Pejabat Kita Tidak Memiliki Pengetahuan Jaminan Sosial
Potensi dana jaminan sosial di Indonesia, dalam
perhitungan kasar, bisa mencapai kisaran ribuan triliun rupiah. Dana sebesar
itu tentu sangat bermanfaat di tengah-tengah kita kesulitan dana untuk
menggerakkan sektor riil dan pembangunan infrastruktur. Namun, karena salah
kelola atau tidak tahu cara mengelolanya, mobilisasi dan penggunaan dana
jaminan sosial tidak optimal. Dan kita terjebak serta terjerat utang luar
negeri yang terus menggunung dari waktu ke waktu. Malaysia yang hanya
berpenduduk sekitar 30 juta jiwa mampu memobilisasi dana jaminan sosial sampai
Rp700 triliun dan secara cepat berhasil keluar dari krisis ekonomi. Sementara
itu Indonesia yang berpenduduk ratusan juta jiwa masih saja berkutat dengan
krisis multidimensi tanpa tahu kapan mampu keluar. “Pemerintah kita lebih
memilih minta pinjaman luar negeri yang bisa cepat didapat daripada harus
bersabar mengumpulkan dana jaminan sosial. Mereka tidak memahami bahwa jaminan
sosial merupakan pilar ketiga buat pembiayaan pembangunan negara,” ujar mantan
Rektor Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) Prof. Dr. Sofyan Effendi dalam perbincangan dengan Majalah Jaminan Sosial belum lama ini. Berikut
petikan ringkas wawancara dengan Prof. Sofyan seputar masalah sistem jaminan
sosial:
Bagaimana penilaian Anda terhadap praktik jaminan sosial di Indonesia?
Jaminan sosial kita ini tidak dikelola dengan baik secara
terpusat untuk kepentingan pembangunan nasional seperti negara-negara tetangga.
Kita lihat Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, sudah sejak lama mereka
mengembangkan sistem jaminan sosial. Kemudian dananya dikelola secara terpusat
untuk memodali pembangunan. Yang namanya jaminan sosial itu kan tabungan jangka
panjang sekitar 30-35 tahun. Selama ini dana jaminan sosial kita hanya numpuk
di bawah kasur. Dana ini sebenarnya bisa digunakan untuk investasi pembangunan
jalan dan infrastruktur yang memerlukan modal pinjaman jangka panjang dengan
bunga rendah dan relatif stabil.
Pemerintah kita lebih memilih menempuh jalan pintas mengandalkan
pinjaman luar negeri atau penanaman modal asing (investment direct). Untuk Indonesia, pinjaman luar negeri ini memang
lebih murah. Karena mengandalkan pinjaman dari luar negeri, pasti ada take and give. Sebab itu, semakin banyak
utang suatu negara maka semakin ditekan oleh negara pemberi pinjaman;
kemerdekaan kita menjadi terancam.
Itulah sebenarnya peranan yang bisa diambil oleh sistem
jaminan sosial nasional yang dikelola dengan baik. Yaitu, semacam tabungan
banyak orang jangka panjang. Karena jumlah penduduk dan angkatan kerja kita
cukup besar, jumlah dana jaminan sosial pun cukup besar. Kondisi sekarang ini,
sistem jaminan sosial, termasuk asuransi, dikelola oleh 350-an perusahaan. Gilanya lagi Pemerintah
membolehkan perusahaan asing mengelola dana-dana
tabungan jangka panjang ini. Celakanya, perusahaan asing tadi kan tidak menginvestasikan
di Indonesia tapi ke negara asalnya. Sementara kita meminjam dari
asing untuk pembiayaan pembangunan. Jadi kacau balau.
Di mana pangkal kesalahan kekacauan ini?
Saya kira mulai dari pengetahuan kognitif. Para pembuat kebijakan jaminan sosial
kita tidak mempunyai pengetahuan kognitif adanya pilar ketiga, selain kebijakan
fiskal dan moneter, untuk sumber pembiayaan
dalam negeri. Pilar jaminan sosial, sebagaimana diperkenalkan oleh ekonom
Samuelson, kurang diajarkan di fakultas ekonomi di universitas-universitas di Indonesia.
Akibatnya, kalau mereka membuat kebijakan ekonomi, katakanlah pejabat eselon I
di Kementerian Keuangan, tidak memiliki pengetahuan tentang sistem jaminan
sosial. Tahunya hanya kebijakan moneter dan fiskal. Dia tidak melihat sistem jaminan sosial. Padahal, potensinya cukup besar,
terbukti ada 350-an perusahan pengelola dana pension. Di negara lain, semua itu
disentralisasi menjadi satu kemudian dananya dipakai untuk membiayai pembangunan.
