Efektivitas Pidana Penjara dan Remisi Bagi Koruptor
Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri (Julius Hisna)
*Makalah ini disampaikan dalam Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.
BAB I
Pendahuluan
A. Pendahuluan
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas di masyarakat, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Ketidakberhasilan pemerintah dalam memberantas korupsi juga menimbulkan citra buruk Pemerintah di mata masyarakat yang tercerrmin dalam bentuk ketidak percayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Menyadari hal tersebut, lahirlah UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Konsideran UU tersebut menjelaskan bahwa praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak lain. Perbaikan di bidang legislasi juga diikuti dengan diberlakukannya UU No. 31 tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK). Konsideran UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nsional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Pada tahun 2001, UU No. 31 Tahun 1999 disempurnakan dan diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan pada tahun 2002 diperbaiki dengan UU NO. 30 Tahun 2002. UU inilah yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Walaupun kemudian usaha telah dilakukan baik dengan memperbaiki Peraturan Perundang-Undangan maupun dengan memperbaiki sistem yang ada, pembahasan mengenai bandit negara alias koruptor seakan tidak ada habisnya. Hal ini sejalan dengan perlakuan yang sangat istimewa didapatkan sang koruptor dari negara. Koruptor memang telah mendapat tempat yang senyaman-nyamannya di republik ini. Selain masa hukuman yang harus dijalankan tidak lama dan bahkan ada putusan bebas, koruptor juga acapkali mendapat berbagai fasilitas pengurangan hukuman atau remisi.
Wacana terbaru terkuak dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, akan memberikan remisi kepada koruptor. Menurut politisi PDI Perjuanan itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjadi dasar para terpidana kasus korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Perlakuan sangat istimewa terhadap koruptor juga menjadi jawaban mengapa hingga kini korupsi sangat sulit dimusnakan di bumi pertiwi ini, padahal memberantas korupsi adalah salah satu agenda reformasi yang harus segera dituntaskan. Alhasil, bukannya mengurangi jumlah koruptor, melainkan bakal menambah sebanyak-banyaknya koruptor baru.
Memang bukan rahasia lagi, tidak terlalu sulit seseorang untuk menjadi kaya raya secara instan, tanpa kerja keras dan tanpa proses panjang. Seseorang hanya dengan menjadi koruptor, kekayaan hingga turun-temurun akan menghinggapinya. Bagaimana dengan hukumannya? Ternyata, dalam menjalani hukuman seorang koruptor tidak terlalu pusing memikirkannya, sebab ada berbagai fasilitas mewah bak hotel berbintang di dalam sel dan jaminan pengurangan hukuman menantinya. Inilah yang membuat tidak habis-habisnya dan semakin suburnya korupsi di negeri ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas setidaknya ada 3 hal yang dapat dijadikan sebagai rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah bahaya korupsi dan perkembangannya serta pembernatasannya di Indonesia ?
2. Bagaimanakah efektivitas pidana yang selama ini diterapkan kepada para koruptor?
3. Bagaimana pandangan para ahli hukum terhadap remisi koruptor ?, dan bagaimanakah penyikapan kita terhadap remisi tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Korupsi dan Perkembangan Dari Waktu ke Waktu
Korupsi adalah tindakan (siapa saja) yang mengambil sumber daya (dalam bentuk uang atau meteri lainnya) yang menjadi hak publik. Dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh perbuatan korupsi sangat besar. Dampak negatif dari korupsi diantaranya adalah mengabaikan penegakan hak politik masyarakat, mengabaikan penegakan hak ekonomi masyarakat dan hilangnya masyarakat memperoleh pelayanan sosial.
Tindak pidana korupsi merupakan fenomena hukum yang sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis serta lingkupnya yang mamasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di tengah upaya pembanguna nasional di berbgai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugina negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan mebawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemastis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkah telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan dengan cara biasa, tetapi dituntut cara-cara luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu perlu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa (Asmawi, 2010:98-99).
