Kebuntuan dan Premanisme
Beberapa peristiwa yang muncul belakangan ini, dan cukup mengejutkan banyak pihak, melibatkan fenomena tindakan main hukum sendiri. Yang paling menonjol tentunya adalah eksekusi liar oleh sejumlah anggota militer di dalam penjara Cebongan, Yogyakarta, atas sejumlah tersangka yang diduga melakukan pengeroyokan sampai mati terhadap seorang intel militer. Mereka yang dieksekusi diduga adalah para preman yang belakangan sering mengacau keamanan dan ketenteraman Yogyakarta.
Eksekusi terhadap preman bukan hal baru. Awal tahun 1980’an, Soeharto memerintahkan tindakan gabungan militer dan polisi untuk melakukan tindakan terkoordinasi terkait dengan tingginya angka kriminalitas waktu itu. Hasilnya preman besar dan kecil, termasuk centeng pasar, diciduk dan sebagian dieksekusi. Tidak jelas siapa pelakunya, sehingga mereka dinamai “petrus” atau penembak misterius.
Reaksi masyarakat beragam. Sebagian awam yang telah merasakan muak hidup di bawah tekanan preman, menyambut hangat tindakan para petrus karena segera saja terlihat bukti positifnya, preman menghilang dari kota-kota besar di tanah air, dan untuk sementara ketertiban dan keamanan agak terkendali.
Aktivis HAM tentu protes keras, karena jelas ini usaha untuk membasmi kejahatan dengan kejahatan lain. Ini hanya bisa terjadi di negara represif yang tidak menghargai hukum dan penegakan hukum. Tegaknya hukum hanya dilihat dari kepentingan penguasa semata, ketertiban dan keamanan.
Pengalaman dari kasus petrus, dan penyerbuan Cebongan, jelas menunjukkan kebuntuan hukum dan penegakan hukum. Penegak hukum tidak mampu menjaga keamanan dan ketenteraman kehidupan sipil yang dalam kesehariannya selalu diganggu ulah preman. Militer yang memegang senjata merasa mendapat panggilan Sapta Marga, bertindak melangkahi hukum, karena penegak hukum dan criminal justice systems gagal secara efektif melindungi masyarakat.
Polisi gagal mengamankan lingkungan dimana mereka bertugas, jaksa gagal menuntut para preman secara efektif, dan hakim gagal memberikan hukuman yang efektif atas kejahatan-kejahatan yang muncul dari premanisme. Kalau mau lebih jauh lagi, masyarakat telah gagal membangun lingkungan sekitar mereka yang menolak atau tidak toleran terhadap praktik premanisme. Dan negara gagal dalam memberikan sistem pendidikan, sistem jaminan sosial, dan kesempatan berusaha secara adil dan merata sehingga ketimpangan ekonomi ada dimana-mana. Negara juga gagal untuk menjalin semua titik-titik itu, yang bila berhasil, tidak akan memberi kesempatan hidupnya premanisme.
Dari media masa, negara (polisi) kita ketahui menggunakan atau mentolerir preman. Pengusaha sering membutuhkan preman untuk proteksi atau mengamankan asetnya. Preman juga bagian dari organized crime. Preman juga sering dilibatkan dalam kegiatan orang-orang pemerintah, pengusaha dan bahkan organisasi berbasis agama.
Premanisme bukan hal baru karena kita juga mengenal itu terjadi di sejarah masa lalu. Ken Arok, pendiri kerajaan Singasari, dikenal sebagai bromocorah. Di setiap kurun waktu (zaman), preman selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Di zaman Soekarno, kita kenal ada preman pasar Senen. Film “the Act of Killing” menggambarkan dengan gamblang kehidupan preman di Medan di masa gelap pertengahan 60an.
Di awal reformasi, kita kenal pasukan Pam Swakarsa yang digunakan oleh penguasa untuk menekan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Konflik horizontal di Maluku yang tragis konon terjadi atau diawali oleh perang antar kelompok preman. Kasus Bibit-Chandra atau dikenal dengan konflik Cicak-Buaya, sebenarnya adalah juga gerakan bergaya preman terhadap gerakan dan lembaga anti korupsi.
Dalam lingkungan kecil kita selalu ada preman. Preman dan premanisme adalah nafas kehidupan kita sehari-hari. Hukum kadang menjangkaunya, tetapi seringkali hukum membiarkannya seperti kita membiarkan anak-anak nakal di sekitar kita. Preman dan premanisme menjadi masalah ketika kehidupan yang normal tidak berjalan, ketika mereka terorganisir, dan juga ketika mereka menjadi bagian dari gerakan atau aktivitas politik, gerakan kedaerahan ataupun gerakan berbasis agama, dan kegiatan bisnis. Ketika itulah toleransi terhadap preman dan premanisme harus tidak boleh ada, dan hukum harus bisa diterapkan dengan tegas terhadap mereka dan pihak-pihak yang berada dibelakang mereka atau pengguna mereka.
Preman dan premanisme adalah masalah yang bisa diselesaikan oleh masyarakat sendiri waktu masih berskala kecil dan terbatas pada kebutuhan hidup orang-orang yang tidak tersentuh sistem pendidikan, sistem jaminan sosial maupun sarana dan kesempatan berusaha. Dalam skala yang lebih besar dan kompleks, preman dan premanisme adalah urusan negara. Dan pada kondisi tertentu seperti disebut di atas, preman dan premanisme adalah urusan penegak hukum yang harus ditindak tegas.
Kalau masih saja terjadi sumbatan-sumbatan di tingkat masyarakat, negara, dan penegak hukum dalam menangani masalah preman dan premanisme, maka kita akan selalu mengalami lagi berkeliarannya petrus atau penyerbuan ala Cebongan, dan makin banyak juga maling kecil dihakimi sampai mati di jalanan. Di kasus Cebongan, terjadi pertanggungan jawab hukum yang jelas, tidak seperti kasus petrus. Mungkin karena militer kini sudah jauh berbeda dengan militer di zaman orde baru.
Tetapi kasus seperti Cebongan tidak akan mati dalam spirit, dan dikawatirkan bisa terjadi berulang-ulang, selama sumbatan dan kebuntuan tersebut masih terjadi. Di masa pemerintahan ini, sumbatan dan kebuntuan kiranya akan terus menghantui kita, karena untuk menangani masalah besar ini dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang tidak hanya sekedar memahami dan memetakan masalahnya, dan kemudian memberikan petuah moral tentang bagaimana ini harus diselesaikan, tetapi dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang mampu turun ke bawah, dan memberi contoh nyata tentang bagaimana seharusnya masalah preman dan premanisme ini ditangani secara multi dimensi. Sayangnya, itu tidak atau belum ada sekarang ini.
www.hukumonline.com
Comments
Post a Comment