Nama Penuh Makna dari Desa Luwoo


oleh budi nugroho
 
Mendengar nama Desa Luwoo, orang yang berada di luar Kota Gorontalo boleh dikatakan cukup asing. Wajar saja, karena Luwoo hanyalah salah satu desa kecil di Kecamatan Talaga Jaya, Kabupaten Gorontalo. Di mata kita orang awam, rasanya, tak ada yang istimewa dari Desa Luwoo. Padahal, desa ini sudah cukup tenar di masa-masa awal kemerdekaan, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Setidaknya, desa ini cukup sohor saat Gorontalo memproklamasikan kemerdekaan pada 23 Januari 1942.

Cukup sohor, karena dari desa inilah asal pelaku sejarah kemerdekaan  Gorontalo. Ya, di Jalan Sartika Desa Luwoo, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, tinggal seorang pelaku sejarah kemerdekaan. Dia adalah Hawaria Abdul (akrab dikenal Ma Ita Hawa), wanita Pengibar Bendera pertama saat Gorontalo memproklamirkan kemerdekaan pada 23 Januari 1942 silam.  Ma Ita Hawa mengisahkan perjuangannya saat mengikuti sang pemimpin perjuangan waktu itu Pahlawan Nasional Nani Wartabone atau yang dulunya lebih akrab disapa Temey Jonu. Ma Ita Hawa, saat pertama kali berjuang, memulainya dengan menjadi seorang tenaga bagian dari pasukan pengibar bendera pertama pada hari kemerdekaan. Namun disayangkan bahwa perjuangannya yang begitu gigih itu hanya bisa dikenang. Sampai saat ini ia tidak memiliki SK Veteran sebagaimana dimiliki oleh pejuang-pejuang veteran lainnya.

Nama Luwoo pun tenggelam. Padahal, Luwoo boleh dikatakan merupakan sebuah desa yang sarat dengan orang-orang yang cukup patriotik dan gigih berjuang. Gigih pula tampil sebagai pemimpin bangsa. Salah satu tokoh sohor yang lahir di desa ini dan kemudian tampil memimpin Kota Gorontalo adalah Adhan Dambea.

A.   Sebuah Nama yang Sarat Makna

Mengapa harus nama Adhan Dambea? Penulis naskah drama kondang William Shakespeare, sebagaimana orang Barat pada umumnya, biasa tidak hirau pada nama yang mesti ditorehkan atau dilekatkan pada anak yang baru lahir. What it’s a name? Apalah arti sebuah nama.

Tapi tidak demikian halnya bagi kebanyakan orang-orang kita di Indonesia. Nama jelas memberi arti dan makna tersendiri. Bagi kita yang beragama Islam, nama adalah sebuah doa. Jangan sampai kita memberi nama anak dengan nama-nama yang berarti atau berkonotasi negatif, kendati kedengarannya terasa enak di telinga. Misalkan nama Bakhil yang artinya kikir atau pelit, dan Hasad yang mengandung arti dengki.
Mengapa Abdullah Dambea memberi nama anaknya Adhan Dambea, sosok yang kini tengah memimpin warga masyarakat sebagai Walikota Gorontalo (2008-2013). Karena, Adhan Dambea lahir di Desa Luwoo, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, tanggal 7 Juni 1958 sekira jam 09.15 waktu setempat. Takbir sedang menggema tatkala umat Muslim di Gorontalo memulai prosesi penyembelihan hewan qurban, setelah didahului pagi harinya menunaikan shalat Iedul Adha di lapangan desa. Suasana yang penuh kemenangan bagi umat Muslim, kemenangan atas pengorbanan manusia agung Ibrahim yang secara ikhlas memenuhi perintah Allah SWT untuk merelakan anaknya, Ismail. Dan berkat keikhlasan itulah kemudian pengorbanan Ismail diganti dengan seekor kambing gibas.

Dalam suasana penuh kemenangan Iedul Adha itulah, sosok jabang bayi lahir ke dunia dari rahim seorang ibu bernama Marini Albakir dengan pertolongan seorang dukun bayi. Sebagai buah kasih dari Abdullah Dambea dan (sekali lagi) Marini Albakir. Sang ayah (Abdullah Dambea) tidak ingin sekadar memberi nama pada anak bungsunya itu. Dia ingin mengabadikan makna, spirit dan semangat Iedul Adha ke dalam jiwa si jabang bayi yang baru saja mendengar ingar-bingar alam dunia.