Realitas masyarakat kita, korupsi telah mengotori dan membelenggu hampir seluruh institusi penegakkan hukum. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan untuk penjatuhan pidana yang keras terhadap koruptor malah menjadi pihak yang paling tercamar, bergelepotan dengan korupsi. Apabila keadaan yang telah berkembang semacam ini, tak pelak, bahwa penjatuhan pidana yang keras dan di laksanakan tanpa pandang bulu merupakan tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar lagi, dengan prioritasnya adalah penegak hukum. Dengan mengkaji kondisi aktual masyarakat dalam hubungannya dengan tindak pidana yang di nilai paling mengancam, kita akan lebih mudah memahami bagaimana suatu bangsa atau negara memperlakukan para pelaku tindak pidana atas kejahatan yang di anggap paling merugikan masyarakatnya itu (Nitibaskara, 2007:12).
Sementara itu, berbeda yang berlaku di jepang, di negeri tirai bambu, perlakuan terhadap pelaku tindak pidana di lihat dari berat ringannya unsur keberbahayaan (dangerousnes) yang di kandung kejahatan yang di lakukan. Menurut Edward J Epstein dan Simon Hing yan Wong, ada dua konsep keberbahayaan di dalam criminal justice syestem di china. Pertama,dangerousnes to society (she Hui Weihaixing) yang di pandang sebagai a fundamental charactic of crime. Korupsi tergolong ke dalam konsep ini, dan oleh karenanya para pelakunya pantas di kenai sanksi yang berat, termasuk hukuman mati. Kedua Individual dangerousnes (Renshen Weixianxing), yakni kejahatan-kejahatan yang di lakukan oleh pribadi-pribadi yang berwatak anti sosial. Kedua konsep ini is applied in sentencing , remission, parole, and the methods employed to reform convicted persons (Nitibaskara, 2007: 14).
Adanya diskriminasi dapat di jadikan pertanda bahwa telah terjadijudicial corruption. Kita terpaksa hanya mampu membaca indikator, karena untuk mengungkapkan korupsi di dunia peradilan sangat sulit. Padahal, seperti menurut Garland tersebut, peradilan adalah bagiann yang perlu di reformasi terlebih dahulu sebelum kita melakukan reformasi penerapan sanksi pidana (Nitibaskara, 2007: 18).
Dalam satu segi kita harus mengakui, bahwa buruknya instrumen-instrumen penegakkan hukum adalah merupakan produk masyarakat. Kenyataan ini memaksa kita, bahwa apabila hendak melakukan reformasi terhadap terpidana tindak pidana korupsi, yang juga harus kitai kikis adalah budaya korup. Untuk mengatasi hal ini, salah satu caranya adalah memberi gelombang kejut yang berupa hukuman yang keras kepada setiap pelaku korupsi, agar hukuman ini tidak seperti contoh pada awal tulisan ini, maka segala diskriminasi dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi harus di singkirkan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan, andaikata putrinya sendiri yang kedapatan mencuri harus di potong tangannya. Jadi, Kuncinya reformasi ini adalah dua; hukuman keras yang segera di laksanakan dan tanpa diskriminasi (Nitibaskara, 2007: 18).
Ada pameo yang menyatakan, bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat, mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Demikian pula halnya, penghukuman yang timpang dalam pemberantasan korupsi, akan melukai hati rakyat. Ketaatan pada hukum (law abiding) para warga, sangat di tentukan oleh bagaimana hukum tersebut senyatanya di tegakkan (the real law enforcement). Kita ambil contoh warga negara negeri jiran, Malaysia dan Singapura mereka taat terhadap hukum, karena hukum benar-benar di tegakkan untuk semua orang dengan proses penghukuman di jalankan secara lugas (Nitibaskara, 2007: 23).
Di belahan bumi mana pun, senantiasa terdapat kecenderungan pejabat tinggi negara yang tersangkut perkara korupsi sulit di jerat hukum. Terlebih-lebih bila pejabat-pejabat tersebut tengah menduduki posisi-posisi strategis. Berbagai macam power yang di pegangnya akan menjadi batu sandungan serius bagi penegakkan hukum atas dirinya. Untuk menumbuhkan citra hukum di tegakkan, proses hukum formal mungkin di jalankan. Tetapi, berkat berbagai power (terutama politik dan uang) tersebut, hasil akhir proses itu sejak awal sejak awal sudah dapat di ramalkan. Mereka akan bebas dari segala tuntutan. Realitas buram ini juga tak sunyi mewarnai pengadilan kita.
