KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP KEJAHATAN MENUJU “NEWSMAKING CRIMINOLOGY”
Muhammad Mustofa
Universitas Indonesia
Pendahuluan
Masyarakat modern adalah masyarakat
yang selalu memerlukan informasi tentang berbagai hal yang diperlukan dalam melakukan
aktivitas kerja, maupun liburan dan hiburan. Informasi-informasi tersebut secara
tidak terbatas dipenuhi oleh berbagai bentuk media-massa. Bahkan dikatakan bahwa
setiap orang berhak atas informasi. Informasi tidak boleh dibatasi dan akses terhadap
informasi harus juga dapat dipenuhi seluas-luasnya. Dalam Undang-Undang Pers Nomor
40/1999, pers diberi kebebasan untuk memperoleh informasi dan bebas dari sensor
maupun pembredelan. Selain itu pers diakui bahwa di samping sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, ia juga diakui dapat berfungsi sebagai
fungsi ekonomi. Dalam realitas, ketika fungsi ekonomi sangat dominan dan liberal,
maka pers cenderung menjadi ikut liberal dalam menjalankan fungsi yang lain. Peristiwa
kejahatan dijadikan komoditas yang dikemas sesuai dengan kepentingan ekonomi media
agar supaya menjadi tontotan yang menarik khalayak.
Penelitian-penelitian dalam bidang
kriminologi menemukan bahwa dalam pemberitaan peristiwa kejahatan, pers cenderung
memberitakannya secara tidak proporsional. Levi (2006) misalnya mengatakan bahwa
“kejahatan penipuan diperlakukan oleh media massa sebagai ‘infotainment’, seperti
memberitakan pesohor yang sedang menghadapi masalah; orang kebanyakan terlibat dalam
penipuan karena menyalahgunaan narkotika, perjudian, atau sex; peristiwa-peristiwa
penipuan yang siap divisualkan (seperti penggunaan identitas palsu atau peretasan
kartu) dihubungkan dengan ‘organized crime’ atau ‘terrorisme’ ... Tema-tema yang
merakyat ini, termasuk penghukuman dan langkah-langkah pengaturan, kegiatan LSM
dan pelobi, teknologi media dan pemfitnah mempengaruhi pendefinisian kegiatan bisnis
untuk dicap sebagai penipu dan koruptor. Namun pertumbuhan teknologi pers dan media
elektronik hanya melaporkan kasus-kasus yang kurang sensasional seperti pencemaran
nama baik, kerentanan prospek bisnis dan teknologi, dan ini mempengaruhi pelaku bisnis (dan mungkin masyarakat
umum) dengan cara pengabaian yang sama dengan media konvensional maupun kajian-kajian
kriminologi ”(M. Levi, 2006). W.L. Neuman (1991) pemberitaan media seyogyanya dihindari
untuk dijadikan sumber informasi ilmiah karena media cenderung menghasilkan mitos
tentang budaya tertentu (Neuman, 1991:3).
Masalah pemberitaan media tentang
kejahatan dan sebagai sumber informasi ilmiah, bila dikaitkan dengan proses peradilan
pidana, uraian di atas berkaitan dengan gagasan kebebasan pers di satu pihak dan
proses peradilan pidana yang adil yang bebas dari peradilan oleh pers. Kasus-kasus
korupsi yang belakangan ini banyak dimediakan, khususnya kasus yang menyangkut Nazaruddin,
media massa cenderung percaya dan sudah mengadili bahwa orang-orang yang disebut
oleh Nazaruddin terlibat dalam kasusnya adalah bersalah sebelum ada proses hukum
yang memutuskannya. Peradilan oleh pers tersebut di samping melanggar azas praduga
tidak bersalah telah membuat proses peradilan menjadi bias. Bila pengadian memutuskan
bahwa tersangka tidak bersalah, maka media dan LSM mengatakan bahwa majelis hakim
telah menyalahgunakan kekuasaannya. Seolah-olah hukum mengatakan bahwa tersangka
korupsi harus dihukum apapun alasannya.
Konflik antara hak kebebasan
pres dengan perlunya peradilan yang bebas dan adil tanpa dipengaruhi oleh pemberitaan
(opini) pers telah menjadi perhatian sistem peradilan common law. Sistem hukum Inggris,
New Zealand dan Canada secara tegas melalui keputusannya menyatakan bahwa peradilan
(pidana) harus berjalan dengan adil, dan tidak boleh dipengaruhi oleh kebebasan
pers yang sudah mengadili peristiwa pidana yang terjadi sebelum diadili oleh pengadilan
(A.G. Noorani, 1990; Bronwyn Naylor, 1994; Marsh, 1995; A.T.H. Smith, 1997).