Iedul Adha tidak lepas dari sosok Ibrahim as dan Ismail as. Ibrahim memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah SWT dan keyakinan yang kuat pula terhadap aqidahnya. Keyakinan yang kuat menghunjam dalam qalbu. Karena itulah Ibrahim memberikan kepatuhan yang benar dan dakwah beliau pun disebut Islam. Kepatuhan Ibrahim dalam dua sikap, yaitu memalingkan perhatiannya dari segala sesuatu selain Allah SWT dan mempersembahkan segala sesuatu hanya untuk Allah semata.

Kepatuhan yang demikian populer dan diikuti oleh umat Islam sampai sekarang adalah kepatuhan Ibrahim saat mengimplementasikan perintah Allah SWT lewat mimpinya. “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu?” (QS Ash-Shaffat ayat 102). Ismail menjawab dengan penuh keyakinan dan kepatuhan pula, “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash-Shaffat ayat 102)

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, ketika itulah, Ibrahim sukses menempuh ujian. Pengorbanan ini tidak lain adalah buah keyakinan Ibrahim yang menghunjam dalam qalbunya, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al-An’am ayat 75, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”

Itulah sosok Ibrahim. Selain itu, Allah SWT juga memberikan kepadanya potensi lain, yaitu kemampuan berhujah secara kuat. Dia tidak pernah kalah dalam perdebatan, di samping mampu berdakwah secara lembut dan menarik simpati orang lain secara bertahap.

Ayahanda Abdullah Dambea tidak ingin melewatkan momen Iedul Adha yang sarat makna kepatuhan yang menghunjam dalam qalbu insani. Maka jabang bayi yang baru lahir dari rahim Marini Albakir di pagi usai shalat Iedul Adha (bertepatan tanggal 7 Juni 1958) itu lantas diberi nama Adhan dari asal kata adha atau qurban. Abdullah berharap si jabang bayi kelak mampu menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pengorbanan Ibrahim as dan Ismail as.         

Selama ini nyaris tidak ada yang tahu, sebenarnya nama Adhan diambil dari hari kelahirannya, yakni Hai Raya Idul Adha. “Yang memberi nama itu bapaknya. Dia lahir sekitar pukul 09.15 Wita di rumahnya, di Desa Luwoo, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo,” cerita Kartin Abas, sepupu Adhan Dambea.

Menurut Kartin, Adhan lahir setelah umat Islam menunaikan shalat Iedul Adha. “Saat itu ibunya sudah mulai merasakan sakit sejak malam takbir, namun baru bisa lahir pagi usai shalat Ied,” jelasnya.

Tidak seperti keluarga lainnya yang selalu ditunggui sanak keluarga,  kelahiran Adhan hanya ditunggui sang ayah. “Kami saat itu sibuk mempersiapkan shalat Ied. Baru setelah shalat, kami beramai-ramai dan berkumpul di rumah Adhan untuk melihat si jabang bayi Adhan,” tutur Kartin lagi. Proses kelahiran yang dijalani sang ibu Marini Albakir, meski hanya dipandu oleh seorang dukun beranak, dapat berjalan normal dan lancar.

Lahir sebagai bungsu, Adhan Dambea memperoleh perlakuan spesial dari sang ibu. Dalam bahasa sekarang, dia sebagai anak mampi. “Salah ataupun  benar, ibu tetap membela dia. Terlebih jika Adhan bertengkar dengan kakak-kakaknya, pasti yang dibela adalah Adhan,” ujar Kasma Dambea, kakak kelima Adhan.

Tidak sebatas itu saja, lantaran demikian kuatnya membela Adhan, ibunya sampai harus bertengkar dengan ayahnya Adhan yang berprofesi sebagai Guru dan pengurus Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Gorontalo tersebut. “Begitu juga jika ibu pulang dari bepergian, dari manapun, pasti yang terlebih dulu dicari adalah Adhan,” kata Kasma. Menurut dia, nama kesayangan Adhan adalah “Te Hani”. “Cucu-cucu dari saudara-saudara memanggilnya “ti opa Hani,” ujarnya.

Tapi, lain lagi dengan keponakan dari saudaranya, dia biasa dipanggil dengan “ti pa ade”. “Saat kecil kenakalannya sebagai anak-anak sangat nampak. Saat sekolah di STN, dia sering bolos. Caranya bolos sekolah, yakni dengan berpura-pura masuk ke dalam sekolah saat ayahnya mengantar ke sekolah. Namun ketika ayah pergi, dia langsung kabur keluar dari sekolah. Menariknya, Adhan menggunakan kebiasaan bolosnya itu justru untuk berkumpul bersama dengan teman-temannya yang tidak sekolah. Nah, di situ ayah sempat memarahi dia,” cerita Kasma.