Sangat besar harapan masyarakat, agar para hakim yang tengah menyidangkan kasus-kasus korupsi tidak silau dengan tingginya suatu jabatan yang tengah di duduki terdakwa. Para pengadil itu seyogyanya mempertimbangkan jabatan hanya sebatas pada penggunaan jabatan tersebut sebagai sarana untuk melakukanb kejahatan sebagaimana yang di tuduhkan. Jenis-jenis kekuasaan lain yang tak terkait dengan kasus korupsi yang di sidangkannya, sebaiknya tidak turut menjadi bahan pertimbangan dalam menilai perkara yang tengah di hadapi (Nitibaskara, 2007: 46).
Dakwaan korupsi terhadap petinggi negara memiliki persamaan prinsipil, yakni tindak pidana yang di dakwakan tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang di sandang tatkala kejahatan itu di lakukan. Jabatan (okupasi), yang di dalamnya mengandung sejumlah power and authority(kekuasaan dan kewenangan), menjadi instrumen utama di mungkinkannya kejahatan yang di tuduhkan itu dapat di laksanakan pelaku. Karena, hampir senantiasa bertalian dengan jabatan, maka tindak pidana korupsi sering pula di kelompokkan sebagai occupational crime (kejahatan jabatan), yakni kejahatan yang terlaksananya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan terrtentu yang di lindungi undang-undang (Nitibaskara, 2007: 47).
Dominannya unsur kejahatan dalam tindak pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit di lacak secara yuridis di bandingkan dengan rata-rata pelakutindak pidana lain, karena ia memiliki kedudukan yang di topang oleh berbagai ketentuan yang memungkinkan di jalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu, korupsi yang di lakukan dapat di bungkus dengan kebijakan (policy) yang sah, sehingga dari segi hukum dapat di nilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi jabatan resmi. Itulah antara lain sebabnya, semakin tinggi tempik jabatan yang di duduki, semakin powerfull pelaku delik ini. Ia mempunyai kegiatan (toughness) tersendiri yang tidak dipunyai prang lain dalam menghadapi setiap jerat hukum pidana yang mungkin sewaktu-waktu mengancam dirinya. Jaringannya luas, struktur birokasi yang di dudukinya kokoh, dan fasilitas yang berupa berbagai kemudahan (termasuk akses pada uang) lumayan banyak. Kesemuanya itu memungkinkan ia dapat bertahan pada posisinya sekalipun berbagai macam berbagai tuduhan tindak pidana menerpanya. Barangkali tepat istilah Ezzat E Fattah(1997), menamakan mereka sebagai penjahat-penjahat berkekuasaan dan penjahat-penjahat yang memegang kekuasaan (powerfull criminals and criminals in power) (Nitibaskara, 2007: 48).
B. Evektivitas Pidana Penjara Bagi Koruptor
Berdasarkan pertimbangan kondisi aktual di negara kita, perbuatan koruptor itu sudah mengancam national security. Karena itu, tak ada yang lain yang lebih tepat untuk memperlakukan mereka kecuali punitive strategeis (strategi-strategi penghukuman), salah satunya melalui pidana penjara yang lama (long term imprisonment) atau melalui pidana mati dan menyegerakan eksekusinya (Nitibaskara, 2007: 17).
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum inipun termasuk ke dalam bidang kebijakan social, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang di hadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative. Dengan demikiaan masalah pengendaliaan atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti di kemukakan oleh packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy) (Arief, 2010: 17).
Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan “ peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu ’’(a vestige of our savage past) yang seharusnya di hindari. Pendapat ini tampaknya di dasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindak perlakuaan atau pengenaan penderitaaan yang kejam. Memang sejarah hikim pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuaan yang oleh ukuran-ukuran sekarang di pandang kejam dan melampui batas. Di kemukakan selanjutnya bahwa gerakan perbaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan demikiaan pulalah kiranya ada pendapat bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan a relic of barbarism (Arief, 2010: 18).
Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum pidana seperti dikemukakan di atas menurut Roeslan Saleh adalah keliru. Beliau mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masalah perlunya pidana dan hukum pidana. Adapun inti alasannya adalah sebagai berikut:
1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak di capai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapi tujuan itu boleh menggunakan paksaan.
2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawataan yan tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelangaran-pelanggaran norma yang telah di lakukannya itu dan tidaklah dapat di biarkan begitu saja
3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat (Arief, 2010: 20).
Secara lebih umum M. Cherif Bassiouni juga menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan perlakuan (teatmen) apa yang paling efektif untuk mencegah atau memperbaiki atau kitapun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas masalah ini secara pasti. Menurut Bassiouni, kita harus mengetahui sebab-sebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini, kita memerlukan pengetahuan yang lengkap mengenai etiologi tingkah laku manusia (Arief, 2010: 107)..
Sehubungan dengan factor-faktor efektivitas pidana yang di kemukakan di atas, Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa factor yang perlu di perhitungkan dalam menentukan efektivitas suatu sanksi. Faktor-faktor yang di kemukakannya antara lain:
1. Karakteristik atau hakekat dari sanksi itu sendiri;
2. Persepsi warga masyarakat dalam menanggung resiko;
3. Jangka waktu penerapan sanksi negative itu;
4. Karakteristik dari orang yang terkena oleh sanksi;
5. Peluang-peluang yang memang (seolah-olah) di berikan oleh suatu kebudayaan masyarakat;
6. Karakteristik dari perilaku yang perlu di kendalikan atau di awasi dengan sanksi negatif itu;
7. Keinginan masyarakat atau dukungan social terhadap perilaku yang akan di kendalikan (Arief, 2010: 108).
Di samping itu, di kemukakan pula empat hal yang harus di penuhi agar hukum dapat berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, yaitu:
1. Hukum positif tertulis yang ada harus harus mempunyai taraf sinkronisasi vertical dan horizontal yang selaras.
2. Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hokum.
3. Fasilitas yang mendukung proses penegakan hokum harus memadai; dan
4. Warga masyarakat harus dididik agar dapat mematuhi hukum.
Dengan demikian jelas tidak mudah menentukan efektivitas suatu jenis sanksi pidana. Malahan dapat di katakan, penelitian efektivitas pidana penjara tidak banyak mempunyai arti selama belum di ketahui seberapa jauh keempat hal yang di kemukakan Soerjono di atas telah di usahakan atau di penuhi (Arief, 2010: 108).
Dalam tinjauan teori maslahat yang notabene diakomodasi dalam doktrin hukum pidana Islam, Pola pemidanaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas dapat dikualifikasi sebagai domain hukum ta’zir, dan ini juga merupakan konsekuensi logis dan kualafikasi tindak pidana korupsi sebagai kategori tindak pidana ta’zir. Karena karakter fleksibiltasnya, pola pemidanaan kategori hukum pidana ta;zir dapat diubah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan sehingga di dalamnya aspek rasionalitas memainkan peran yang sangat penting. Dari sini lah kehadiran maslahat sebagai kerangka acuan merupakan conditio sine qua non(Asmawi, 2010:181).
Pola pemidanaanUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dipandang telah mengandung aplikasi maslahat berupa jalbul mashalih wa dar’u mafasid karena pemidanaan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan keuangan negara/perekonomian negara demi terwujudnya kesejahteraan hidup rakyat. Lebih dari itu, pola pemidanaan tersebut juga dapat dipandang telah mengakomodasi maslahat, yakni membela kepentingan rakyat banyak denga melindungi harta kekayaan negara dari pengggerogotan para koruptor melalui penetapan sanksi pidana yang adil dan efektif. Hal ini sejalan dengan salah satu komponen maslahat, yakni hifz mal, dimana kepentingan yang dilindungi ialah kepentingan hidup rakyat/negara (maslahah ‘ammah) (Asmawi, 2010:182).