Permasalahan
Ketidakselarasan antara kebebasan
pers sebagai suatu hak dengan peradilan pidana yang adil yang bebas dari peradilan
oleh media perlu disikapi secara akademik oleh komunitas akademik. Namun demikian
perlu juga diakui bahwa media massa merupakan agen pengendalian sosial yang relatif
paling efektif dalam melakukan koreksi terhadap penyimpangan dan pelanggaran hukum.
Makalah ini akan membahas bagaimana
kecenderungan media mengkonstruksi kejahatan dalam pemberitaannya, dan apa antisipasi
kriminologi terhadap kecenderungan tersebut.
Konstruksi kejahatan
Pemberitaan peritiwa kejahatan
dalam media massa, sesungguhnya bertujuan untuk melakukan fungsi pengendalian kejahatan.
Menurut MacQuail (1992), sebagaimana dikutip Barak:
“ciri pertama yang dapat dilekatkan
kepada media adalah “fungsi” (atau tujuan tersembunyi) menjamin kesinambungan ketertiban
sosial, membangun konsesnsus umum tentang nilai-nilai, mengintegrasikan kegiatan-kegiatan,
mempertahankan orang-perorang dan kelompok dalam masyarakat...dalam pandangan teori
kritis, media massa dikendalikan oleh elite kelas penguasa yang memaksakan makna-makna
dominan tentang berbagai hak dan menggunakan media untuk meminggirkan dan mendeligitimasi
oposisi” (Barak 1995:15).
Namun demikian, meskipun media
mempunyai peran sebagai agen pengendalian sosial, pemberitaan peristiwa kejahatan
dalam media massa pada dasarnya adalah suatu penafsiran, sebab wartawan tidak menyaksikan
langsung adanya peristiwa tersebut. Sebagai penafsiran, maka sebagai “realitas”
berita tersebut sudah dibentuk atau dikonstruksi olehwartawannya, editornya, maupun
pemimpin redaksinya. Sementara itu pemberitaan proses peradilan pidana seringkali
disertai opini yang mendahului keputusan pengadilan. McShane dan Williams, dalam
kata pengantar terhadap buku suntingan Gregg Barak (1995) yang memuat berbagai tulisan
tentang konstruksi kejahatan oleh media, menyimpulkan bahwa para penyumbang tulisan
menyatakan bahwa pemberitaan kejahatan oleh media massa bukanlah merupakan model
yang ajeg.Ia selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan sejarah yang dipengaruhi
oleh perjuangan politik, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu konstruksi kejahatan
oleh media dapat juga membantu dalam mempromosikan pemahaman model baru pengendalian-kejahatan
dan pengendalian sosial (McShane, Williams, 1995: ix). Oleh karena itu para ahli
kriminologi dianjurkan untuk terlibat dalam merepresentasikan kejahatan dan pengendaliannya
melalui media massa.
Dalam rangka memahami konstruksi
media terhadap kejahatan, Barak (1995) menegaskan perlunya penelaahan terhadap proses,
yang disadari maupun tidak, penyebarluasan barang-barang konsumsi simbolik. Informasi
yang diberitakan oleh media-massa pada dasarnya adalah komoditas produksi berita
dan realitas sosial yang dalam pembuatannya tidak dapat dipisahkan dari sejarah
kulturalnya. Pandangan budaya terhadap kejahatan dan pengendaliannya dan pemilihan
peristiwa kejahatan yang akan diberitakan dan cara pemberitaannya dipandang sebagai
mewakili pandangan umum masyarakat (Barak, 1995: 3).
Media massa dalam melaksanakan
fungsi pengendalian sosial diharapkan mengusung nilai-nilai kelas menengah yang
mempromosikan kemapanan, konformitas Tetapi dalam realitas fungsi pengendalian sosial
tersebut dikalahkan oleh fungsi ekonominya, karena media massa harus memperhitungkan
selera pasar. Oleh karena itu, dalam pemberitaan kejahatan media massa hampir tidak
pernah mempedulikan data statistik, baik statistik resmi maupun statistik penelitian,
dan bahkan tidak peduli dengan kebutuhan khalayak (McQuail,1992; Chibnaill, 1977;
Fishman, 1980; Surette, 1992). Keberhasilan penanggulangan kejahatan atau kegagalannya,
oleh media massa cenderung dikaitkan dengan keberhasilan atau kegagalan individu
daripada kekeberhasilan atau kegagalan dalam relasi sosial, dan oleh karenanya cenderung
mendukung hubungan-hubungan kekuasaan dominan (Gerbner et al., 1982; Signorelli
dan Morgan, 1989) [lihat Barak, 1995].