Kasma juga menceritakan bahwa, sejak kecil, Adhan tidak seperti anak-anak lain yang hanya berdiam diri di rumah. “Dia sangat agresif. Setiap ada kegiatan di kampung, pasti dia ada. Jadi dia tidak pernah ketinggalan informasi,” ujarnya.   

Bahkan, Adhan Dambea boleh dikatakan termasuk anak yang nakal. Adhan merupakan sosok yang biasa-biasa saja. Kata Kepala SDN 2 Luwoo, Arul Alitu, Adhan tidaklah terlalu pintar tetapi juga tidak terlalu bodoh dalam menyerap pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Yang Arul Alitu masih ingat, Adhan termasuk anak nakal. “Kenakalannya tidak hanya di rumah, tapi juga di sekolah. Namun kenakalan Adhan tidak berlebihan. Ini bisa dimaklumi mengingat usianya. Adhan kecil memiliki pendirian kuat, meski pendiriannya itu terkadang berlawanan dengan pendapat gurunya,” ujarnya.

Namun demikian, kata Arul, Adhan tidak pernah membuat keributan di lingkungan sekolah. "Adhan tidak pernah membuat keributan di sekolah, Adhan juga tidak pernah tinggal kelas dan tidak pernah mendapat nilai yang tidak memuaskan," tutur Arul.

B.    Tak Sampai Tamat STN

Abdullah Dambea, ayahanda Adhan, hanyalah seorang guru dengan penghasilan pas-pasan. Bahkan, terkadang, gajinya tidak cukup untuk sekadar buat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dalam sebulan. Maklum, keluarga Abdullah Dambea merupakan keluarga relatif besar. Adhan dibesarkan sebagai bungsu dari enam bersaudara.

Dengan serba keterbatasan penghasilan sang ayahanda, Adhan bersaudara paling tinggi hanya mampu mengenyam pendidikan formal tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Adhan bercerita: “Kakak pertama saya tidak lanjut Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA), kakak yang kedua menjadi guru tapi hanya menggunakan ijazah SMP dan setelah menjadi guru baru bisa melanjutkan ke SMA, kakak ketiga drop out di SMP, kakak keempat drop out di Sekolah Teknik Negeri (STN), kakak kelima juga drop out di STN, dan saya sendiri cuma sampai kelas dua STN. Dari enam bersaudara tidak ada yang selesai sampai SMA karena kondisi ekonomi orang tua saya yang kurang mampu dan saya sampai memilih meninggalkan kedua orang tua.”

Dalam keadaan drop out kelas dua STN, Adhan tidak mau hanya tinggal diam di rumah. Tahun pelajaran 1973/1974, Adhan meninggalkan sekolahnya di kelas dua STN Gorontalo sekaligus meninggakan kedua orang-tuanya di Desa Luwoo. Dia melanglang buana ke beberapa daerah, seperti Boalemo sampai Pohuwato. Pada tahun 1976, tanpa sepengetahuan kedua orang-tuanya dia masuk ke Kursus Pegawai Administrasi (KPA) yang setara dengan SMP.

“Hanya dua tahun, sampai tahun 1977 di KPA, tahun 1977 saya mengikuti ujian persamaan di SMP 2 Gorontalo. Dan pada tahun 1977 itu pula saya memutuskan bekerja di Sekretariat Golkar Gorontalo sebagai tukang sapu sekretariat. Baru pada tahun 1992 saya mengikuti ujian persamaan SMA. Praktis, kalau bercerita tentang pendidikan sekolah, saya tidak seperti teman-teman yang lain yang bisa mengikuti sekolah secara berkelanjutan,” papar Adhan Dambea.

“Di KPA ini saya bertemu seorang perempuan bernama Salma Ointu yang kemudian saya nikahi pada tanggal 7 Januari 1979. Ketika itu Salma Ointu bekerja di KPA, dia lulusan sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama). Dalam merajut kasih itu, saya dan calon isteri tidak seperti muda-muda yang lain yang memang punya materi lumayan. Untuk bertemu calon isteri saya harus meminjam sepeda orang atau bahkan seringkali jalan kaki. Namun, semua itu kami jalani penuh kesabaran dan ketabahan,” Adhan Dambea berkisah. 