Dalam perspektif hukum pidana Islam, bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dipandang telah mengandung maslahat. Secara teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam tindap pidana korupsi (sebagaimana telah diintrodusir UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) telah mempertimbangkan aspek rasionalitas yang antara lain berupa tujuan pemidanaan, efektivitas pidana dansocial cists analysis. Dalam hal tujuan pemidanaan, dapat dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mempertimbangkan:
- Tujuan prevensi, yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana.
- Tujuan resosialisasi dan rehabilitasi, yakni memaysrakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
- Tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (Asmawi, 2010:182).
Dalam hal efektivitas pidana, pidana penjara dan pidana denda hingga kini masih diterapkan dalam berbagai sistem hukum pidana yang berlaku di segenap penjuru dunia. Hal ini berarti pidana penjara diakui efektivitasnya. Dalam hal social costs analysis, pidana penjara dan pidana denda membawa efek berupa keuntungan sosial yang nota bene relatif mengungguli kerugian sosial yang ditimbulkannya. Hal demikian inilah yang merupakan wujud aplikasi maslahat dalm formulasi bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apalagi mengingat sanksi pidana bagi tindak pidana korupsi masuk domain hukum ta’zir, yang notabene bersifat dinamis, relatif, dan fleksibel. Dalam kaitan ini, pemidanaan harus datang dari institusi negara yang berwenang secara hukum (Asmawi, 2010:183).
C. Remisi Untuk Koruptor
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 32 tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 menyebutkan bahwa yang disebut dengan remisi adalah “pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. DalamPasal 34A PP terbaru tersebut dinyatakan juga tentang remisi bagi seorang koruptor, yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;
PP Nomor 99 Tahun 2012 telah mengatur, narapidana kasus korupsi, terorisme dan narkotika tidak bisa mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat, sehingga para koruptor yang divonis setelah tahun 2012 pun tak berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Remisi hanya dapat diberikan kepada justice collaborator, itu pun masih dengan syarat-syarat tertentu. Dasar aturan tersebut tentu saja merupakan upaya besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Akan tetapi, kini upaya memberantas koruptor pun dikhawatirkan akan terbelenggu dengan kebijakan pembantu presiden Jokowi. Wacanaterbaru terkuak dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang akan memberikan remisi kepada koruptor. Menurut politisi PDI Perjuangan itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjadi dasar para terpidana kasus korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Wacana pemberian remisi bagi koruptor ini menyebabkan banyak pro dan kontra di masyararakat. Setidaknya, bagi pihak yang setuju (pro) terhadap wacana ini memberikan beberapa alasan mengapa koruptor boleh diberikan remisi. Alasaan tersebut seperti beberapa yang kami kutip di media online diantaranya adalah; Pertama, merevisi PP merupakan langkah untuk mengembalikan wewenang Kementerian Hukum dan HAM dalam mengatur dan membina para tahanan untuk menjadi lebih baik. Remisi merupakan hak dari warga negara dan tetap diberikan dengan memperketat persyaratan tapi tidak menutup untuk mendapatkan remisi. Ketika dia menenuhi syarat dia berhak diberikan remisi. Konteks pembinaan yang dilakukan oleh Menkumham adalah dengan kewajiban yang selama ini tertuang dalam PP 99 dan pemberian remisi. Selama ini dalam perkara vonis, Kemenkumham dan Aparat Penegak Hukum (APH) kerap berbeda pendapat dan memiliki standar berbeda dalam hal vonis.
Kedua, pemberian remisi ini menjadi salah satu cara dari Kemenkumham untuk bisa memberikan treatment pada terpidana khususnya korupsi untuk bisa lebih baik lagi. Remisi dinilai bukan sembarang obral, tetapi lewat pemberian remisi untuk bisa memotivasi terpidana agar tak terjerembab dalam lubang kesalahan yang sama. Apalagi, remisi memang berhak diberikan kepada terpidana ketika ia memang kooperatif dalam proses peradilan. Dalam konteks kasus korupsi, ketika terpidana sudah memberikan denda kerugian negara, maka semestinya koruptor tersebut bisa diberikan kesempatan untuk memulai hidup lebih baik lagi.
