan (sesekali) hukuman. 

“Kakak ipar saya cukup keras dalam disiplin waktu. Ketika malam tiba, pukul 20.00 sampai 22.00, saya dan anak-anaknya harus belajar. Tidak boleh ke mana-mana, harus belajar dan belajar. Kalau ketahuan kami tidak belajar pada jam-jam tersebut, kami akan mendapat teguran keras,” tutur Achmad Yuliansyah mengenang masa kecil bersama keluarga kakak Mukri Inas – Nurdiana.

Lalu soal kejujuran. Dalam akhlak dasar manusia, kejujuran berarti tulus, tidak culas, lurus hati. Kejujuran mencakup semua hal dalam aktivitas kehidupan umat manusia dalam bermasyarakat. Dalam berniat kita harus jujur. Jika kita memiliki niat untuk melakukan sesuatu hal maka niat itu harus tulus dan ikhlas. Kemudian, kejujuran dalam berbicara. Kita hendaknya berbicara benar dan tepat, tidak berbohong atau mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.

Dalam bertindak pun kita mesti jujur. Jangan curang, menipu atau memanipulasi fakta dan data. Termasuk, sebagai wakil rakyat, dalam membawakan aspirasi warga masyarakat.

Kakanda (ipar) Mukri Inas mengajarkan anak-anaknya dan juga Achmad Yuliansyah untuk senantiasa berperilaku, bertindak, berbuat dan berkata jujur tanpa kecuali. Jujur pada diri sendiri. Kejujuran pada diri sendiri adalah kejujuran yang dilandasi pada pengakuan diri bahwa diri ini memiliki kemampuan dan kekurangan. Jadi,  jika dirinya tidak mampu mengerjakan sesuatu maka dia akan katakan “tidak mampu”. Apabila dirinya tidak tahu maka dia akan katakan “tidak tahu”.

Jujur pula pada orang lain. Kita harus jujur kepada isteri/suami, anak-anak, orang tua, kakak, adik dan seterusnya. Tanpa kejujuran maka seseorang tidak bisa mempertahankan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Sebagai wakil rakyat, membawakan aspirasi warga masyarakat harus dilandasi dengan niat ikhlas dan kejujuran. Dengan begitu warga masyarakat akan memberikan feedback yang baik dan hubungan wakil rakyat – warga masyarakat berjalan harmonis dan sistemis.

Dan mesti jujur kepada Tuhan. Sebagai umat beragama, kita harus jujur kepada Sang Maha Pencipta. Dampak dari kejujuran ini adalah sebuah ketulusan serta keikhlasan pada Tuhan dalam segala tindakan kita. Berkah-Nya akan melimpah kepada siapa saja yang melakukan perbuatan jujur dan benar.

Sebagai seorang Muslim, kakanda (ipar) Mukri Inas senantiasa menanamkan kejujuran dan amanah yang berbuah pada integritas diri sebagaimana diteladankan oleh Manusia Agung Rasulullah Muhammad saw. Integritas yang bermakna pada keutuhan dalam segala aspek kehidupan, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Orang yang memiliki integritas adalah orang yang menyatu antara perkataan dan perbuatannya. Ia berkata jujur dan tentu saja tidak akan berbohong.

Pakar kepemimpinan Stephen R. Covey membedakan antara kejujuran dan integritas. Menurut Covey, kejujuran berarti menyampaikan kebenaran, ucapannya sesuai dengan kenyataan. Sedangkan integritas membuktikan tindakannya sesuai dengan ucapannya. Lebih tegas lagi, orang yang berintegritas didefinisikan sebagai orang yang iman dan perbuatannya menyatu, bahkan dari perbuatannya, orang melihat imannya.

Kejujuran dan integritas ini tidak hanya diomongkan di mulut saja. Kakanda (ipar) Mukri Inas langsung mencontohkan dalam tindakan nyata. Achmad Yuliansyah berkisah, dengan jabatan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Barito Selatan (1977-1978), kakanda (ipar) Mukri Inas bisa saja bertindak tidak amanah dalam membawakan aspirasi warga masyarakat demi keuntungan pribadi. Namun begitu Mukri Inas terus berusaha amanah membawakan aspirasi rakyat yang telah memilihnya.