Dengan perjalanan pendidikan yang relatif terbatas tersebut, Adhan mengaku tidak memiliki banyak kenangan. “Yang masih saya ingat, ketika di SD dan STN saya kerap dikasih wejangan oleh guru-guru karena saya sering membuat kejadian, termasuk perkelahian atau melawan guru dan meninggalkan sekolah,” ujar Adhan Dambea.

Sewaktu sekolah, Adhan kurang menyukai pelajaran menggambar. Bila sedang ada pelajaran menggambar, dia kerap membolos. Bahkan, dia sering mengajak kawan-kawannya membolos tatkala guru pelajaran menggambar terlambat tiba di kelas. Meski begitu, kata Adhan, dirinya tidak membenci siapapun guru yang pernah mengajar selama dirinya bersekolah.

“Bagi saya tidak ada guru yang dibenci. Sering guru berpesan, bahwa mereka peduli walaupun saya nakal. Alhamdulillah sampai sekarang masih ada guru yang berkesan dan masih hidup, yaitu Ibu Zaenab Bunta dan Bapak Syahrir Hasan. Pak Syahrir Hasan ini yang banyak memukul saya dengan menggunakan rotan kalau saya nakal atau melawan. Beliau tidak menjauhi saya meskipun saya nakal, suka berkelahi dan suka melawan guru,” tutur Adhan.

Begitulah Adhan bertutur tentang masa sekolahnya yang cuma sampai kelas dua STN. Dia tidak bisa bersekolah secara berkelanjutan karena kondisi perekonomian kedua orang-tuanya yang sangat pas-pasan.

Dalam perjalanannya, ketika karir politiknya mulai tampak menjulang, Adhan berusaha meningkatkan kualitas diri dengan mengikuti ujian persamaan SMA pada tahun 1992. Selanjutnya, tahun 2000 dia masuk ke Universitas Terbuka (UT). Karena kesibukannya sebagai politisi, sampai tujuh tahun masa kuliah, dia tidak juga lulus dari UT. Kemudian dia memilih masuk ke Universitas Sam Ratulangi (Manado) dengan mengkonversi nilai-nilai yang telah diperoleh dari UT. Tahun 2007, dia berhasil menamatkan pendidikan tinggi strata satu (sarjana) di Universitas Sam Ratulangi.

Keinginannya untuk terus meningkatkan kualitas diri terus menggelora dalam diri Adhan Dambea. Pada bulan Juli 2008, dia mendaftarkan diri di Program Pascasarjana (S-2) Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di tengah kesibukannya sebagai Walikota Gorontalo (2008-2013), dua pekan sekali Adhan Dambea ke Yogyakarta untuk kuliah. Dalam waktu satu tahun tujuh bulan, dia berhasil merampungkan pendidikan pascasarjana S-2 dengan Indeks Prestasi 3,85. Dan, mulai bulan Mei 2012 dia mengikuti kuliah program pascasarjana S-3 di Universitas Sam Ratulangi.

C.   Harmoni Keluarga yang Religius

Kenakalan Adhan Dambea di masa kanak-kanak hanyalah kenakalan anak-anak sewajarnya. Dia tetap patuh dan taat pada kedua orang-tuanya. Dan, satu prinsip, dia senantiasa tidak melupakan kewajiban agamanya, Islam. Dia tidak melupakan shalat lima waktu. Hal ini tidak terlepas dari didikan ayahnya, Abdullah Dambea, yang selalu bersandar pada nasihat Luqman kepada anaknya sebagaimana tertulis dalam Al Qu’ran Surah Luqman ayat 17 yang artinya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

Luqman (dalam QS Luqman ayat 12) juga bernasihat kepada anaknya, “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Abdullah Dambea tidak banyak berbicara dalam menanamkan nasihat Luqman kepada Adhan dan kakak-kakaknya. Dia cukup berperilaku sebagaimana digariskan oleh syariat Islam, agama yang dianutnya. Bangun tidur menjelang Subuh. Cepat-cepat dia mengambil wudhu lalu menuju surau di dekat rumahnya. Dia senantiasa menyempatkan diri menunaikan shalat Subuh berjamaah dengan para tetangganya sesama umat Islam. Dia menyadari betul keutamaan shalat Subuh berjamaah. Rasulullah Muhammad SAW menjelaskan, terdapat enam keutamaan shalat Subuh berjamaah. Pertama, Mendapatkan jaminan dan rasa aman dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW, “Barangsiapa shalat Subuh (berjamaah) maka ia dalam tanggungan Allah” (HR Muslim). Menurut Imam Nawawi, yang dimaksud dengan ‘dalam tanggung Allah’ itu adalah jaminan perlindungan dan rasa aman serta tenteram dari Allah SWT.