Penelitian historis tentang peran
media massa pada komunitas yang kecil, Einstadter menemukan bahwa media dapat digunakan
sebagai alat pengendalian kejahatan dan mengarahkan masyarakat. Namun dalam masyarakat
yang cenderung merupakan masyarakat pasar, pemberitaan kejahatan cenderung lebih
rendah daripada realitasnya, dan pelaku kejahatan selalu dilihat sebagai orang luar
komunitas (Einstadter, 1995: 49-67). Menuding orang luar sebagai pelaku kejahatan
di wilayah itu berperan untuk membuat solidaritas masyarakat menjadi lebih tinggi.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan
oleh Wasserman dan Stack, menemukan bahwa sebelum adanya setasiun tv, peristiwa
“kejahatan” tingkat lokal yang dimediakan secara nasional adalah peristiwa-peristiwa
penghakiman oleh massa, dibandingkan peristiwa kejahatan individual (Wasserman,
Stack, 1995: 69-94).
Sementara itu Chermak menjelaskan
bahwa proses ketika suatu peristiwa kejahatan menjadi berita pada media massa merupakan
gejala bagaimana organisasi memilih kriteria dan memutuskan untuk memberitakan atau
tidak (Chermak, 1995, 95-129).
Dalam proses pemilihan peristiwa
kejahatan yang akan dimediakan, Surette menemukan bahwa kejahatan yang bersifat
menyerang terhadap korban secara random yang tidak bersalah (predator crime) dijadikan
ikon dengan mengaitkannya dengan legenda tentang tokoh jahat dan dipersepsi publik
menjadi sebuah realitas yang jelas-jelas mendistorsi realitas kejahatan.
Dampak lebih lanjut adalah bahwa
masyarakat hanya percaya bahwa satu-satunya cara mengatasi masalah kejahatan adalah
menghukum pelaku seberat-beratnya (Surette, 1995: 131-158).
Dengan memperhatikan kecenderungan
media massa melebih-lebihkan pemberitaan kejahatan dan peradilan pidana sesuai dengan
kepentingan ekonominya, para ahli kriminologi aliran pemikiran posmodern mengantisipasinya
dengan membangun pemikiran “newsmaking criminology”. Newsmaking criminology Greek
(1997) merujuk pemikiran Barak (1988:566) sebagai tokoh utama newsmaking criminology
yang mendefinisikannya sebagai: berbagai usaha untuk tidak mengaburkan citra kejahatan
dan penghukuman dengan menempatkan penggambaran media massa tentang peristiwa-peristiwa
kejahatan serius dalam konteks tindakan ilegal dan merugikan, berakibat pada sikap
publik, pemikiran, dan wacana tentang kejahatan dan peradilan”.
Berbagai aktivitas tersebut bertujuan
agar dapat memberikan fasilitas bagi kebijakan publik tentang “pengendalian kejahatan”
yang didasarkan pada analisa struktural dan historis terhadap perkembangan kelembagaan;
membolehkan ahli kriminologi terlibat berdasarkan pengetahuannya dan mengembangkan
dirinya sebagai corong yang kredibel di arena media massa dalam pembentukan kebijakan;
dan meminta ahli kriminologi agar mereka mengembangkan bahasa populer dan dasar-dasar
teknik komunikasi dengan maksud berperanserta dalam ideologi kejahatan dan peradilan
dalam konsumsi massa.
“Newsmaking criminology” memang
diperkenalkan oleh Gregg Barak yang berpendapat bahwa pada masa lalu para ahli kriminologi
(Amerika Serikat) tidak mempertimbangkan kegunaan komunikasi melalui media massa
sebagai wahana untuk mengumumkan, menafsirkan, dan mengubah pencitraan media untuk
memberikan gambaran sosial, politik dan ekonomi yang lebih realistis tentang kejahatan
dan pengendalian kejahatan.
Dengan berperanserta dalam proses
pembuatan berita secara langsung sebagai jurubicara, ahli kriminologi yang kredibel
akan dapat meredefinisi parameter tema-tema kejahatan dan peradilan yang lebih memadai.
Barak memberikan contoh misalnya:
ahli kriminologi menanggapi fokus media pada kejahatan jalanan dan mengubah pandangan
publik bahwa white-collar crime jauh lebih merugikan. Barak mengkritik para kriminologis
yang pemikirannya mandeg.
Sementara banyak ilmuwan yang
sudah beranjak ke pemikiran strukturalis atau model-model pelembagaan personel media.