Bagi Mukri Inas, jabatan wakil rakyat adalah sebuah amanah. Dia tidak ingin mengkhianati amanah yang telah dititipkan kepadanya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila saat purnabakti dari wakil rakyat, kehidupan keluarga Mukri Inas tetap biasa-biasa saja. Tidak tampak lompatan kekayaan materi yang luar biasa.

Selain disiplin dan kejujuran, Mukri Inas juga mengajarkan kepada keluarga untuk senantiasa memakan rezeqi yang halal. Tegasnya, “Saya sampaikan makanlah kalian dari rezeki yang halal. Jangan sekali-kali memakan rezeki yang haram. Dengan begitu, hidup ini menjadi berkah.”

Biasanya, Mukri Inas menyampaikan dan mengajarkan pesan-pesan semacam itu saat makan bersama usai kami melaksanakan ibadah Shalat Maghrib berjamaah. “Pada saat itulah, kami berkumpul makan bersama apa saja rezeki yang halal dan telah diberikan Allah SWT. Yang juga penting saya tekankan, anak-anak tidak boleh menceritakan apa yang sudah dimakan tersebut kepada orang lain. Jadi, yang terpenting saya ajarkan kepada anak-anak agar mereka itu disiplin dalam segala hal, hanya memakan rezeki yang halal, dan tidak boleh menceritakan apa saja yang sudah dimakan,” paparnya.

Satu nilai penting juga diajarkan Mukri Inas adalah kemandirian sejak kecil. “Saya sampaikena kepada mereka agar mandiri sejak kecil. Jangan pernah tergantung kepada orang lain. Juga saya ajarkan pola hidup sederhana, tahu diri, tapi jangan rendah diri. Semua hal yang terjadi di alam dunia ini karena Allah SWT. Jadi, manusia harus berjalan sesuai nilai-nilai Qurani. Karena itu, tegakkanlah ilmu dan bekerjalah tanpa pamrih dengan seikhlas-ikhlasnya,” Mukri Inas menandaskan.          

D.   Belajar Mengaji dan Praktik Ajaran Agama
Ketika ditinggal kedua orang-tuanya berpulang ke Rahmatullah, Achmad Yuliansyah masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) Lanjas, Muarateweh. Di masa SD itu, dia tidak semata-mata belajar di bangku sekolah formal. Memang, siang hari usai sekolah Achmad Yuliansyah kecil lebih banyak menghabiskan waktunya buat bermain dengan teman-teman sebaya, antara lain Rokhyar Usmani, Hamdani Basri dan Muhammad Nur. Yuliansyah kecil dikenal nakal dan suka iseng.

“Saya dulu nakal, suka iseng melempari pohon mangga milik tetangga dan mengejek polisi yang tengah lewat dengan kata-kata yang kurang sopan. Itulah sebagian kenakalan masa kecil saya,” ujar Achmad Yuliansyah suatu waktu. Kenakalan Achmad Yuliansyah hanyalah sebatas kewajaran kenakalan anak-anak. Kenakalan yang tidak sampai masuk ke ranah kriminal.

Kenakalannya sekadar iseng. Di masa akhir 1960-an itu, di Muarateweh banyak perahu kelotok pengangkut durian bersandar di pinggir sungai sementara pemiliknya naik ke rumahnya yang juga berada di pesisir sungai. “Pada masa itu aman-aman saja. Kami suka iseng mengambil beberapa butir durian yang ada di kelotok. Diam-diam lalu kami makan bersama-sama. Kalau ketahuan, pemiliknya hanya bilang kalian berempat lagi bikin ulah. Ya sebatas itu kenakalan kami di masa kanak-kanak,” tutur Rokhyar Usmani, teman sepermainan Achmad Yuliansyah yang kini menjadi Staf Khusus Bupati Barito Utara.

“Kami tidak pernah mengganggu orang, kawan saya Achmad Yuliansyah akan memberi perlawanan kalau diganggu orang lain. Dia tidak akan memulai memukul orang. Bila sampai berantem, lebih karena membalas atau membela diri,” Rokhyar Usmani mengisahkan.