Kedua, Terbebas dari sifat munafik, yaitu sifat bermuka dua. Satu wajah mengaku komitmen terhadap perintah Allah, dan sisi wajah lainnya mengabaikan terhadap perintah-Nya. Shalat Subuh berjamaah merupakan batu ujian sejauh mana seorang mukmin berkomitmen terhadap perintah Allah. Rasululllah SAW bersabda, “Tidak ada shalat paling berat bagi orang-orang munafik kecuali shalat Subuh dan Isya.” (HR Bukhari)

Ketiga, Mendapatkan cahaya di Hari Kiamat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Berilah kabar gembira dengan cahaya benderang di Hari Kiamat bagi mereka yang berjalan ke masjid dalam kegelapan (shalat Subuh).” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
Keempat, Memperoleh persaksian dan pujian dari para malaikat. Waktu Subuh merupakan tempat bersuanya para malaikat malam dengan para malaikat siang sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW, “Para malaikat malam dan malaikat siang bertemu di waktu shalat Subuh.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kelima, Dijamin terhindar dari api neraka. Seorang mukmin yang berkomitmen berjamaah shalat Subuh di masjid berarti ia telah menunjukkan standar minimal keimanannya. Terkait jaminan ini, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan pernah masuk neraka seseorang yang terbiasa shalat sebelum matahari terbit dan terbenam.” (HR Muslim)

Dan keenam, Dapat melihat Allah kelak di Hari Kiamat. Ini adalah kesempatan dan nikmat terbesar. Adakah keinginan terbesar manusia selain dapat melihat Sang Khaliq yang sepanjang hayatnya disembah dan dipujanya? Shalat Subuh berjamaah memberikan kesempatan itu. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa kalian akan melihat Tuhan kalian seperti kalian melihat bulan purnama! Maka janganlah kalian tidak yakin untuk (dapat) melihat-Nya. Maka jika kalian mampu, janganlah kalian terkalahkan oleh shalat sebelum terbit (Subuh) dan sebelum terbenam matahari.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abdullah Dambea ingin keluarganya senantiasa mendapat perlindungan dari Allah 
SWT, terhindar dari api neraka, terbebas dari sifat munafik, memperoleh cahaya di Hari Kiamat, mendapat persaksian para malaikat, dan dapat melihat Allah di Hari Kiamat kelak. Sebab itu, di sela-sela kesibukannya sebagai Guru dan aktivitas PSII, Abdullah berusaha meniti kehidupan di jalan syariat Islam. Dan sebagai pemimpin rumah tangga, dia juga berusaha menjadi teladan atau nilai-nilai yang berjalan bagi anak-anaknya. Karena, kata orang bijak, keteladanan adalah perintah tanpa kata-kata. Anak lebih senang mengikuti teladan daripada perintah orang-tuanya. Keteladanan menjadi cara yang efektif untuk mempengaruhi anak dalam bersikap, bertindak dan berperilaku. Untuk menjadi teladan yang efektif, Abdullah Dambea berusaha taat pada syariat, terus berkomunikasi dengan anak-anaknya, memberi kepercayaan penuh kepada anak, memperlihatkan sikap positif dalam kehidupan sehari-hari, dan bekerja keras buat memenuhi semua kebutuhan keluarga.   

Di sela-sela aktivitas mengajar dan berpartai, tatkala adzan berkumandang, Abdullah Dambea langsung meninggalkan kegiatannya dan cepat-cepat menuju ke surau atau masjid terdekat. Lalu mengambil wudhu dan shalat berjamaah di surau atau masjid. Sepanjang waktu, Abdullah Dambea berusaha disiplin mengisi hari-harinya antara mencari nafkah dunia dan bekal ke kampung akhirat.

Abdullah Dambea tidak sebatas mengajarkan disiplin lewat shalat lima waktu yang selalu ditunaikan tepat waktu. Dia juga mengajarkan ke Adhan dan kakak-kakaknya untuk senantiasa berserah diri kepada Allah SWT. Kata Adhan, sebagaimana diajarkan Al Qur’an, ayahnya meyakinkan dirinya bahwa bila kita berserah diri kepada Allah SWT, kelak akan berhasil, apalagi dalam menjalani kehidupan atas kehendak-Nya.

