MONEY POLITIC DALAM PRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. LATAR BELAKANG
Pengertian Money Politics, ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan. Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan terjerat undang-undang anti suap.
Perpolitikan lokal selalu melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol. Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak respek terhadap parpol.
Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi masyarakat meskipun sesaat, karena itu juga masyarakat merasa “berhutang budi” pada calon walikota yang memberikan uang tersebut.
Dengan cara Money Politics hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan kampanye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional.
Panwas secara bertingkat dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan juga saling mengawasi. Panwas pusat dapat menegur dan menghentikan Panwas provinsi. Demikian pula dari tingkat provinsi kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota kepada Panwas tingkat kecamatan.
Singkatnya, penyelenggara pemilu harus siap karena pemilihan presiden mendatang menampilkan perubahan kultur politik dari partai oriented ke kandidat oriented. Sementara dengan kondisi yang ada, kandidat presiden harus mampu mendanai partai sebagai imbal balik pencalonan. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang dari pelbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan bahwa makalah ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Peraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) ini, yaitu larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung. Peraturan tersebut antara lain:
Praktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal, c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.[1]
Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan. Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.
Bagaimanapun juga Money Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomis—dalam jangka pendek—dapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?
Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya baik dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya yang destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan rakyat.
B. Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum
Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.[2]
Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. [3]
Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi tersebut.
Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan pemerintah Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang (Money Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti. Dalam praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa tahapan dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang pemilih. Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA). Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics) mereka juga menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang “paham betul” dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.[4]
Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada “si pemberi uang pangkal”. **Dalam salah satu kasus yang saya ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh “si pemberi uang pangkal pertama” berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.[5] Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi praktek Money Politics ini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini, maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para anggota DPRD.
Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para anggota DPRD lebih menginginkan uang kontan dari pada cheque. Akibatnya, jangan heran kalau uang kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembar cheque. Karena itu harga suara itu sangat mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/ POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi. Mereka dapat mengajukan argument bahwa”terikat rantai komando” dan terikat pemerintah komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu bakal calon. Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan informasi berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya “Serangan Fajar” bagi para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui yaitu sebagai berikut : Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga. Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses “penyampaian uang” harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
Ciri khas demokrasi adalah adanya kebebasan (freedom), persamaan derajat (equality), dan kedaulatan rakyat (people’s sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai dengan norma hukum yang ada.
Dengan demikian adanya praktik Money Politics berarti berdampak terhadap bangunan, khususnya di Indonesia berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat dikatakan kejahatan.
Sisi etika politik yang lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar terpilihnya partai politik tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Money Politics bukan secara moral saja yang salah dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan, sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat itu sendiri.
D. Kenapa Money Politics Masih Menjadi Ancaman
Dalam perkembangan demokratisasi dalam sistem politik Indonesia, justru mencuat isu yang diangkat oleh teman-teman LSM ”politisi bermasalah“, yang di indikasikan salah satunya pernah terlibat kasus korupsi dan masalah hukum lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan akan validitasnya. Yang menurut Bung Jeiry Sumampow, dan teman-teman dari JPPR, data yang mereka miliki bersumber dari pengaduan masyarakat. Untuk itu paling tidak dapat disikapi dari dua aspek. Aspek pertama, bahwa ada indikasi peningkatan kontrol publik atas mekanisme politik dan mengalami institusinalisasi secara baik. Aspek kedua merupakan keprihatinan, mengingat bahwa masih menggejalanya korupsi dalam mekanisme politik nasional, yang diduga keras berasal dari politik uang. Hal yang menurut hemat kami, merupakan gejala yang harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong berkembangnya demokrasi dalam proses politik ”yang lebih akuntabel dan ”yang lebih transparan” dalam sistim politik Indonesia.
Sebuah keniscayaan bahwa, politik memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan dan digunakan untuk berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan akan kalah. Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula sumber pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana; sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya memerlukan dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.[6]
Sumber dana politik umumnya dapat dikategorikan pada dua sumber. Pertama, bersumber pada sektor negara atau menggunakan APBN. Kedua, dana politik yang bersumber dari sektor publik atau masyarakat. Dari perkembangan sisitem politik di Indonesia, yang tercermin dari perubahan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang digunakan sekarang, semata-mata sumber dana politik dalam tataran infra strktur politik adalah dari sektor masyarakat.
Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008 tentang Pemilu sumber dana itu meliputi:
Dari gambaran fakta dilapangan, maka terlihat bahwa sumber dana politik itu, dominan dari kategori butir (b), dan butir (c) diatas. Kategori sumber dana pada butir (b), tersebut adalah caleg yang memiliki uang sendiri. Politisi dari kategori ini, umumnya kelompok kaya atau pengusaha, yang umumnya berpikir dalam perspektif ”usaha”, dimana dana yang sudah dikeluarkan akan kembali juga dalam bentuk dana, berpolitik untuk ”pengembalian modal” mungkin plus keuntungan. Sehingga kinerja politik menjadi nomor dua. Sedangkan kategori sumber dana pada butir (c), adalah kelompok pendana perorangan atau mungkin juga sindikasi. Yang memberikan donasi, dengan syarat adanya pengembalian dalam ”perlindungan atau kepentingan politik tertentu”. Donasi yang diberikan mengikat si politisi, ”harus mengikuti kepentingan” dari sumber si pemberi donasi. Kinerja politik dan moralitas politik menjadi nomor dua.
Hal ideal yang semestinya berlangsung dalam mekanisme dan politik yang sehat adalah si pemberi donasi, mengharapkan otu-put politik adalah kebijakan publik yang berkualitas. Dalam hal ini, demokrasi menjadi instrumen yang dapat diharapkan mendatangkan kebijakan yang adil, yang mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang lebih baik. Mekanisme politik yang ideal tersebut, mau tidak mau bila didukung oleh si pemberi donasi yang memiliki harapan terwujudnya tatakelola pemerintahan yang lebih baik, untuk mencapai tujuan bernegara. Pengalaman menujukan si pemberi dana dalam kategori tersebut, adalah kalangan masyarakat menengah yang sosial ekonomi mampu, disamping memiliki kesadaran, karakter dan moralitas. Karena masyarakat pada akar rumput, walaupun besar jumlahnya belum dapat menyumbang seorang calon wakil rakyat, sekalipun calon itu adalah pilihannya. Bagaimana mungkin dia dapat menyumbang, dengan kebutuhan sehari-hari saja sudah repot.
Tentu sangat berbeda, dengan perbandingan sisitem politik Amerika yang demikian demokratis dan transparan. Pada Pemilu yang baru lalu, kemanangan Barack Obama, memberikan suatu contoh. Dia tidak hanya berhasil menekan angka golput (yang tidak menggunakan hal pilih). Dana politik, dihimpun dari konstituen dengan kuantita person dan jumlah donasi terbesar justru berasal donasi yang kecil-kecil dari masyarakat menengah sampai pada lampisan akar rumput. Jelas mereka tidak mengenal dana politik pinjaman yang harus dikembalikan ke pemberi donasi. Konsekwensinya hanya dalam pertanggungjawaban Barack Obama, pengelolaan yang transparan dan tentu pada gilirannya tuntutan atas kinerja politik, dalam bentuk keberhasilan dia mewujudkan visi dan janji politik yang disampaikan pada saat kampanye.
Barangkali disanalah letak persolannya bagi bangsa kita sekarang ini. Pilihan sikap politik dari kalangan menengah Indonesia. Kalangan yang mampu memberi donasi kegiatan politik, apakah aktif atau tidak. Bila aktif, maka hal tersebut menekan peluang kelompok pendana perorangan (besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan boleh jadi mengkoptasi mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah ”mengikat” si politisi jatuh kedalam jebakan politik uang.
E. Melawan Praktik Money Politics
. Partai politik dan para anggota legislatif di segala level sudah mempersiapkan strategi untuk mendapatkan simpati rakyat agar menang dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih kompetitif, karena diikuti oleh tiga puluh delapan partai politik nasional dan enam partai politik lokal.
Pemilu mendatang nampaknya akan diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik Money Politics bisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik Money Politics menjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.
