Nasib Biawak Asli Kalimantan


Hasil gambar untuk biawak kalimantan

Setiap daerah di nusantara ini punya hewan endemik. Di Bumi Borneo, ada Lanthanotus borneensis alias biawak tak bertelinga yang baru-baru ini muncul di radar pengetahuan. Termasuk meramaikan dunia penyelundupan satwa langka.
=================


Peristiwanya sudah agak lama terjadi. Bermula tatkala warga di sebuah perkampungan kecil di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tengan kerja bakti membangun bendungan untuk kebutuhan air bersih desa, 22 September 2014. Di tengah kesibukan kerja, tiba-tiba salah seorang warga, Faulunsius Atet, berteriak lantang, “Biawak… ada biawak…”

Warga yang lain pun berlarian ke arah sumber suara itu. Di sana, Atet sedang mengamati makhluk aneh di balik bebatuan sungai. Tampak kulit satwa itu bergerigi dari kepala hingga ekor. Menyerupai buaya dengan warna kecokelatan. Panjang tubuhnya sekitar 50 cm.

Melihat peristiwa itu, aparatur desa setempat, Jeaksen Thungku, spontan mengambil kamera saku miliknya. Satwa endemik Kalimantan itu lalu direkam sebelum dihalau ke tempat yang lebih aman dari aktivitas manusia.

Sodik Asmoro (35), warga Kapuas Hulu, menceritakan kembali kisah itu. “Terus terang, saya sendiri belum pernah melihat satwa macam ini. Bentuknya memang seperti biawak. Tapi kulitnya bergerigi seperti kulit buaya,” kata Sodik seperti dikutip www.mongabay.co.id, medio November 2015 lalu.

Dalam rentang waktu hampir bersamaan mereka dapat melihat satwa itu sebanyak dua ekor dalam satu hamparan yang sama di sekitar sungai. “Ya, yang terlihat saat itu ada dua ekor. Setelah difoto, kami coba halau ke tempat yang lebih aman. Tapi satwa ini kurang respon,” katanya.

Sodik menegaskan bahwa satwa itu enggan melarikan diri meski sudah diusir warga. “Jika dilihat dari bentuk badannya, mirip biawak. Kecuali kepalanya yang lebih menyerupai kadal. Satwa itu terkesan jinak,” tuturnya.

Tak hanya itu, Sodik juga menjelaskan bagian-bagian tubuh satwa tersebut. Hidungnya yang tumpul, dan daun telinga yang tak terlihat sama sekali. Ekornya panjang dan berkaki empat dengan lima jari di setiap kakinya.

Secara umum, kata Sodik, satwa ini lebih menyerupai biawak. “Sebab itu, kami kira memang biawak. Satwa ini kami temukan sekitar pukul 14.00 WIB. Saat itu, satwa tersebut berada di antara bebatuan yang terendam air sungai sedalam 20 sentimeter,” ungkapnya.
Pertengahan Oktober lalu, biawak asli Kalimantan ini sempat meramaikan dunia penyelundupan satwa langkah. Ketika itu seorang warga negara asing (WNA) asal Jerman ditangkap petugas Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, karena ketahuan akan melakukan penyeludupan delapan biawak tanpa telinga (Varanus Borneensis) asal Kalimantan. Trik yang dilakukan tersangka yakni mencoba mengelabui petugas dengan cara menyembunyikan 8 biawa itu di dalam celananya.

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Yazid Fanani mengatakan, tersangka Holger Pelz mendapatkan pesanan dari temannya di Jerman untuk mencari hewan jenis reptil tersebut di Indonesia. Kemudian, Holger tiba di Indonesia pada 4 Oktober lalu dan selanjutnya 8 Oktober lalu mencari hewan yang dilindungi tersebut di Pontianak.

“Tersangka membeli biawak Kalimantan tanpa telinga dengan harga Rp50.000 per ekor dan selanjutnya membawa dari Bandara Soepadio yang lolos dari pengawasan ke Jakarta,” kata Yazid sebagaimana dikabarkan www.pojoksatu.id beberapa waktu lalu.

Naas, saat tiba di bandara Soekarno Hatta, aksi tersangka ketahuan. “Pada saat melewati pintu X-Ray terdengar bunyi hewan tersebut dan selanjutnya digeledah oleh petugas dan dibawak ke Kantor Balai Karantina Hewan,” papar Yazid.