Nilai lain yang juga melekat pada diri Abdullah Dambea adalah perilaku tanggung jawab atas segala perbuatan anak manusia. Sebagai guru dan politisi, dia berusaha tidak mengumbar janji-janji politik tapi janji-janji yang betul-betul harus ditepati dengan penuh tanggung jawab. Setiap ilmu yang diberikan dan janji dititahkan senantiasa harus dipertanggung-jawabkan agar kita tidak merugi dunia-akhirat. Sekali lagi, Abdullah Dambea teringat pada nasihat Luqman kepada anaknya sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an Surah Luqman (31) ayat 16; (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”

Bagi Abdullah Dambea, menjadi guru dan politisi  tidak hanya mengajarkan nilai disiplin dan tanggung jawab. Mengacu pada teladan Nabi Muhammad SAW, ibarat berdagang, mengajar dan berpolitisi harus pula menjunjung tinggi kejujuran. Ketika Nabi berniaga dengan membawa barang dagangan Siti Khadijah, Nabi senantiasa jujur dalam transaksi dengan pembeli. Tak pernah mengurangi bobot timbangan dan isi takaran.  Berkat kejujuran itu pula, Khadijah tertarik kepada Nabi dan bersedia diperistri. Dan, lantaran demikian jujur dalam berdagang, jauh sebelum ditahsbihkan menjadi Rasul atau sebelum memperoleh wahyu, Muhammad telah mendapat gelar Al Amin (jujur dan dapat dipercaya). Kejujuran dan Islam, ibarat pondasi dan bangunan, saling mendukung dan mengikat satu sama lain. Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur.

Kejujuran adalah fitrah manusia yang utama. Abdullah Dambea ingin menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya, termasuk Adhan. Dengan kejujuran, hati seseorang akan semakin peka. Dan, berkat hati yang peka, seseorang akan senantiasa berada di jalan lurus. Terdapat empat tanda kepekaan hati, yakni perasaan yang mendalam, rasa tanggung jawab, kesadaran akan pengawasan Allah, dan pemeliharaan diri dari kejahatan (Imam Hasan Al-Banna, 1940). Jika engkau orang yang peka, sesuai dengan kadar kepekaan itulah kadar keimananmu. Seseorang yang peka akan mencela dirinya manakala hendak melakukan kejahatan. Ia akan selalu merasa bahwa Allah SWT senantiasa melihat dan mengawasinya di mana saja ia berada: baik di rumah, di jalan, di pabrik, di ladang maupun tempat-tempat yang tidak pernah kita duga. Sesuai dengan kadar kepekaan perasaan kita mengenai hal ini, itulah kadar keimanan kita.

Abdullah Dambea berusaha menanamkan kejujuran yang bermuara pada kepekaan hati. Sebagai guru dan politisi di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Abdullah berupaya menjunjung tinggi perasaan yang mendalam, rasa tanggung jawab, kesadaran akan pengawasan Allah SWT dan pemeliharaan diri dari kejahatan. Dia menyadari, sebagai politisi sangat rentan dihinggapi perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang jauh dari kedalaman nurani, jauh dari rasa tanggung jawab, dan begitu dekat dengan tindakan mencederai amanah.
Abdullah menyadari benar bahwa bila tiada lagi kejujuran pada umat beragama maka seseorang tidak bisa lagi disebut beragama. Dan, bagi mereka yang beragama Islam, kejujuran dan agamanya merupakan suatu bangunan yang saling memperkuat dan tidak terpisahkan. Apabila kejujuran dan kepekaan nurani tak ada lagi dalam diri Abdullah yang diturunkan kepada anak-anaknya, termasuk Adhan, maka sebenarnya dia sudah bukan lagi beragama Islam karena pondasi ke-Islam-annya telah hancur.

Sebab itu, sedari Adhan kecil, Abdullah cukup intensif menanamkan rasa tanggung jawab, kejujuran, ketulusan dan takut berbuat kejahatan. Salah satu hasilnya kini, sebagai Walikota Gorontalo, Adhan demikian aktif memerangi kemaksiatan, kejahatan, ketidak-jujuran dan ketidak-tertiban masyarakat.  