Praktik Money Politics dalam setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap kompetisi politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian menyebabkan semacam pandangan bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat berpengaruh dalam proses kompetisi politik, yaitu: uang, duit, money, dan fulus.
Selain itu, partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik sebagai calon maupun sebagai relawan yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon-calon yang diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk memberikan hak pilihnya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (common goods).
Masyarakat menjadi semakin terbiasa dengan praktik Money Politics dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dlaam pemilu legislatif nanti, Money Politics dapat dipastikan akan menjadi semakin tak terkendali. Sebab akan ada banyak calon anggota DPR yang berkompetisi untuk memperebutkan dukungan rakyat. Karakter rakyat yang kian pragmatis akan dilihat oleh para politikus sebagai peluang untuk memenangkan kompetisi dengan cara menyebar uang.
Dalam konteks ini, politik uang sesungguhnya menunjukkan tidak adanya nilai lebih kualitas caleg. Mereka tidak melakukan kemampuan untuk mengkomunikasikan visi politik mereka kepada masyarakat. Bahkan sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik yang akan diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.
Money Politics Perlu Perlawanan
Jika Money Politics terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, Money Politics harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.
Untuk melawan praktik Money Politics, diperlukan para politikus sejati yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah seni menata negara dan tujuannya adalah menciptakan kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki keunggulan komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan politik negara.
Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang (Money Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum yaitu DEMOKRASI bukanlah “DEMOCRAZY”. Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini.
Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
Syafiee, Innu Kencana. Drs. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU). Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Money Politic di Indonesia, http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/, tanggal akses: 1 Mei 2012
Pengertian Money Politics, ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan. Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan terjerat undang-undang anti suap.
Perpolitikan lokal selalu melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol. Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak respek terhadap parpol.
Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi masyarakat meskipun sesaat, karena itu juga masyarakat merasa “berhutang budi” pada calon walikota yang memberikan uang tersebut.
Dengan cara Money Politics hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan kampanye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional.
Panwas secara bertingkat dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan juga saling mengawasi. Panwas pusat dapat menegur dan menghentikan Panwas provinsi. Demikian pula dari tingkat provinsi kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota kepada Panwas tingkat kecamatan.
Singkatnya, penyelenggara pemilu harus siap karena pemilihan presiden mendatang menampilkan perubahan kultur politik dari partai oriented ke kandidat oriented. Sementara dengan kondisi yang ada, kandidat presiden harus mampu mendanai partai sebagai imbal balik pencalonan. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang dari pelbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan bahwa makalah ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Bagaimana Money politics dalam Pemilu?
- Apakah Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum?
- c. Apa dampak dari Praktik Money politics?
- Kenapa Money Politics masih menjadi ancaman?
- Bagaimana cara melawan Praktik Money Politics?
Peraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) ini, yaitu larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung. Peraturan tersebut antara lain:
- BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10.
- Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
- Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
- Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5.
PEMBAHASAN
A. Money Politics dalam PemiluPraktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal, c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.[1]
Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan. Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.
Bagaimanapun juga Money Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomis—dalam jangka pendek—dapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?
Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya baik dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya yang destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan rakyat.
B. Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum
Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.[2]
Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. [3]
Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi tersebut.
Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan pemerintah Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang (Money Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti. Dalam praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa tahapan dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang pemilih. Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA). Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics) mereka juga menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang “paham betul” dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.[4]
Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada “si pemberi uang pangkal”. **Dalam salah satu kasus yang saya ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh “si pemberi uang pangkal pertama” berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.[5] Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:
- Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan sebagai asas resmi disamping asas LUBER.
- Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi praktek Money Politics ini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini, maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para anggota DPRD.
Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para anggota DPRD lebih menginginkan uang kontan dari pada cheque. Akibatnya, jangan heran kalau uang kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembar cheque. Karena itu harga suara itu sangat mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/ POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi. Mereka dapat mengajukan argument bahwa”terikat rantai komando” dan terikat pemerintah komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu bakal calon. Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan informasi berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya “Serangan Fajar” bagi para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui yaitu sebagai berikut : Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga. Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses “penyampaian uang” harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
- Sistem ijon.