Ditambah lagi, kecenderungan senang meminjam ke luar
negeri. Karena, dana pinjaman luar negeri ini paling gampang diselewengkan, baik
oleh para peminjam ataupun oleh para
pejabat yang mengurusi. Sementara jaminan sosial perlu administrasi yang baik,
mengumpulkan uang yang kecil-kecil, dan perlu pemerintahan yang kuat.
Jadi mulanya pada pendidikan dan pengetahuan?
Ya, karena pengetahuannya semakin cupet, sempit. Celakanya, bilamana para lulusan perguruan tinggi menjadi policy
maker ya dia membuat policy yang
sangat cupet juga.
Termasuk saat melahirkan UU BPJS yang segera melebur empat BUMN
jaminan sosial?
Ya, rencana melebur Taspen, Jamsostek, Askes dan Asabri ke dalam satu BPJS itu kacau. Penyatuan itu memang
susah. Tidak mungkin
para pekerja yang sudah menabung mati-matian dipakai untuk ini BPJS yang meng-cover seluruh penduduk. Biarlah dikelola
sendiri. Jaminan sosial kita biarlah bertumpu pada lima pilar. Ada sistem pensiun khusus untuk para PNS
seperti yang diselenggarakan PT Taspen, ada pula jaminan pensiun yang lain, dan
ada lagi yang tanpa iur. Saya kira banyak yang tidak paham konsep ini.
Persoalan demikian jelas, apa saran Anda untuk perbaikan
ke depan?
Pemerintah harus membentuk komisi, semacam komisi jaminan
sosial yang anggota terdiri dari orang-orang yang paham betul mengenai sistem
jaminan sosial. Dari komisi ini lahir rekomendasi. Pemerintah bekerja
berdasarkan rekomendasi itu, apakah membentuk BPJS baru, bagaimana penggunaan dana
jaminan sosial dan dipakai untuk apa saja.
Sekarang kan ada Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana diamanatkan
oleh undang-undang?
Benar, tapi tergantung penunjukan anggotanya. Yang ditunjuk harus orang-orang yang paham mengenai konsep sistem jaminan sosial, mengerti fund management, memahami aktuaria, serta tahu bagaimana
mengembangkan dan menggunakan dana itu. Kalau itu
dikembangkan,
potensi dana jaminan sosial itu luar
biasa, Indonesia tidak perlu lagi utang. Malaysia yang kecil saja, dengan penduduk sekitar 30 juta jiwa, dana jaminan sosialnya mencapai
Rp700 triliun. Indonesia dengan penduduk
ratusan juta, tentu bisa mengumpulkan dana jaminan sosial ribuan triliun
rupiah. Dengan catatan dikelola dengan baik. Kita tidak perlu utang sana-sini, jadi
korban negara lain. Kita butuh pemimpin yang berani untuk membangun sistem
jaminan sosial yang kuat.
Bagaimana dengan sistem jaminan sosial buat PNS dan
TNI/Polri?
Oke, yang sekarang sudah jelas adalah dana pensiun dan jaminan
kesehatan. Jaminan kesehatan itu jelas diselenggarakan oleh Askes. Sedangka jaminan
pensiun dan jaminan kematian oleh PT Taspen. Sekarang ini, 100 % pensiunan itu
dibayar dengan APBN. Sudah memakan anggaran hampir Rp90 triliun setahun untuk
2,5 juta pensiunan pegawai. Kalau lima tahun ke depan terjadi booming jumlah pensiunan, kira-kira ada
5 juta, bisa memakan anggaran Rp180 triliun. Habislah belanja pegawai kita
disedot untuk membayar pensiunani. Ini tidak bisa dibiarkan, harus di-reform besar-besaran agar pemerintah
tidak bangkrut.
Saya usulkan dalam Rancangan UU Aparatur Sipil Negara
(ASN) bahwa sistem pensiun PNS terdiri dari dua pilar, pilar satu sistem
jaminan sosial nasional seperti yang diberlakukan untuk semua warga negara dan
pilar kedua sistem khusus untuk PNS yang dikelola oleh PT Taspen. Dengan mengintrodusir sistem dobel ini, kita harapkan Pemerintah tidak akan melebur Taspen ke dalam
BPJS.
Bila dilihat dari tahapan pembentukan BPJS Ketenagakerjaan,
tahun 2029 baru ada peleburan. Bagaimana agar Taspen, Asabri dan Jamsostek tidak hilang?