Barak juga menyarankan agar para ahli kriminologi untuk berperanserta dalam organisasi-organisasi
yang berusaha mempengaruhi kebijakan sebagai alternatif dari newsmaking criminology.
Karena media massa biasanya mencari narasumber tokoh yang mewakili organisasi yang
dapat dikutip pendapatnya. Greek menjabarkan lebih jauh agar para kriminologis terlibat
dalam organisasi pembuat kebijakan. Dalam tulisan yang lain, Barak (2007) menegaskan
bahwa newsmaking criminology berhubungan dengan usaha-usaha sadar dan kegiatan-kegiatan
dari para ahli kriminologi untuk menafsirkan, mempengaruhi atau membentuk representasi
hal-ihwal kejahatan dan peradilan pidana yang ‘bermanfaat untuk disiarkan.’ Secara
kritis dapat disimpulkan bahwa newsmaking criminology merupakan perspektif dari
suatu teori, dan praktik kajian komunikasi massa dan representasi kejahatan dan
peradilan pidana, merupakan pendekatan yang tidak ternilai dalam mengerti dan melandasi
kegiatan keilmuan kriminologi yang lebih luas, suatu peran bersama yang masing-masing
merupakan bagian dari kriya neoliberal-borjuis.
Newsmaking criminology dan constitutive
criminology. Barak merupakan salah satu tokoh constitutive criminology. Oleh karena
itu untuk memahami newsmaking criminology perlu juga memahami constitutive criminology.
Menurut Turk (2002: 313), constitutive criminology menawarkan teori yang paling
radikal mengaitkan definisi kejahatan dengan adanya bias dalam bahasa hukum, kriminologi,
dan lain-lain pengendalian sosial.
Dalam analisa wacana ditunjukkan
adanya pemaknaan kriminalitas yang bersifat represif dan diskriminatif yang tercermin
dalam bahasa yang dipergunakan. Kejahatan adalah gejala yang sangat rumit yang tidak
dapat diukur dan tidak dapat diramalkan. Oleh karenanya ia hanya dapat disimpulkan
dengan memperhitungkan semua aspek realitas sosial secara menyeluruh (Dessler, 2002).
Henry dan Milovanovic mengemukakan
teori constitutive criminology yang diakuinya sebagai pemikiran kriminologi kritis
yang matang. Pemikiran kriminologi konstitutif dipengaruhi oleh berbagai teori sosial
kritis seperti interaksi-simbolik, konstruksionisme sosial, fenomenologi, etnometodologi,
struktural Marxisme, pos-strukturalisme, teori strukturasi, dan semiotik (Henry
dan Milovanovic, 2000:268).
Menurut mereka, dalam perkembangan
pemikiran kriminologi konflik pendekatan yang dipergunakan adalah menolak teori
kriminologi yang mereduksi kejahatan sebagai semata-mata sebagai hasil dari konteks
mikro dan makro. Memahami kejahatan harus mempertimbangkannya sebagai hasil akhir
dari wacana (discourse) yang dilakukan oleh manusia dalam mempertahankan ideologi
bahwa kejahatan adalah realitas yang konkrit (Mustofa, 2007).
Kriminologi konstitutif mempromosikan
bahwa mahluk manusia bertanggungjawab secara aktif bagi pembentukan dunia bersama-sama
dengan yang lain. Pembentukan tersebut dilakukan dengan menstransformasi keadaan
sekitarnya melalui interaksi dengan yang lain, paling tidak melalui wacana. Melalui
bahasa dan representasi simbolik mereka menengarai perbedaan-perbedaan, mengkonstruksi
kategori-kategori, dan memiliki andil bersama suatu kepercayaan terhadap realitas
yang dikonstruksi sebagai ketertiban, bila tidak akan terjadi kekacauan. Konstruksi
realitas sosial inilah yang harus dituju oleh makhluk manusia (Ibid).
Dalam proses konstruksi sosial
tentang kategori-kategori ketertiban dan realitas yang tidak saling berhubungan,mahluk
manusia tidak hanya sebagai pembentuk tetapi juga dibentuk olehnya. Mereka adalah
pembentuk pendamping dan hasil samping dari mereka sendiri bersama-sama dengan lain-lain
agen sosial. Makhluk manusia diberi saluran dan berubah, mempunyai kemampuan dan
dibatasi sepanjang masa dan proses pembentukan yang terus-menerus (Ibid).
Kesimpulan
Dengan memperhatikan asumsi-asumsi
constitutive criminology maka dapat dipahami mengapa Barak menjabarkannya dalam
newsmaking criminology seperti itu. Constitutive criminology (newsmaking merupakan
salah satunya) merupakan paradigma kritis yang membangun. Memberikan kritik dan
sekaligus memberikan jalan keluarnya. Ia memerlukan metodologi penelitian tindakan
(action research) yang dilandasi oleh penelitian analisa isi pemberitaan media.