- Melalui tim sukses calon.
- Melalui orang terdekat.
- Pemberian langsung oleh kandidat.
- Dalam bentuk cheque.
- Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.
- Bakal calon bersikap ragu-ragu.
- Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.
- Adanya anggota yang dianggap opportunis.
Ciri khas demokrasi adalah adanya kebebasan (freedom), persamaan derajat (equality), dan kedaulatan rakyat (people’s sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai dengan norma hukum yang ada.
Dengan demikian adanya praktik Money Politics berarti berdampak terhadap bangunan, khususnya di Indonesia berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat dikatakan kejahatan.
Sisi etika politik yang lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar terpilihnya partai politik tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Money Politics bukan secara moral saja yang salah dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan, sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat itu sendiri.
D. Kenapa Money Politics Masih Menjadi Ancaman
Dalam perkembangan demokratisasi dalam sistem politik Indonesia, justru mencuat isu yang diangkat oleh teman-teman LSM ”politisi bermasalah“, yang di indikasikan salah satunya pernah terlibat kasus korupsi dan masalah hukum lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan akan validitasnya. Yang menurut Bung Jeiry Sumampow, dan teman-teman dari JPPR, data yang mereka miliki bersumber dari pengaduan masyarakat. Untuk itu paling tidak dapat disikapi dari dua aspek. Aspek pertama, bahwa ada indikasi peningkatan kontrol publik atas mekanisme politik dan mengalami institusinalisasi secara baik. Aspek kedua merupakan keprihatinan, mengingat bahwa masih menggejalanya korupsi dalam mekanisme politik nasional, yang diduga keras berasal dari politik uang. Hal yang menurut hemat kami, merupakan gejala yang harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong berkembangnya demokrasi dalam proses politik ”yang lebih akuntabel dan ”yang lebih transparan” dalam sistim politik Indonesia.
Sebuah keniscayaan bahwa, politik memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan dan digunakan untuk berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan akan kalah. Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula sumber pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana; sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya memerlukan dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.[6]
Sumber dana politik umumnya dapat dikategorikan pada dua sumber. Pertama, bersumber pada sektor negara atau menggunakan APBN. Kedua, dana politik yang bersumber dari sektor publik atau masyarakat. Dari perkembangan sisitem politik di Indonesia, yang tercermin dari perubahan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang digunakan sekarang, semata-mata sumber dana politik dalam tataran infra strktur politik adalah dari sektor masyarakat.
Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008 tentang Pemilu sumber dana itu meliputi:
- Partai politik.
- Caleg dari partai politik yang bersangkutan.
- Sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.
Dari gambaran fakta dilapangan, maka terlihat bahwa sumber dana politik itu, dominan dari kategori butir (b), dan butir (c) diatas. Kategori sumber dana pada butir (b), tersebut adalah caleg yang memiliki uang sendiri. Politisi dari kategori ini, umumnya kelompok kaya atau pengusaha, yang umumnya berpikir dalam perspektif ”usaha”, dimana dana yang sudah dikeluarkan akan kembali juga dalam bentuk dana, berpolitik untuk ”pengembalian modal” mungkin plus keuntungan. Sehingga kinerja politik menjadi nomor dua. Sedangkan kategori sumber dana pada butir (c), adalah kelompok pendana perorangan atau mungkin juga sindikasi. Yang memberikan donasi, dengan syarat adanya pengembalian dalam ”perlindungan atau kepentingan politik tertentu”. Donasi yang diberikan mengikat si politisi, ”harus mengikuti kepentingan” dari sumber si pemberi donasi. Kinerja politik dan moralitas politik menjadi nomor dua.