Sedangkan banyak pihak yang tidak setuju dengan adanya pemberian remisi ini memberikan beberapa alasan. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah bahwa sebagai seorang penjahat kejahatan besar seorang koruptor tidak perlu untuk mendapatkan sebuah keringanan. Kemudian alasan yang selanjutnya adalah pemberian remisi tersebut akan menciderai rasa keadilan dan merupakan kemudnduran terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Kami memandang bahwa seorang koruptor tidak seyogyanya bisa mendapatkan remisi, kecuali bagi justice collaborator. Alasan yang dapat kami berikan adalah
1. Berdasarkan pertimbangan kondisi aktual di negara kita, perbuatan koruptor itu sudah mengancam national security. Karena itu, tak ada yang lain yang lebih tepat untuk memperlakukan mereka kecuali punitive strategeis (strategi-strategi penghukuman), salah satunya melalui pidana penjara yang lama (long term imprisonment) atau melalui pidana mati dan menyegerakan eksekusinya. Sehingga adanya remisi bagi koruptor haruslah ditolak.
2. Realitas masyarakat kita, korupsi telah mengotori dan membelenggu hampir seluruh institusi penegakkan hukum. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan untuk penjatuhan pidana yang keras terhadap koruptor malah menjadi pihak yang paling tercamar, bergelepotan dengan korupsi. Apabila keadaan yang telah berkembang semacam ini, tak pelak, bahwa penjatuhan pidana yang keras dan di laksanakan tanpa pandang bulu merupakan tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar lagi, dengan prioritasnya adalah penegak hukum. Dengan mengkaji kondisi aktual masyarakat dalam hubungannya dengan tindak pidana yang di nilai paling mengancam, kita akan lebih mudah memahami bagaimana suatu bangsa atau negara memperlakukan para pelaku tindak pidana atas kejahatan yang di anggap paling merugikan masyarakatnya itu
3. Ada pameo yang menyatakan, bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat, mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Demikian pula halnya, penghukuman yang timpang dalam pemberantasan korupsi, akan melukai hati rakyat. Ketaatan pada hukum (law abiding) para warga, sangat di tentukan oleh bagaimana hukum tersebut senyatanya di tegakkan (the real law enforcement).
4. Terhadap alasan yang mengatakan bahwa pidana penjara yang lama tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi koruptor sangatlah keliru. Pemberian pidana yang berat kepada para koruptor sebenarnya telah sesuai dengan efektivitas pidana penjara yang telah mencakup hal-hal seperti karakteristik atau hakekat dari sanksi itu sendiri, Persepsi warga masyarakat dalam menanggung resiko, Jangka waktu penerapan sanksi negative itu, karakteristik dari orang yang terkena oleh sanksi dan keinginan masyarakat atau dukungan social terhadap perilaku yang akan di kendalikan
5. Dalam perspektif hukum pidana Islam, bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dipandang telah mengandung maslahat. Secara teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam tindap pidana korupsi (sebagaimana telah diintrodusir UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) telah mempertimbangkan aspek rasionalitas yang antara lain berupa tujuan pemidanaan, efektivitas pidana dan social cists analysis. Dalam hal tujuan pemidanaan, dapat dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mempertimbangkan tujuan prevensi, tujuan resosialisasi dan rehabilitasi, serta tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
6. Pemberian remisi bukan merupakan sebuah kewajiban dari Menkum HAM. Apabila kita mengacu terhadap dasar hukum remisi sebagaimana Keppres No 174 Tahun 1999 tentang Remisi, di dalam ketentuan tersebut tidak ada pernyataan wajib memberikan remisi terhadap narapidana. Akan tetapi, remisi tersebut akan diberikan Menkum HAM apabila narapidana berkelakuan baik selama menjalani pidana.
7. Di dalam Keppres No 174 pasal 3 ayat 1 huruf a dinyatakan bahwa narapidana hanya diberi remisi apabila yang bersangkutan bisa berbuat baik kepada negara, serta melakukan perbuatan yang bermanfaat untuk kemanusiaan. Sedangkan perbuatan korupsi tidak hanya merugikan negara tetapi juga merampas, mencuri, merampok dan menggerogoti keuangan negara hingga bisa berakibat buruk terhadap penyelenggaraan negara. Jadi tidak pantas apabila perampok uang negara dikatakan berbuat baik kepada negara, lalu diberikan remisi untuk cepat atau lambat mereka akan bebas, serta menikmati kehidupan dengan uang hasil rampasan dari negara. Tidak hanya itu, perampok uang negara yang dinamakan koruptor itu juga bisa menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, juga langsung dirasakan rakyat.
Melihat alasan-alasan diatas yang kami kemukakan maka setidaknya remisi terhadap para Koruptor tidak perlu untuk tetap diberikan. Jika remisi ini tetap diberikan maka akan bertentangan dengan upaya pemerintah selama ini untuk memberantas korupsi. Remisi ini akan mengendorkan semangat para penegak hukum yang selama ini sudah bersusah payah dalam menangkap para koruptor. Selain itu, remisi juga akan menyakiti rakyat Indonesia karena ketimpangan dalam penegakan keadilan terhadap para penjahat kelas kakap.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan diatas setidaknnya bisa disimpulkan beberapa hal yang juga menjadi rekomendasi:
1. Ada pameo yang menyatakan, bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat, mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Demikian pula halnya, penghukuman yang timpang dalam pemberantasan korupsi, akan melukai hati rakyat.
2. Dalam tinjauan teori maslahat yang notabene diakomodasi dalam doktrin hukum pidana Islam, Pola pemidanaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas dapat dikualifikasi sebagai domain hukum ta’zir, dan ini juga merupakan konsekuensi logis dan kualafikasi tindak pidana korupsi sebagai kategori tindak pidana ta’zir. Karena karakter fleksibiltasnya, pola pemidanaan kategori hukum pidana ta;zir dapat diubah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan sehingga di dalamnya aspek rasionalitas memainkan peran yang sangat penting. Dari sini lah kehadiran maslahat sebagai kerangka acuan merupakan conditio sine qua non.
3. Dalam perspektif hukum pidana Islam, bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dipandang telah mengandung maslahat. Secara teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam tindap pidana korupsi (sebagaimana telah diintrodusir UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) telah mempertimbangkan aspek rasionalitas yang antara lain berupa tujuan pemidanaan, efektivitas pidana dan social cists analysis. Dalam hal tujuan pemidanaan, dapat dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mempertimbangkan:
a. Tujuan prevensi, yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana.
b. Tujuan resosialisasi dan rehabilitasi, yakni memaysrakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Pemberian remisi bukan merupakan sebuah kewajiban dari Menkum HAM. Apabila kita mengacu terhadap dasar hukum remisi sebagaimana Keppres No 174 Tahun 1999 tentang Remisi, di dalam ketentuan tersebut tidak ada pernyataan wajib memberikan remisi terhadap narapidana. Akan tetapi, remisi tersebut akan diberikan Menkum HAM apabila narapidana berkelakuan baik selama menjalani pidana.
5. Melihat alasan-alasan diatas yang kami kemukakan maka setidaknya remisi terhadap para Koruptor tidak perlu untuk tetap diberikan. Jika remisi ini tetap diberikan maka akan bertentangan dengan upaya pemerintah selama ini untuk memberantas korupsi. Remisi ini akan mengendorkan semangat para penegak hukum yang selama ini sudah bersusah payah dalam menangkap para koruptor. Selain itu, remisi juga akan menyakiti rakyat Indonesia karena ketimpangan dalam penegakan keadilan terhadap para penjahat kelas kakap.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 2010. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Yogyakarta: Genta Publishing.
Arief, Barda Nawawi. 2008. Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Asmawi. 2010. Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI.
Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman.2007. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Andryan. 2015. Polemik Remisi Koruptor. (Online). (http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/03/25/154266/polemik-remisi -koruptor/#.VV9HdslGnO8, diakses 15 Mei 2015).
Republika. Dua Alasan Kemenkumham Bersikikuh Remisi Koruptor. (Online). (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/24/nlpp86-dua-alasan-kemenkumham-bersikikuh-remisi-koruptor, diakses 15 Mei 2015).
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Jakarta: Kemenkumham.
Sekretariat Negara. 1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. Jakarta: Sekretaris Negara.
*Makalah ini disampaikan dalam Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.
Comments
Post a Comment