Kota dan Prostitusi (1)
Sekilas
Sejarah Pelacuran di Indonesia
oleh
Wakhudin*)
Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada
di atas Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan
segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan
hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa
terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya
selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan
yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan
persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan
keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan
keluarga istana.
Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya
karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut
berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik
dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat
ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam
sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang
daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota.
Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di
Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar,
Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di
Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini
merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan
Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).
Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut
Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi
ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi
kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan
kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara
atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang
didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti
tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan
dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status
perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan
sebagai selir.
Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang
dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia,
di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal
yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari
kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis
menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam
lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur.
Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI,
dalam Hull; 1997:3).
Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi
berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi
tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran
yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya,
aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara.
Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama
dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.
Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak
dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki
bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk
datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini.
Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas
memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak
perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para
lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun
masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang
tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan
perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini
biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai
suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi
komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku
kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat
itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).
Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit
hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang
tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat,
dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun
1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama
Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang
setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut
tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada
tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house
of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para
perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan
melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian,
peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin”
menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi
komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).
Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru
yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan
untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi
ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun
istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan
kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik
dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila
(WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut
peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik
diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita
publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin
(setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya
penyakit syphilis atau penyakit
kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).
Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit
kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus
diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting
voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani
perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani
industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan
aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan
tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga
membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan
berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa
peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga
komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat
konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun
perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah,
tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri.
(Hull; 1997:5-6).
Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan
rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan
pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan
penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini,
penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan
pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif
cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi
sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).
Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil
ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat
sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di
Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga
desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran
penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar
lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan
mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6).
Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta),
mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan
tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung
jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini
pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang
yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk
mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan
para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk
mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan
lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan
banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada
abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870,
di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam
modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6).
Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat,
pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian
perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta
api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara
besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan
menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta
api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur,
Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas
pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang
dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan
fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan
konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak
kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota.
Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di
sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan
Saritem.
Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta,
kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan
Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun
Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian
besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun
peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan
tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga
telah berubah.
*)Wakhudin. 2006. Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan Solusinya
(Thesis). Bandung: Program Studi Pendidikan Umum. Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia. Dimuat dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
24 Agustus 2008.
Comments
Post a Comment