Saya kira Taspen
harus bisa menggunakan social marketing untuk menunjukkan bahwa keberadaan Taspen masih diperlukan. Karena, sistem pensiun yang diintrodusir RUU ASN adalah sistem asuransi yang menghendaki
adanya dua lembaga pengelola, yakni bagian dari program jaminan
sosial yang dikelola BPJS dan program pensiun khusus PNS yang dikelola oleh Taspen. Jadi BPJS-nya senang tidak
terganggu dan Taspen juga aman. Saya sudah ngomong
dengan kawan-kawan di Kementerian Keuangan dan mereka setuju sistem itu.
Berapa lama lagi RUU ASN bisa disetujui untuk diundangkan?
Sebenarnya RUU ASN sudah mau disetujui masa persidangan awal April 2012. Tapi, karena pemerintahnya
belum bersatu pandangan tentang dua pasal saja maka ditunda 60 hari.
Pasal apa saja itu?
Pertama pasal mengenai Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Nanti komisi ini yang bertugas
membuat regulasi-regulasi tentang profesi yang
bernama Aparatur Sipil Negara Indonesia sebagai public service. Komisi ini anggotanya 5 orang, terdiri dari 1 orang mewakili pemerintah, satu orang akademisi, dan tiga orang mewakili asosiasi pegawai negeri. Belum ada kesepakatan karena
Menpan takut kekuasaaanya berkurang. Yang lucu, DPR-nya sangat reformis,
pemerintahnya yang anti-reformasi. Dia sudah berada di comfort zone.
Kemudian yang kedua, pasal mengenai jabatan eksekutif
senior. Melalui UU ASN ini kita tegaskan bahwa jabatan-jabatan puncak di dalam
birokrasi publik, walaupun dia bekerja di daerah, dia merupakan pegawai
nasional. Jabatan direktur jenderal, direktur, kepala biro, kepala LPMK, dan wakil
menteri itu jabatan nasional. Jadi panglima tertinggi PNS itu harus nasional. Ini
untuk menjaga keutuhan negara persatuan. Juga untuk menjaga supaya mereka yang
potensial dan berada di daerah itu bisa naik ke tingkat nasional. Dan jumlahnya
tidak, cuma sekitar 12.000 orang. Nah, Kemendagri merasa keberatan, ya karena ada
kepentingan. Lebih dari separuh dari 12.000 orang itu adalah pejabat daerah
yang selama ini kewenangan penunjukan dan pengangkatan di tangan Mendagri. Kita
tahu di situ ada setoran dan harga. Nah, itu yang tidak mau mereka lepas. Jadi mereka
menolak bukan karena ada alasan substantif bahwa ini bukan konsep yang baik
misalkan, tapi hanya kepentingan pribadi, kepentingan jangka pendek, bukan
kepentingan untuk bangsa. Akhirnya DPR katakan, kalau sesama pemerintah belum
ada kesatuan pandangan lebih baik kita tidak usah mengesahkan UU ASN. Kita rugi
60 hari, waktu terbuang percuma.
------------------------------oOo----------------------------------
Prof. Dr. Sofian
Effendi, MPIA
Lahir di Bangka, 28 Februari 1945
- 1966, BA (Administrasi Negara), UGM.
- 1969, Drs. (Administrasi Negara), UGM.
- 1975, MPIA (Pembangunan Ekonomi dan Sosial), University
of Pittsburgh, USA.
- 1978, Ph.D. (Administrasi Publik), University of
Pittsburgh, USA.
Karir:
- 2002-2007, Rektor Universitas Gajah Mada.
- 2001- sekarang, Guru Besar Kebijakan Publik, UGM.
- 1999-2000, Kepala Badan Kepegawaian Negara.
- 1998-1998, Asisten Menteri Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Kebijakan, Sekneg RI.
- 1998-1999, Asisten Wakil Presiden RI Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Kebijakan.
Organisasi:
- Wakil Ketua Himpunan Sarjana Administrasi Indonesia
(PERSADI)
- Wakil Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan
Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS)
- Anggota Policy Study Organization (PSO)
Publikasi &
Karya Tulis:
- Strategi
Pengembangan Sumber Daya Aparatur Negara. Makalah pada Seminar
Penyempurnaan UU Nomor 8 tahun 1995 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Jakarta,
BAKN, 16 Februari 1999.
- Reformasi
Administrasi untuk Mendorong Produktivitas dan Kinerja Birokrasi. Makalah
pada Lokakarya Re-entry Manajemen Stratejik untuk Pejabat Daerah. Bangka,
Depdagri, 22 Juli 2000.
- Peranan dan
Struktur Aparatur Daerah untuk Mendukung Implementasi Otonomi Daerah.
Makalah pada Seminar Nasional Persatuan Administrasi Indonesia. Banten, 3 Mei
2001. ***
Comments
Post a Comment