Adhan kini memahami betul kehadiran dan pengawasan Allah SWT dalam keseharian dirinya. "Saya masih berusaha untuk tahu, bahwa saya adalah orang yang sebelumnya tidak punya apa-apa. Semua yang terjadi pada saya saat ini adalah sebuah proses yang tidak luput dari campur tangan Allah SWT, yang merupakan suatu hal di luar perhitungan manusia. Maka tidaklah salah kalau semua potensi yang diberikan Allah SWT ini saya gunakan untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dituangkan-Nya dalam Al Qu’ran. Tidaklah berlebihan jika saya harus memerangi minuman keras, membangun dan menghidupkan suasana religius di kota ini. Andaikan saya diberikan Allah SWT umur seperti Rasulullah, maka izinkanlah saya pada sisa waktu sembilan tahun ini berbuat yang terbaik bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara," ujar Adhan Dambea.    

Sampai-sampai ulama sohor Kota Gorontalo, KH Ison Salilama, mengidentikkan sosok Adhan Dambea dengan sosok Kalifah Umar bin Khathab ra. Kalifah Umar tidak memandang kebesaran gelar, keagungan jabatan, dan kebanggaan kerajaan, tapi dia ingin mengukur kebenaran dan kebatilan dengan timbangan keadilan. Dan Kalifah Umar termasuk sosok yang sangat gampang tersentuh (peka) hatinya.

Hati Adhan demikian mudah tersentuh manakala melihat sebaran minuman keras di Kota Gorontalo. Dia lalu tergerak membasmi minuman keras meskipun menghadapi risiko. “Adhan mampu menutup dan bahkan berani mencabut izin sekaligus menutup pabrik miras terbesar yang ada di Ipilo. Padahal itu sangat sulit dilaksanakan oleh Pemda sebelumnya,” ujar Ison Salilama. Tidak berhenti di situ saja, katanya lebih lanjut, ancaman terhadap peredaran miras juga dilakukan secara gencar sampai di tingkat kecamatan dan kelurahan. “Ini membuktikan dia memang benar-benar ingin mewujudkan Kota Gorontalo menjadi kota religi, meskipun harus berhadapan dengan masyarakat yang kontra. Dia ingin menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan dengan timbangan keadilan masyarakat. Masyarakat harus dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat merusak tatanan sosial,” tuturnya.

Dalam Islam, ungkap Ison, Adhan dicerminkan sebuah hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan “marahankum munkar” yang artinya, siapa yang melihat orang berbuat munkar maka cegahlah dia dengan tangan. “Dan saya sebagai tokoh agama dan dai sangat mendukung, karena miras itu sangat dilarang agama,” Ison Salilama menegaskan.

D.   Lahir untuk Memimpin

Menurut pakar kepemimpinan John C. Maxwell, bahwa kepemimpinan adalah pengaruh. Yang dimaksud pengaruh adalah kemampuan untuk memperoleh pengikut (follower). Kepemimpinan merupakan satu proses yang akan membentuk seseorang menjadi pemimpin dengan karakter dan watak jujur terhadap diri sendiri (integrity), tanggung jawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (confidence), dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). Kepemimpinan juga merupakan suatu proses untuk membentuk seorang pengikut yang patuh kepada pemimpinnya, tetapi tetap memiliki pemikiran yang kritis, inovatif, dan jiwa independen.

Sekali lagi kepemimpinan adalah sebuah proses untuk membentuk seorang pengikut patuh kepada pemimpinnya. Kemampuan Adhan Dambea membentuk pengikut yang patuh telah terlihat sejak masih sekolah di Sekolah Dasar (SD). Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, tepatnya di SDN 2 Luwoo, Adhan memiliki banyak teman. "Karena memang dia memiliki pergaulan yang sangat baik, tidak pilih orang dan rajin masuk sekolah," kata Arul Alitu, Kepala SDN 2 Luwoo Gorontalo.

Arul menceritakan bahwa, saat berada di bangku SD, Adhan sangat berbakat. "Sejak di bangku SD jiwa dan kepemimpinannya sudah nampak. Di mana setiap ada kegiatan sekolah dia selalu memimpin teman-temannya," tuturnya.  

Jiwa dan bakat kepemimpinannya pun, kata Syahrir Hasan (Guru Adhan Dambea saat di STN Gorontalo),  makin kelihatan selepas SD di mana dia selalu terpilih sebagai ketua kelas. “Dan, yang berkesan adalah ketika saya memukul Adhan dengan rotan. Karena memang dia nakal. Dan yang bikin saya jengkel, dia sering mengajak teman-temannya sekelas untuk bolos saat akan memasuki jam belajar saya di kelas," ujar Syahrir.