Kakak-kakak Achmad Yuliansyah berusaha menjaga agar adik bungsu ini jangan sampai kebablasan. Untuk itulah, mereka tidak sekadar menyekolahkan Achmad Yuliansyah ke sekolah umum (formal), SD Lanjas Muarateweh. Pada petang dan sore hari, sebagaimana telah ditanamkan dan dibiasakan oleh ayahanda Muhammad Thalib, Achmad Yuliansyah diwajibkan belajar mengaji dan membaca Al Quran. Dalam bahasa sekarang, kakak-kakak Yuliansyah tak ingin si bungsu ini cuma cerdas secara intelektual (Intellectual Quotient). Mereka menyadari bahwa pendidikan agama sejak dini juga amat penting bagi pembentukan mental dan karakter anak-anak untuk menatap hari depan yang semakin penuh tantangan zaman. Dengan pendidikan agama yang kuat, si anak manusia diharapkan memiliki bekal kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Apalagi di kalangan Suku Bakumpai ada semacam tradisi untuk memasukkan anak ke sekolah diniyah yang mengajarkan membaca Al Quran, menulis dan membaca tulisan Arab, serta mempraktikkan ajaran, tuntunan dan ibadah Islam.
Untuk itu kakak-kakak Achmad Yuliansyah mendatangkan guru ngaji ke rumah buat mengajari si bungsu ini untuk belajar membaca Al Quran dan menulis huruf Arab. Mereka menyerahkan langsung kepada guru yang bertanggung-jawab dan cukup kompeten mengajar ngaji.

Karena itu, di usia sekolah dasar tersebut, Achmad Yuliansyah menghabiskan masa kanak-kanaknya di antara SD (sekolah formal) dan guru ngaji di rumah. Petang hari sampai usai maghrib, dia dan teman-temannya belajar mengaji di rumah. Usai belajar mengaji, dia melanjutkan belajar pelajaran sekolah. Setiap hari, Achmad Yuliansyah dan anak-anak kakaknya belajar mengeja huruf Arab (hijaiyah) kemudian merangkai huruf demi huruf sampai akhirnya mampu sepenuhnya membaca Al Quran.

Sang guru tidak sebatas mengajar mengaji. Dia pun mendidik anak-anak ‘santri’ untuk berdisiplin diri, hidup sederhana dan menjalin tali silaturrahim. Sang guru tidak segan-segan memberikan teguran ke anak-anak yang ketahuan mengobrol saat belajar. Sang guru ngaji juga mewajibkan anak-anak santrinya ikut shalat subuh berjamaah di surau terdekat. Sang guru ngaji tak ingin para santrinya memandang waktu subuh ‘penuh benci’ seperti dalam lirik nasyid berjudul Peristiwa Subuh berikut: Tabuh berbunyi gemparkan alam sunyi//Berkumandang suara adzan//Mendayu memecah sepi//Selang-seling sahutan ayam//Tetapi insan kalaupun ada hanya//Mata yang melek dipejam lagi//Hatinya penuh benci//Berdengkurlah kembali.

Bahwa waktu subuh merupakan saatnya alam semesta hening dan jiwa dalam keadaan bugar. Di saat itu, Al Quran pun akan dapat dicerna secara segar dan diterima dengan segenap kesadaran, sebelum urusan dunia membuatnya sibuk.
 
Dengan pendidikan agama sejak dini itulah, Achmad Yuliansyah kini demikian tawadhu dalam keseharian. Banyak bergaul dengan kaum agama. Dalam perjalanan hidupnya banyak berkomunikasi dan menjalin tali silaturrahim dengan ustadz, kiai, dan kalangan agama lainnya. ***   

--------------------
Tulisan ini merupakan salah satu bab dari buku "Achmad Yuliansyah, Pemimpin Visioner yang Melayani" yang diterbitkan oleh Penerbit Indomedia Global, Jakarta, Juli 20120. Dan dapat diperleh secara gratis di www.pustaka78.com

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)