Untuk lebih memahami newsmaking
criminilogy perlu membaca constitutive criminology dan karya asli Barak, karena
newsmaking criminology banyak dikutip orang yang dalam quotation index tercatat
dalam ranking 13 besar.
Daftar Pustaka
Barak, Gregg (2007), “Doing newsmaking
criminology from within the academy”, Theoretical Criminology www.sagepublications.com Vol. 11(2): 191 – 207; 1362–4806 DOI: 10.1177/1362480607075847
Barak, Gregg (1995). Media, Society,
and Criminology, dalam Gregg Barak, Media Construction, Process, and the Social
Construction of Crime. Studies in Newsmaking Criminology. New York: Garland Publishing.
Inc., hlm. 3-45.
Chermak, S., (1995), Crime in
the News media: A Refined Understanding of
How Crimes Become News, dalam Gregg Barak, Media Construction, Process, and
the Social Construction of Crime. Studies in Newsmaking Criminology. NewYork: Garland
Publishing. Inc.hlm. 95-129.
Einstadter, W.J., (1995), Crime,
News in the Old West, dalam Gregg Barak, Media Construction, Process, and the Social
Construction of Crime. Studies in Newsmaking Criminology. New York: Garland Publishing.
Inc. hlm. 49-67.
Greek, Cecil. ’Using the Internet
as a Newsmaking Criminology Tool’ dalam www.fsu.edu
LEVI, MICHAEL (2006), The Media Construction of Financial
White-collar Crimes, BRIT.
J. CRIMINOL., 46, 1037–1057 Advance Access Jstor
publication 13 October 2006 1037
Marsh, H.L., (1995), University
Professor or Sadistic Killer? A Content Analysus
of the Newspaper Coverage of a Murder Case. Dalam Gregg Barak, Media Construction,
Process, and the Social Construction of Crime. Studies in Newsmaking Criminology.
New York: Garland Publishing. Inc. hlm. 159-186.
McShane, M. And F. Williams (1995),
Series Forward, dalam Gregg Barak, Media Construction, Process, and the Social Construction
of Crime. Studies in Newsmaking Criminology. New York: Garland Publishing. Inc.
hlm. ix-x.
Milovanovic, D. (1995), “Dueling
Paradigms: Modernist v. Postmodernist Thought” , Humanity and Society, 19, 1, hlm.
1-22.
Mustofa, M (2007). Kriminologi.
Kajian Sosiologi terhadap Kejahatan, Pelanggaran Hukum, dan Penyimpangan. Depok:
FISIP UI Press.
Naylor, Bronwyn (1994), “Fair
Trial or Free Press: Legal Responses to Media Reports of Criminal Trials, ”The Cambridge
Law Journal, Vol. 53, No. 3 (Nov.), pp. 492-501, Published by: Cambridge University
Press on behalf of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal, Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/4507991,
Accessed: 15/08/2011 02:05
Noorani, A. G. (1990), “Press
Freedom and Right to Privacy: ”Economic and Political Weekly, Vol. 25, No. 18/19
(May 5-12), p. 977, Published by: Economic and Political Weekly Stable URL: http://www.jstor.org/stable/4396248.
Accessed: 15/08/2011 01:58.
Smith, A. T. H. (1997), “Contempt,
Free Press and Fair Trial: A "Permanent Shift"? ”The Cambridge Law Journal,
Vol. 56, No. 3 (Nov.), pp. 467-469, Published by: Cambridge University Press on
behalf of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal Stable URL: http://www.jstor.org/stable/4508358.
Accessed: 15/08/2011 02:04
Surette, R., (1995), Predator
Criminals as Media Icons, dalam Gregg Barak, Media Construction, Process, and the
Social Construction of Crime. Studies in
Newsmaking Criminology. New York: Garland Publishing. Inc. hlm. 131-158.
Turk, A.T. (2002), “Terrorism”,
dalam Joshua Dressler (Editor in Chief). Encyclopedia of Crime and Justice. 2 nd
Ed., Vol. 4, New York: Macmillan Reference USA.
Wasserman, I. M., and S. Stack
(1995), Communal Violence and the Media: Lynching and Their News Coverage by The
New York Times between 1982 and 1930, dalam Gregg Barak, Media Construction, Process,
and the Social Construction of Crime. Studies in Newsmaking Criminology. New York:
Garland Publishing. Inc. hlm. 69-94.
Comments
Post a Comment