Tahu suatu waktu Adhan Dambea mengajak teman-temannya membolos, keesokan harinya Syahrir Hasan mengumpulkan mereka di lapangan dan diinterogasi satu per satu. "Kenapa kalian pulang saat jam pelajaran saya? Mereka menjawab, kami diajak ketua kelas pak..!!" papar Syahrir mengenang apa yang disampaikan murid-muridnya kala itu.

Sayangnya, di hari itu justru Adhan Dambea tidak masuk sekolah. "Besoknya baru saya panggil dia, dan tanpa tanya lagi langsung saya hantam dia dengan rotan," kata Syahrir Hasan.

Namun di balik semua itu, kata Syahrir, sebagai guru dirinya sangat bangga pada Adhan. "Di kelas dia termasuk anak pintar, waktu itu saya guru gambar datar. Nilainya tidak pernah buruk, saya juga sangat bangga dengan programnya untuk Kota Gorontalo setelah jadi Walikota Gorontalo sekarang ini,"  ujar Syahrir.

Syahrir menegaskan bahwa Adhan merupakan orang yang sangat konsisten menjalankan programnya. "Dia lebih hebat daripada walikota sebelumnya. Jika dilihat saat dirinya membongkar tenda biru, saya berharap Pak Walikota maju terus, walaupun ada tantangan-tantangan, itu adalah risikonya. Saya merasa bangga pada dia, dengan keberhasilan-keberhasilan yang nampak, apalagi dengan misinya untuk menjadikan Kota Gorontalo menjadi Kota Madrasah,” tutur Syahrir.

Yang perlu diingat, kata Syahrir, orang tua Adhan Dambea itu warga Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). "Dan tante pertamanya bernama Desi adalah perempuan pertama yang menjadi caleg dari PSII saat itu," ungkap Syahrir. Jadi, Adhan Dambea memang berasal dari keluarga yang bergelut di bidang politik dan lahir untuk memimpin.

Adhan pun bertutur tentang penghargaan guru-gurunya semasa SD dan STN yang senantiasa memberikan kepercayaan untuk mengkoodinir teman-temannya dalam berbagai kegiatan sekolah –baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. “Ada satu hal yang senantiasa dapat penghargaan dari guru-guru, yaitu sejak SD, saya diberi kepercayaan sebagai koordinator atau ketua, baik dalam mengerjakan tugas kelompok maupun kegiatan ekstrakurikuler. Dengan begitu, sikap untuk memimpin teman-teman sudah terbangun sejak SD sampai STN. Itu senantiasa jadi perhatian guru dalam kegiatan kelompok atau kegiatan antar-sekolah sehingga saya mendapat kepercayaan sebagai pemimpin,” ujar Adhan.

Salah satu karakter pemimpin adalah teguh pendirian atau berani bertindak sesuai dengan keyakinan. “Adhan adalah anak paling bungsu dari enam bersaudara. Sejak kecil dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya,” ujar Kartin, sepupu Adhan Dambea.

Sejak usianya memasuki 21 tahun dan belum menikah, Adhan mulai aktif di berbagai organisasi. Organisasi pertama yang digelutinya adalah Karang Taruna. “Kini jika ada acara keluarga atau ada kegiatan di kampung, dia menanggalkan jabatannya sebagai walikota. Artinya, dia tidak membedakan orang yang diajak bicara, dia juga sangat familiar,” ujar Kartin.

Tapi ketika dia menjadi caleg hingga saat ini menjadi walikota, kata Kartin, Adhan mulai sibuk dengan berbagai kegiatan, sampai-sampai acara keluarga jarang dihadirinya. Namun demikian Keluarga Besar Dambea tidak pernah menuntut. Karena kami sadari bagaimana kesibukan yang dia hadapi dan dia harus melayani orang banyak.

Adhan kini memang telah tampil sebagai seorang pemimpin, minimal pemimpin bagi masyarakat Kota Gorontalo. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Darah politik ayahanda Abdullah Dambea yang dulu di masanya aktif di PSII rupanya mengalir pada diri Adhan yang menapaki karir politik dari tingkatan paling bawah sampai kemudian berada di anak tangga Walikota Gorontalo (2008-2013).  
--------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari isi buku "Pemimpin Visioner Penggerak Perubahan di Kota Gorontalo" yang diterbitkan oleh Penerbit Indomedia Global, Jakarta, Juni 2012,
Tautan permanen

Comments

Popular posts from this blog

Seri-Taspen: SEJARAH, JATI DIRI DAN PROBLEMATIKA

Kekerasan di Perkotaan

Masyarakat dan Judi (1)