Ironi negeri kaya
Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
Rakyat menjerit dan menangis, itulah kalimat yang pas dengan kondisi yang
dialami oleh sebagian besar rakyat di negeri ini. Bukan tanpa alasan jeritan
dan tangisan mereka di tengah kondisi harga-harga yang semakin melambung
tinggi. Yah, beban hidup yang dirasakan semakin mencekik urat nadi kehidupan.
Dikutip dari bisnis.liputan6.com (Selasa, 07/01/2014) PT
Pertamina (Persero) secara resmi merevisi kenaikan harga elpiji non subsidi 12
kilogram (kg) menjadi sebesar Rp 1.000 nett per kilogram, sehingga kenaikan
harga per tabung non subsidi 12 kilogram rata-rata Rp 14.200 per tabung. Dengan
demikian, harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg di tingkat agen menjadi
berkisar antara Rp 89.000 hingga Rp 120.100 (tergantung lokasi) terhitung mulai
Selasa, 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB. (Harga sudah termasuk PPN, transport
fee dan filling fee SPPBE, serta margin Agen).
Kebijakan kenaikan harga elpiji ini sungguh menjadi hal yang
patut dikritisi, di tengah kondisi rakyat yang mengalami kesulitan. Sungguh
tega dalam kondisi seperti ini masih menaikkan harga elpiji meskipun penolakan
dan penentangan terjadi di masyarakat. Dan jelaslah, bahwa rakyat bukannya
sebagai objek dari negara yang harus diayomi dan disejahterakan kehidupannya,
tetapi para penguasa menjadikan rakyat sebagai konsumen (target pasar).
Kebijakan zhalim
Berdasarkan fakta di atas,
revisi harga gas elpiji non-subsidi dari Rp 3.500 per kilogram turun
menjadi Rp. 1.000 per kilogram, kebijakan ini tidak serta merta membuat
masyarakat lega. Tetap saja dirasakan beban yang cukup berat. Walaupun dalih dari Pertamina mengatakan
bahwa revisi ini dilakukan setelah mencermati perkembangan di masyarakat dan
dilakukannya rapat dengan pemerintah akhir pekan lalu serta konsultasi dengan BPK Senin (06/01). Bahkan
Direktur Pemasaran dan Niaga, Hanung Budya, menjamin tidak akan ada kelangkaan
gas elpiji baik kemasan 3 kg maupun 12 kg (bbc.co.uk, 06/01/2014). Benarkah
tidak ada kelangkaan? Jika kita berkaca dari yang sudah-sudah, ketika harga
barang melambung tinggi selalu saja ada pihak-pihak yang melakukan tindakan
yang mengakibatkan barang kebutuhan menjadi langka.
Revisi harga elpiji ini dalih Pertamina adalah Pertamina
memperkirakan revisi kenaikan harga membuat perusahaan tersebut merugi. Menurut
Pertamina, pada tahun 2014, proyeksi kerugian Pertamina dari bisnis elpiji
mencapai 5,4 triliun, dengan kurs Rp 10.500 per US dollar. Yang menjadi
pertanyaannya adalah benarkah Pertamina memang rugi ? Ke manakah sumber daya
alam yang melimpah di negeri ini? Apakah kebijakan ini memang ada udang di
balik batu? Aapalagi menjelang pemilu 2014.
Harus disadari, kebijakan ini adalah kebijakan zhalim,
mengapa demikian? Kebijakan ini berdampak kezaliman yang lebih besar terhadap
publik, terutama kaum ibu. Momen ini juga bukti nyata bahwa negara melalui
Pertamina adalah korporasi yang takkan berpihak pada rakyat. Di samping itu,
hal ini berdampak sebagai beban hidup yang lebih berat bagi kaum ibu. Bukan
hanya kenaikan harga elpiji yang akan menyita perhatian dalam ekonomi
kehidupan. Tapi juga melambungnya harga bahan pangan lain yang notabene harus
mengalami proses pemasakan terlebih dahulu sebelum dapat diakses konsumen.
Belum lagi dengan kemungkinan kelangkaan elpiji di pasaran.
Harus dengan apa bahan siap makan itu diperoleh keluarga, jika tak ada bahan
bakar untuk memasaknya? Sementara harga minyak tanah juga sudah terlanjur
mahal. Oleh karenanya, di sinilah kita harus peduli dengan munculnya kebijakan
kenaikan harga elpiji. Bukan dengan sebatas sabar menghadapi fakta zhalim ini.
Tapi kita harus kritis dan cerdas menyikapinya agar peristiwa ini juga menjadi
bagian amar ma’ruf nahyi mungkar dari rakyat kepada penguasa. Karena, sabar
dalam Islam bukanlah dengan berdiam diri. Melainkan harus ada tindakan riil
agar kezaliman semacam ini tak berlanjut.
Salah kelola
Seperti yang disampaikan di atas bahwa kebijakan ini jika
ditelaah adalah dampak dari ideologi rusak. Kesalahan pengelolaan kekayaan alam
dan energi ini terjadi karena Indonesia memilih sistem ekonomi liberal yang
jauh dari syariah.
Berbicara kekayaan alam, Indonesia merupakan negara yang
memiliki kekayaan alam melimpah seperti Kekayaan hayati, kekayaan laut,
pertanian, dan lain-lain. Pertanyaan yang sering muncul mengapa terjadi
kontradiksi ? Mengapa kekayaan sebesar itu tidak cukup untuk memakmurkan rakyat
Indonesia? Jawabannya adalah bahwa sebagian besar kekayaan tersebut telah
dikuasai oleh swasta dan bangsa asing, terutama perusahaan swasta asing melalui
perusahaan transnasional. Kekayaan alam ini tidak diberikan manfaat
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Pemerintah telah menjual kekayaan
alam Indonesia kepada pihak asing, melalui berbagai produk Undang-undang
seperti UU Migas, UU Minerba,UU Penanaman Modal Asing dan sebagainya.
Ironisnya lagi, pemerintah lebih mempertahankan kebijakan
mengekspor gas alam dalam jumlah besar ke luar negeri, tapi membiarkan negeri
ini defisit gas. Dan yang paling tragis harga jual gas ke negara lain jauh
lebih murah ketimbang harga jual kepada rakyat sendiri. Lihat saja harga gas ke
Fujian China hanya US$ 3,45 per MMBTU, sementara harga gas ekspor Indonesia ke
luar negeri di atas US$ 18 per MMBTU sedangkan harga gas domestik US$ 10 per
MMBTU.
Dalam sistem ekonomi liberal pemerintah tidak memposisikan
diri sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Jadi tak ada hubungan ri’ayah
(pelayanan) dari negara kepada publik. Pengadaan elpiji adalah bagian dari
tanggung jawab negara sebagai pengatur urusan umat. Tak selayaknya negara
menjadi penjual dan rakyat menjadi pembeli di negeri sendiri. Hubungan
pemerintah dengan rakyatnya bukan hubungan penjual dan pembeli, tapi hubungan
antara pengurus dan pihak yang diurus. Bagaimanapun, pemerintah seharusnya
menjadi perisai bagi rakyat, bukan malah membuat rakyat menderita. Yang
terjadi pemerintah justru tampak sangat rajin
membela kepentingan para kreditor dan investor asing di negeri ini.
Bagaimana akan menjadi negara maju dan terdepan bila kondisi
bangsa ini selalu tunduk pada kepentingan asing ? akankah negara ini membebek
terus pada pihak asing ?
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam secara khusus berdoa
untuk para penguasa yang tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya:
« اللَّهُمَّ
مَن ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِأُمَّتِي
شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ
عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن
أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ
فَارْفُقْ بِهِ »
Ya Allah, barang siapa memiliki hak mengatur suatu urusan
umatku, lalu ia memberatkan/menyusahkan mereka, maka beratkan/susahkan dia; dan
barang siapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan
mereka dengan baik, maka perlakukanlah dia dengan baik. (HR Ahmad dan Muslim)
Rakyat menginginkan kondisi seperti penggalan akhir doa
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wallahu A’lam
Bis-Shawaab. (arrahmah.com)
Comments
Post a Comment