Hal ideal yang semestinya berlangsung dalam mekanisme dan politik yang sehat adalah si pemberi donasi, mengharapkan otu-put politik adalah kebijakan publik yang berkualitas. Dalam hal ini, demokrasi menjadi instrumen yang dapat diharapkan mendatangkan kebijakan yang adil, yang mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang lebih baik. Mekanisme politik yang ideal tersebut, mau tidak mau bila didukung oleh si pemberi donasi yang memiliki harapan terwujudnya tatakelola pemerintahan yang lebih baik, untuk mencapai tujuan bernegara. Pengalaman menujukan si pemberi dana dalam kategori tersebut, adalah kalangan masyarakat menengah yang sosial ekonomi mampu, disamping memiliki kesadaran, karakter dan moralitas. Karena masyarakat pada akar rumput, walaupun besar jumlahnya belum dapat menyumbang seorang calon wakil rakyat, sekalipun calon itu adalah pilihannya. Bagaimana mungkin dia dapat menyumbang, dengan kebutuhan sehari-hari saja sudah repot.
Tentu sangat berbeda, dengan perbandingan sisitem politik Amerika yang demikian demokratis dan transparan. Pada Pemilu yang baru lalu, kemanangan Barack Obama, memberikan suatu contoh. Dia tidak hanya berhasil menekan angka golput (yang tidak menggunakan hal pilih). Dana politik, dihimpun dari konstituen dengan kuantita person dan jumlah donasi terbesar justru berasal donasi yang kecil-kecil dari masyarakat menengah sampai pada lampisan akar rumput. Jelas mereka tidak mengenal dana politik pinjaman yang harus dikembalikan ke pemberi donasi. Konsekwensinya hanya dalam pertanggungjawaban Barack Obama, pengelolaan yang transparan dan tentu pada gilirannya tuntutan atas kinerja politik, dalam bentuk keberhasilan dia mewujudkan visi dan janji politik yang disampaikan pada saat kampanye.
Barangkali disanalah letak persolannya bagi bangsa kita sekarang ini. Pilihan sikap politik dari kalangan menengah Indonesia. Kalangan yang mampu memberi donasi kegiatan politik, apakah aktif atau tidak. Bila aktif, maka hal tersebut menekan peluang kelompok pendana perorangan (besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan boleh jadi mengkoptasi mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah ”mengikat” si politisi jatuh kedalam jebakan politik uang.
E. Melawan Praktik Money Politics
. Partai politik dan para anggota legislatif di segala level sudah mempersiapkan strategi untuk mendapatkan simpati rakyat agar menang dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih kompetitif, karena diikuti oleh tiga puluh delapan partai politik nasional dan enam partai politik lokal.
Pemilu mendatang nampaknya akan diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik Money Politics bisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik Money Politics menjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.
Praktik Money Politics dalam setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap kompetisi politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian menyebabkan semacam pandangan bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat berpengaruh dalam proses kompetisi politik, yaitu: uang, duit, money, dan fulus.
Selain itu, partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik sebagai calon maupun sebagai relawan yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon-calon yang diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk memberikan hak pilihnya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (common goods).
ANALISIS
Makin Maraknya Money PoliticsMasyarakat menjadi semakin terbiasa dengan praktik Money Politics dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dlaam pemilu legislatif nanti, Money Politics dapat dipastikan akan menjadi semakin tak terkendali. Sebab akan ada banyak calon anggota DPR yang berkompetisi untuk memperebutkan dukungan rakyat. Karakter rakyat yang kian pragmatis akan dilihat oleh para politikus sebagai peluang untuk memenangkan kompetisi dengan cara menyebar uang.
Dalam konteks ini, politik uang sesungguhnya menunjukkan tidak adanya nilai lebih kualitas caleg. Mereka tidak melakukan kemampuan untuk mengkomunikasikan visi politik mereka kepada masyarakat. Bahkan sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik yang akan diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.
Money Politics Perlu Perlawanan
Jika Money Politics terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, Money Politics harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.
Untuk melawan praktik Money Politics, diperlukan para politikus sejati yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah seni menata negara dan tujuannya adalah menciptakan kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki keunggulan komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan politik negara.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam pemilu umum maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum.Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang (Money Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum yaitu DEMOKRASI bukanlah “DEMOCRAZY”. Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Antulian, Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
Syafiee, Innu Kencana. Drs. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU). Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Money Politic di Indonesia, http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/, tanggal akses: 1 Mei 2012
[1] Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
[2] Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
[3] Antulian, Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[4] Antulian, Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[5] Antulian, Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[6] Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
Comments
Post a Comment