Atas perbuatannya, tersangka dikenakan Pasal 21 ayat 2 huruf a dan c junto Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang RI No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Berdasarkan sejumlah literatur, satwa yang ditemukan warga di Kapuas Hulu ini tak lain adalah Lanthanotus borneensis. Kadal endemik Kalimantan ini lebih dikenal dengan sebutan biawak tak bertelinga. Perilaku satwa ini terbilang unik, hanya aktif malam hari (nokturnal). Termasuk dalam hewan semiaquatik, kadang-kadang hidup di air dan sesekali di darat.

Lanthanotus borneensis pertama kali ditemukan pada 1878 oleh Franz Steindachner, ahli zoologi asal Austria. Tak banyak data pendukung yang bisa dijadikan sebagai literatur.

Penelusuran Mongabay Indonesia melalui WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, literatur reptil ini ditemukan di Sarawak Museum Journal yang ditulis oleh Robert G. Sprackland, Jr pada 1970.

Satwa yang dalam bahasa Inggris bernama Borneo Earless Monitor ini tergabung dalam Genus Lanthanotus. Dia masuk dalam famili Lanthanotidae  dan superfamili Varanoidea. Para peneliti menjulukinya fosil hidup lantaran satwa ini masih eksis di saat satwa lain seumurannya sudah punah.

Kendati telah dilindungi di Indonesia, Biawak Kalimantan ini kerap menjadi sasaran perburuan dan diselundupkan ke luar negri sebagaimana kasus warga Jerman tadi.

Peneliti bidang Herpetologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Amir Hamidy, membenarkan bahwa satwa yang ditemukan Faulunsius Atet tersebut biawak tak bertelinga. Ciri satwa yang ada di foto tersebut sama dengan tanda-tanda umum yang dimiliki Lanthanotus borneensis. Misalkan, tidak ada telinga pada bagian luar tubuh dan kulit tubuhnya berwarna cokelat dipenuhi gerigi seperti biawak. “Benar, ini Lanthanotus borneensis,” jelas Amir.

Mengutip dari Reptile Database, persebaran satwa ini hanya ada di Kalimantan Barat dan Sarawak (Malaysia). Aktif di malam hari, tempat hidupnya kadang di darat dan tak jarang main ke air. “Penelitian lebih lanjut, terutama sistem pernafasannya, memang harus dilakukan mengingat informasinya yang minim.”

Amir mengingatkan upaya perlindungan satwa endemik Kalimantan ini harus dilakukan. Fakta menunjukkan, satwa langka ini diburu karena harga di pasar internasional relatif tinggi. Dua tahun lalu, sepasang Biawak Kalimantan dibanderol sekitar 14 ribu dolar AS. Saat ini, seekornya dibandrol sekitar 5 ribu dolar AS.

Mengapa harganya selangit? Sebab, sejak terakhir dideskripsikan 1878, tak lebih dari 6 spesimen yang ada. Dan, pada 2008, ditemukan kembali di Indonesia. “Sejak itu, penyelundupan di pasar gelap marak. Bahkan, di Jerman ditemukan 23 pasang yang diyakini berasal dari Indonesia, kata Amir.

Menurut Amir, walau reptil ini dilindungi PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa atas nama Varanus borneensis atau Biawak Kalimantan, namun nama ilmiah yang digunakan saat ini adalah Lanthanotus Borneensis. Lalu, para pelaku bisnis haram ini mencoba berkelit dengan menggunakan nama ilmiah tersebut. Padahal, nama V. Borneensis jelas-jelas adalah Lanthanotus borneensis.

“Ini yang belum diketahui betul oleh para penegak hukum Indonesia. Jadi, apapun nama ilmiahnya, yang selalu berubah setiap saat, dalam PP Nomor 7/1999 jelas dituliskan, Biawak Kalimantan merupakan jenis yang dilindungi. Nama bisa berubah, spesies tidak, tandasnya.

Hukuman berat harus diberikan kepada para pemburu satwa liar dilindungi di Indonesia ini. Baik orang lokal maupun warga asing yang tertangkap. Ingat, jaringan mereka internasional. Ini harus jadi prioritas nasional. “Pastikan, keragaman hayati itu tidak ternilai harganya. Terlalu naif untuk dikonversi dalam Rupiah atau Dolar Amerika. Kepunahan jenis satwa tertentu adalah kerugian luar biasa bagi ekosistem kita, Indonesia,” tegas Amir. (BN)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian