Eksekusi Terpidana Mati Ada di Tangan Mahkamah Agung
Para terpidana masih mengajukan PK.
ilustrasi peluru yang ditembakkan
Kejaksaan Agung hingga kini belum mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba dan tindak pidana lainnya, sebab para terpidana masih mengajukan peninjauan kembali (PK).
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, alasan tersebut tidak menyalahi aturan jaksa untuk mengundur waktu eksekusi.
Menurut Mudzakir, pengajuan PK adalah hak yuridis terpidana mati. Terlebih putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama terdapat novum (bukti) baru.
"Hak terpidana harus diihargai, tidak boleh dinafikan. Hak terpidana mengajukan PK sah-sah saja jika merasa ada bukti baru," kata Mudzakir, Sabtu, 27 Desember 2014.
Mudzakir menjelaskan, PK sekaligus berfungsi sebagai kontrol atau evaluasi dari kemungkinan terjadinya human error dalam putusan-putusan sebelumnya. Dia menilai, Mahkamah Agung (MA) sebagai pihak yang memiliki wewenang harus segera memproses sehingga kepastian hukum dapat diberikan.
"Tugas MA harus segera memproses apakah novum diajukan diterima. Kalau MA mempertimbangkan tidak membuat perkara bebas, maka eksekusi hukuman mati bisa dilakukan. MA jangan menjual waktu. MA harus cepat memproses PK itu," kata dia.
Hal senada juga disampaikan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, meski bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), hukuman mati masih menjadi hukum positif dalam artian masih berlaku di Indonesia.
"Karenanya pemerintah sebagai penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan harus tetap melaksanakan itu," tandasnya.
Fickar menilai, MA harus melihat secara seksama apakah materi PK yang diajukan terpidana memiliki perubahan atau tidak.
"Harus dilihat sudah berapa kali PK. Kalau isinya diiajukan itu-itu saja, maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi. Tapi, secara formal orang mengajukan upaya hukum maka harus dihormati. Walau MA menegaskan tidak menunda eksekusi, tapi harus diperhatikan juga," jelas Fickar.
Dia menambahkan, untuk mencegah agar PK tidak dijadikan alat oleh terpidana untuk mengulur pelaksanaan eksekusi, maka MA harus memiliki terobosan dengan mengeluarkan surat edaran MA (SEMA).
"MA yang punya otoritas harus mengeluarkan surat edaran. PK dengan materi sama yang berkali-kali diajukan bisa ditolak. Atas dasar itu, kejaksaan bisa melakukan eksekusi. Harus ada ketentuan MA, misal PK sampai tiga kali dengan materi itu-itu saja harus diltolak. Tidak bisa Kejaksan Agung memaksakan jika PK masih dilakukan," kata Fickar. (http://nasional.news.viva.co.id)
Comments
Post a Comment